Penjelasan Penyebab Tsunami Selat Sunda

id Tsunami Selat Sunda, Tsunami Lampung Banten, Tsunami Lampung

Penjelasan Penyebab Tsunami Selat Sunda

Kondisi terakhir pemantauan aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Lampung Selatan, Selasa (25/12) pagi. (Foto: ANTARA Lampung/Ist-BMKG)

Bandarlampung (Antaranews Lampung) - Berkaitan bencana tsunami Selat Sunda yang menerjang kawasan pesisir Lampung dan Banten pada Sabtu (22/12) malam, telah disampaikan pers rilis bersama bencana Selat Sunda oleh Kemenko Maritim, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Informasi Geospasial, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta Badan Geologi, Senin (24/12).

Isi siaran pers bersama tersebut adalah bencana di Selat Sunda saat ini merupakan bencana multievent yang diakibatkan oleh gelombang tinggi, tsunami, erupsi gunung api, dan longsor tebing kawah Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami.

BMKG menyatakan siap untuk memback up peringatan dini tsunami akibat langsung atau pun tidak langsung dari erupsi gunung api yang dipantau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Badan Geologi), sehingga BMKG perlu untuk mendapat akses data gempa-gempa vulkanik yang ada di sistem peringatan dini Pusat Vulkanologi.

Pada tanggal 23 Desember 2018, pukul 18.30 sampai dengan 21.00 WIB telah dilaksanakan rapat koordinasi dengan agenda pembahasan kejadian tsunami tanggal 22 Desember 2018 di Selat Sunda, dengan peserta rapat Kemenko Maritim, BMKG, BIG, BPPT, LIPI, dan Badan Geologi ESDM, berdasarkan data-data yang dihimpun dihasilkan kesepakatan bersama, yaitu BMKG memperoleh data tide-gauge pada 22 Desember 2018 sekitar pukul 22.00 WIB, 4 tide gauge di Selat Sunda mencatat adanya anomali permukaan air laut yang diyakini sebagai tsunami.

Tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh gempa bumi tektonik, namun akibat longsor (flank collapse) di lereng Gunung Anak Krakatau akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.

Kejadian longsor lereng Gunung Anak Krakatau tercatat di sensor seismograf BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJI) pada pukul 21.03 WIB, juga beberapa sensor di Lampung (LWLI, BLSI), Banten (TNG/TNGI, SBJI), Jawa Barat (SKJI, CNJI, LEM) .

Hasil analisa rekaman seismik (seismogram) dari longsoran lereng Gunung Anak Krakatau setelah dianalisa oleh BMKG setara dengan kekuatan MLv = 3,4, dengan episenter di Gunung Anak Krakatau.

Faktor penyebab lepas material di lereng Gunung Anak Krakatau dalam jumlah banyak adalah tremor aktivitas vulkanik dan curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut.

Bukti-bukti yang mendukung bahwa telah terjadi longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau sebagai akibat lanjut dari erupsi Gunung Anak Krakatau yaitu deformasi Gunung Anak Krakatau berdasarkan perbandingan citra satelit sebelum dan sesudah tsunami yang memperlihatkan 64 ha lereng Barat Daya Gunung Anak Krakatau runtuh, curah hujan tinggi pada periode waktu yang berdekatan dengan tsunami, model inversi 4 tide-gauge yang memperlihatkan bahwa sumber energi berasal dari Selatan Anak Krakatau dari analisa Badan Geologi, riset BPPT dan Universitas Blaise Pascal, Prancis yang dipublikasikan pada jurnal internasional.

Tindaklanjut direkomendasikan untuk memasang tide-gauge di Kompleks Gunung Anak Krakatau (BIG), survei geologi kelautan dan batimetri di Kompleks Gunung Anak Krakatau (Badan Geologi, BPPT, LIPI); konfirmasi dari citra satelit resolusi tinggi (LAPAN) perlu cipta optik, survei udara dengan drone (BPPT), data GPS dan data pasut (BMKG, BIG, Pushidrosal, dan industri di sekitar kawasan).