KPAI: Perlindungan Anak Penuh Dinamika

id perlindungan anak,kpai,peradilan anak,seto

KPAI: Perlindungan Anak Penuh Dinamika

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi memberikan keterangan pers seusai Deklarasi Gerakan Semesta Perlindungan Anak di Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)

Terdapat dinamika dalam penyelenggaraan perlindungan anak."
Jakarta, (ANTARA Lampung) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai penyelenggaraan perlindungan anak di Tanah Air penuh dinamika dan pasang surut.
        
"Terdapat dinamika dalam penyelenggaraan perlindungan anak," ujar Anggota KPAI, Susanto di Jakarta, Kamis.
        
Pada 2014, pada aspek regulasi ada perubahan, yaitu adanya revisi UU 23/2002 tentang perlindungan anak menjadi UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
        
"Pada aspek konten, dalam UU lama, terminologi 'kejahatan seksual' terhadap anak tidak ada, namun dalam UU 35 Tahun 2014, dikenal kejahatan seksual terhadap anak. Bahkan disebut lima kali dalam UU tersebut. Ini menujukkan bahwa negara telah memandang bahwa kejahatan seksual terhadap anak sudah menjadi masalah serius," kata dia.
        
Namun demikian, dari aspek pidana pelaku kejahatan seksual masih rendah.
        
Pada 2014, juga menjadi tahun pelaksanaan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Jika dalam UU lama, paradigma penanganan masalah anak yang berhadapan dengan hukum "cenderung berorientasi pembalasan" dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak 2014, menggunakan paradigma pemulihan.
        
"Ini menjadi harapan positif bagi penanganan masalah pidana anak. Namun sayangnya, pada aspek kesiapan pelaksanaan termasuk kesiapan SDM, insfrastruktur, belum memadai."
   
Susanto juga mencatat pada 2014, masalah anak cukup tinggi dan mencuat. Terkuaknya kasus pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS), kasus Emon, kasus kekerasan di SMAN 3 Jakarta dan lainnya.
        
"Kasus itu menunjukkan betapa anak Indonesia rentan menjadi korban kekerasan," kata dia.
        
Selain itu, Indonesia negara tertinggi kasus penganiayaan kedua setelah Jepang. Di lain pihak, hukuman di sekolah masih banyak terjadi.
        
"Lembaga pendidikan masih membutuhkan revolusi mental dalam penyusunan peraturan sekolah/madrasah," kata dia.