Ketua MPR: Wacana hidupkan Utusan Golongan perlu lebih dielaborasi
Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo menyampaikan wacana menghidupkan kembali Utusan Golongan perlu lebih dielaborasi karena usulan itu dapat jadi cara menjadikan MPR lebih inklusif.
Oleh karena itu, Bambang Soesatyo yang populer dengan nama Bamsoet, mendorong ruang diskusi menghidupkan Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI perlu diperbanyak.
"Wacana menghadirkan kembali Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh. Ruang dialektikanya harus dibuka lebar, tidak boleh ditutup apalagi buru-buru ditangkal. Baik yang pro maupun kontra bisa menyampaikan argumentasinya," kata Bamsoet sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin.
Ketua MPR RI menyampaikan ia mendengar sejumlah pihak berpendapat Utusan Golongan dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik.
Oleh karena itu, kehadiran Utusan Golongan dinilai dapat menjadikan MPR RI lebih inklusif atau mengikutsertakan seluruh kelompok.
"Sebagaimana pernah disampaikan Pakar Kebangsaan Yudi Latif dalam salah satu seri FGD yang diselenggarakan MPR RI bersama Aliansi Kebangsaan bahwa keberadaan Utusan Golongan berangkat dari prinsip keadilan Multikulturalisme yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan golongan dalam masyarakat," tutur Bamsoet.
"Perbedaan golongan ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa tiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Terkait itu, pemenuhan hak individu bisa terkait dengan keadaan golongannya," ujar Ketua MPR RI menambahkan.
Dalam siaran tertulis yang sama, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan Diani Sadiawati mendukung ide membangun MPR RI yang lebih inklusif.
"Utusan Golongan pada dasarnya menjadi solusi dalam hal ada celah tidak terwakilinya fungsi-fungsi penting dalam masyarakat seperti kelompok keahlian tertentu, kalangan profesional, asosiasi pelaku usaha, petani, pekerja, dan seterusnya," kata Diani.
Di dalam kondisi sekarang, jika PPHN dihidupkan, penyusunannya secara eksklusif akan dipegang oleh kalangan partai politik (DPR) dan wakil daerah (DPD). Inklusifitas proses penyusunan PPHN jadi sangat penting karena berkaitan dengan berbagai komitmen SDGs yang fondasinya adalah prinsip leave no one behind (tidak ada kelompok yang tertinggal, red.), tutur Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas itu.
Jika MPR dapat jadi lebih inklusif, maka itu akan sejalan dengan upaya membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) lewat amendemen UUD 1945, ucap dia.
Alasannya, PPHN, jika nantinya terbentuk, harus jadi karya kolektif bangsa, yang mana seluruh elemen bangsa turut terlibat sehingga turunannya, yaitu Perencanaan Pembangunan Nasional pun jadi inklusif, kata Diani.
Oleh karena itu, Bambang Soesatyo yang populer dengan nama Bamsoet, mendorong ruang diskusi menghidupkan Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI perlu diperbanyak.
"Wacana menghadirkan kembali Utusan Golongan sebagai anggota MPR RI merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh. Ruang dialektikanya harus dibuka lebar, tidak boleh ditutup apalagi buru-buru ditangkal. Baik yang pro maupun kontra bisa menyampaikan argumentasinya," kata Bamsoet sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin.
Ketua MPR RI menyampaikan ia mendengar sejumlah pihak berpendapat Utusan Golongan dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik.
Oleh karena itu, kehadiran Utusan Golongan dinilai dapat menjadikan MPR RI lebih inklusif atau mengikutsertakan seluruh kelompok.
"Sebagaimana pernah disampaikan Pakar Kebangsaan Yudi Latif dalam salah satu seri FGD yang diselenggarakan MPR RI bersama Aliansi Kebangsaan bahwa keberadaan Utusan Golongan berangkat dari prinsip keadilan Multikulturalisme yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan golongan dalam masyarakat," tutur Bamsoet.
"Perbedaan golongan ini bisa dijelaskan dengan fakta bahwa tiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Terkait itu, pemenuhan hak individu bisa terkait dengan keadaan golongannya," ujar Ketua MPR RI menambahkan.
Dalam siaran tertulis yang sama, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan Diani Sadiawati mendukung ide membangun MPR RI yang lebih inklusif.
"Utusan Golongan pada dasarnya menjadi solusi dalam hal ada celah tidak terwakilinya fungsi-fungsi penting dalam masyarakat seperti kelompok keahlian tertentu, kalangan profesional, asosiasi pelaku usaha, petani, pekerja, dan seterusnya," kata Diani.
Di dalam kondisi sekarang, jika PPHN dihidupkan, penyusunannya secara eksklusif akan dipegang oleh kalangan partai politik (DPR) dan wakil daerah (DPD). Inklusifitas proses penyusunan PPHN jadi sangat penting karena berkaitan dengan berbagai komitmen SDGs yang fondasinya adalah prinsip leave no one behind (tidak ada kelompok yang tertinggal, red.), tutur Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas itu.
Jika MPR dapat jadi lebih inklusif, maka itu akan sejalan dengan upaya membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) lewat amendemen UUD 1945, ucap dia.
Alasannya, PPHN, jika nantinya terbentuk, harus jadi karya kolektif bangsa, yang mana seluruh elemen bangsa turut terlibat sehingga turunannya, yaitu Perencanaan Pembangunan Nasional pun jadi inklusif, kata Diani.