Hilmi Ngaku Transaksi ke Luthfi tanpa Catatan

id Hilmi Ngaku Transaksi ke Luthfi tanpa Catatan

Jakarta (ANTARA LAMPUNG) - Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hilmi Aminuddin mengaku transaksi penjualan properti dan mobil miliknya kepada mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq tanpa ada catatan pembayarannya.

Hilmi pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/10), menyatakan semua kuitansi pembayaran properti dan mobil yang ditunjukkan oleh penyidik itu palsu, karena yang tertera bukan tanda tangannya.

Terdapat 29 kuitansi yang menjadi barang bukti penyidik dalam kasus penjualan tanah dan bangunan serta mobil dari Hilmi kepada Luthfi.

Tanah yang dijual Hilmi kepada Luthfi tersebut terletak di Cipanas seluas 1.500 meter persegi.

"Rumah di Cipanas saya beli sekitar 2002 dari besan. Waktu itu besan dua-duanya sakit dan butuh uang untuk pengobatan. Dia minta bantuan saya," ungkap Hilmi.

Ia mengaku selanjutnya pada 2003 menjual rumah tersebut senilai Rp750 juta kepada Luthfi.

"Dicicil (pembayarannya, red) sekitar 3-4 kali. Waktu jual tidak terlalu formal, tidak menggunakan kuitansi," ungkap Hilmi.

Sedangkan penjualan mobil yang dimaksud adalah jenis Nissan Navara tahun 2006.

Mobil itu, menurut Hilmi, semula dari membeli baru dan dimodifikasi, kemudian Lutfhfi tertarik dan membelinya seharga Rp350 juta. "Saya katakan beli (baru, red) sendiri saja. Tapi dia katakan tidak bisa memodifikasi, akhirnya saya jual," kata Hilmi.

Hilmi menjual mobil tersebut pada awal 2007.

"Tidak pakai kuitansi, setelah pembayaran selesai saya serahkan semuanya," ujarnya lagi.

Dalam perkara ini, Luthfi didakwa melakukan korupsi dan TPPU berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 5 ayat 2 juncto pasal 5 ayat 1 atau pasal 11 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp1 miliar.

Selanjutnya pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.

Serta pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai orang yang menerima atau menguasai harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan Rp15 miliar.