Menikmati gerhana bulan dari sudut Taman Ismail Marzuki Jakarta

id Gerhana bulan, planetarium, teleskop

Menikmati gerhana bulan dari sudut Taman Ismail Marzuki Jakarta

Hasil pemotretan bulan sebelum gerhana melalui lensa teropong di Planetarium dan Observatorium Jakarta, Selasa (16/7/2019) (Zuhdiar Laeis)

Jakarta (ANTARA) - Di tengah dinginnya malam Jakarta, Selasa (16/7) malam, anak-anak muda terlihat berkumpul di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), bercengkerama asyik, sembari sesekali melirik arloji, seperti menunggu sesuatu.

Kebetulan, cuaca malam itu cerah. Sesuai prakiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa daerah Jakarta bakal cerah berawan sepanjang hari.

Tepat pukul 21.00 WIB, tanpa dikomando, mereka bergegas menuju Planetarium dan Observatorium Jakarta, masih dalam satu kawasan TIM. Rupanya, akan ada pertunjukan di objek wisata edukasi itu.

Planetarium dan Observatorium Jakarta dibangun pada tahun 1964 oleh Presiden Soekarno, kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1969 untuk dikelola.

Pengunjung pun segera mengantre untuk mendaftar sebelum bisa menikmati indahnya bulan melalui teleskop yang telah disediakan. Tak perlu membayar, cukup menulis nama, asal dan nomor telepon.



"Mau nonton gerhana (bulan). Pakai teleskop, jarang-jarang kan," kata Winda, pengunjung asal Cikarang yang datang bersama dua kawannya.

Demi bisa menyaksikan gerhana bulan secara langsung, mereka bertiga berangkat dari Cikarang, bakda maghrib menaiki kereta.

Tak mau ketinggalan, gadis yang baru lulus sekolah itu berniat menunggu hingga gerhana bulan sebagian berakhir, pada Rabu (17/7) pagi.

Awal gerhana bulan sebagian diperkirakan dimulai pada Rabu, pukul 01.43 WIB hingga pukul 06.00 WIB, karena setelah itu bulan terbenam, berganti terbitnya matahari.

Sembari menunggu gerhana bulan, pengunjung bisa melihat keindahan bulan melalui teleskop, serta beberapa planet, seperti Saturnus dan Jupiter.



13 teropong

Pengelola Planetarium dan Observatorium Jakarta telah menyediakan 13 teleskop untuk masyarakat yang ingin melakukan peneropongan gerhana bulan.

"Kami sediakan 13 teleskop. Masyarakat bisa meneropong secara langsung," kata Kepala Satuan Pelaksana Teknik Pertunjukkan dan Publikasi Planetarium dan Observatorium Jakarta, Eko Wahyu Wibowo.

Bukan hanya teleskop, pengunjung pun bisa belajar tentang sistem tata surya kepada para mentor yang disiapkan menjaga masing-masing alat peneropong.

Para mentor itu berasal dari Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Soal pengetahuan tentang ilmu astronomi, mereka tak perlu diragukan lagi.

"Di samping memandu, mentor ini memberi edukasi dan pencerahan kepada pengunjung. Misalnya, Saturnus itu kenapa ada cincinnya? Planet Jupiter gimana, dan sebagainya," ujar Eko.
Petugas Planetarium dan Observatorium Jakarta menyetel teleskop untuk mengamati gerhana bulan, Selasa (16/7/2019). (Zuhdiar Laeis)

Meski sudah disediakan 13 teleskop, tetap saja pengunjung harus mengantre cukup lama. Maklum, setiap pengunjung tak mau cepat-cepat memalingkan keindahan bulan dan planet-planet lain dari matanya.

Belum lagi, posisi planet-planet, seperti Saturnus dan Jupiter yang terus bergerak membuat para mentor harus berulang kali menyetel teleskopnya.

Dari teleskop, keindahan bulan terlihat detail, sementara Saturnus tampak jelas bercincin meski ukurannya sangat kecil. Jupiter lebih kecil lagi, tetapi tetap terlihat.

Dengan sabar, para mentor memberikan penjelasan pada pengunjung yang setiap saat selalu bertanya. "Mas, planetnya kok enggak kelihatan ya?"



Fenomena langka

Ternyata, Planetarium dan Observatorium Jakarta tidak hanya sekali itu menggelar peneropongan bulan dan planet-planet di sekitar Bumi.

Setahun, ada 72 kali peneropongan malam yang rutin diadakan pengelola Planetarium dan Observatorium Jakarta, dengan mengajak masyarakat.

Namun, itu belum termasuk peneropongan saat ada fenomena-fenomena astronomi tertentu, seperti gerhana bulan seperti sekarang ini.

Tahun ini, hanya ada tiga kali fenomena gerhana, yakni gerhana bulan sebanyak dua kali pada Januari dan Juli ini, kemudian gerhana matahari pada Desember mendatang.

Menurut ahli astronomi dari Planetarium Jakarta Cecep Nurwendaya, fenomena gerhana bulan ini merupakan yang pertama kali bisa disaksikan secara langsung sepanjang 2019.

Gerhana bulan total pertama pada tahun ini terjadi pada 21 Januari lalu, namun tidak bisa dilihat karena di Indonesia berlangsung siang hari.

Beruntungnya, kali ini gerhana bulan bisa disaksikan secara langsung karena berlangsung malam hari, didukung cuaca yang teramat cerah.


 
Malam berganti pagi, namun para pengunjung yang kebanyakan anak muda tetap bersemangat menunggu proses gerhana bulan, sembari sesekali mengintip lewat teleskop.

Banyak yang menyiasati waktu dengan bercengkerama, meng-"update" status media sosial lewat ponsel, menunggu puncak gerhana bulan yang diperkirakan terjadi pukul 04.30 WIB.

Apalagi, lampu-lampu di pelataran Planetarium dan Observatorium Jakarta kemudian dimatikan, membuat cahaya bulan kian jelas menerangi, sebelum tertutup bayangan bumi.