Tekan Impor dan Berdayakan Pangan Mandiri Indonesia

id Tekan Impor dan Berdayakan Pangan Mandiri Indonesia, Ekspor, Impor, Makanan, Produksi, Pedagangan, Neraca, anak, balita, kampung, Punduh, Beras, padi

 Tekan Impor dan Berdayakan Pangan Mandiri Indonesia

Pembagian bantuan beras untuk nelayan/ilustrasi. (ANTARA FOTO Dok/Dedhez Anggara).

Presiden RI periode mendatang wajib lepaskan Indonesia dari tekanan impor pangan."
Jakarta (Antara) - Masalah impor pangan yang terus menggaung di tengah masyarakat membuat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Kehati menegaskan pemerintahan mendatang mesti mengurangi impor pangan sebagai cara untuk menegakkan kedaulatan pangan di Tanah Air.

"Presiden RI periode mendatang wajib lepaskan Indonesia dari tekanan impor pangan," kata Direktur Program Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Arnold Sitompul di Jakarta, Selasa (29/4).

Menurut Arnold, ketergantungan Indonesia pada produk pangan impor sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan.

Untuk itu, ujar dia, pemerintahan periode mendatang (2014--2019) harus mampu memberikan perubahan pada tata kelola pangan di Indonesia.

Selama ini, lanjutnya, esensi dari kedaulautan pangan masih belum tersentuh oleh Pemerintah sehingga diperlukan perubahan dari hal yang paling dasar.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia masih aktif melakukan impor berbagai komoditas pangan.

"Dalam kurun waktu Januari hingga Oktober 2013, impor bahan pangan masih tinggi, yaitu sebanyak  15,4 juta ton," ungkapnya.

Di antara komoditas pangan yang diimpor itu, ujar dia, adalah beras dengan jumlah mencapai 400.000 ton, lalu komoditas kedelai mencapai 1,4 juta ton, bahkan singkong pun ikut diimpor dengan jumlah mencapai 100,7 ton.

Arnold Sitompul berpendapat bahwa ketergantungan pada produk impor disebabkan karena alih fungsi lahan di wilayah Jawa.

"Sentra pangan di wilayah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur telah berubah fungsi menjadi permukiman sehingga produksi pertanian menurun drastis," ucapnya.

Selain itu, orientasi pertanian Indonesia yang masih berbasis lahan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang pada akhirnya mengganggu keberlanjutan pertanian itu sendiri.

Problematika lain yang muncul dari tata kelola pangan di Indonesia adalah penganekaragaman pangan yang tidak sinergi dengan rencana pembangunan sehingga beberapa wilayah di Indonesia bagian timur sangat tergantung pada padi. Padahal, daerah-daerah ini tidak pernah mengonsumsi padi sejak awal.

"Oleh karena itu, penganekaragaman pangan melalui pengembangan pangan lokal untuk ketahanan pangan harus menjadi prioritas pemerintah," tegas Arnold.
   
                          Redistribusi Sumber Agraria
Sementara itu, LSM Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) mengatakan bahwa redistribusi sumber-sumber agraria secara adil adalah langkah yang penting guna menciptakan kedaulatan pangan bagi rakyat Indonesia.

"Banyak hal yang harus dilakukan untuk menciptakan kedaulatan pangan Indonesia, salah satunya adalah terdistribusinya sumber-sumber agraria dengan adil," kata Koordinator Pokja Beras ADS Said Abdullah.

Meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, menurut Said, implementasinya lemah.

Hal itu, kata dia, karena hal itu diserahkan pada provinsi dan kabupaten, tanpa adanya koordinasi dan perencanaan yang berkesinambungan.

"Sejauh ini, laju konversi lahan pangan terus berlangsung dengan masif," katanya.

Ia juga berpendapat masih belum jelasnya perlindungan terhadap penghasil pangan skala kecil dari ketidakpastian iklim serta kecukupan sarana dan prasarana produksi.

Said mengingatkan lagi bahwa penghasil pangan skala kecil terlalu sering diabaikan dan menjadi korban atas nama pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.

Dalam hal perikanan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyesalkan pembuat kebijakan dinilai masih belum menganggap sektor perikanan sebagai sumber pangan yang strategis di negara kepulauan seperti Indonesia.

"Sektor perikanan tidak dianggap sebagai sumber produk pangan strategis, tetapi hanya difokuskan pada peningkatan produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Sekjen Kiara Abdul Halim.

Menurut dia, alih-alih masyarakat Indonesia mendapatkan sumber protein bermutu dari lokal, justru malah dipaksa menjadi penonton karena hasil tangkapan diekspor.
   
                             Utamakan Dalam Negeri
Abdul Halim mengingatkan bahwa jelas dalam UU No. 45/2009 tentang Perikanan mengamanatkan untuk mengutamakan pasokan dalam negeri.

"Kebijakan seperti ini (mengutamakan ekspor dibanding pasokan dalam negeri) mustahil bisa menyejahterakan nelayan," ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengusulkan sejumlah komoditas perikanan dimasukkan ke dalam kategori barang kebutuhan pokok karena telah menjadi bagian utama dari pola makan sebagian masyarakat Indonesia.

"KKP mengusulkan komoditas perikanan, terutama ketiga jenis komoditas di atas, agar dimasukkan dalam kategori barang kebutuhan pokok karena telah memasyarakat dan menjadi bagian yang menguasai hajat hidup orang banyak," kata Dirjen Perikanan Budi Daya KKP Slamet Soebjakto.

Ketiga komoditas perikanan itu adalah ikan bandeng, ikan tongkol, dan ikan kembung yang telah memberikan bagian terhadap inflasi rata-rata sebesar 0,56 persen.

Untuk itu, kebijakan strategis KKP, antara lain mendorong peningkatan produksi dalam rangka menopang ketahanan pangan dan gizi masyarakat yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

"Saat ini subsektor perikanan budi daya menjadi basis bagi penguatan ketahanan pangan nasional," ujarnya.

Selain ketiga komoditas perikanan tersebut, sejumlah komoditas lainnya seperti ikan patin mengalami lonjakan baik dari domestik maupun internasional.

KKP bersama-sama dengan pemerintah Belanda meluncurkan proyek terkait dengan ketahanan pangan di Indonesia guna mempromosikan produk perikanan berkelanjutan dari Indonesia.

"Ke depan, kami berharap bahwa kegiatan kemitraan serupa akan banyak dilakukan oleh pihak-pihak lain untuk membantu memastikan kesejahteraan bagi generasi sekarang dan yang akan datang," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo.

Proyek kerja sama KKP dan pemerintah Belanda itu akan berlangsung dalam kurun waktu 2014--2016.

Dalam perjalanannya, proyek tersebut diharapkan bakal meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan produk perikanan tertentu untuk pasar domestik.

Menurut Sharif, harus diingat pula bahwa Asia, termasuk Indonesia, menyumbang 67 persen dari total produksi ikan dunia dan telah menjadi sumber utama protein hewani dan gizi untuk populasi manusia secara global.