Jakarta (Antara) - Dunia pers dan korps diplomat kehilangan salah satu putra terbaiknya. Drs. Sayyid Dja'far bin Husein bin Ahmad Assegaf alias Djafar Assegaf (80 wafat di Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta, Rabu, pukul 05.00 WIB.
Tokoh berkumis dan energik yang lahir di Tanjungkarang, Lampung, 12 Desember 1932 ini berpulang ke pangkuan Illahi dengan meninggalkan istri Syifa Abdullah. Pernikahan mereka membuahkan lima anak Hasanudin, Soraya, Andi Alwi, Achmad Rukny, dan Muhamad Gazy. Djafar juga memiliki sejumlah cucu.
Salah satu putranya, Gazy menjelaskan selama 17 tahun terakhir, ayahnya menderita penyakit hernia.
"Pascaoperasi, ayah masih bertahan. Tapi setelah kemoterapi, beliau mungkin sudah tidak kuat lagi, mungkin ini sudah waktunya," katanya. Djafar sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana sejak 17 Maret lalu namun seminggu terakhir mendiang dilarikan ke Rumah Sakit Mitra Kemayoran.
Jenazah Djafar Assegaf dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Nasional di Kalibata, Jakarta Selatan.
Sepanjang hidupnya, Djafar sangat menekuni dunia jurnalistik. Bahkan ia pernah menghasilkan buku berjudul "Jurnalistik Masa Kini" (penerbit Ghalia Indonesia, 1983) yang menjadi buku pegangan (handbook) bagi setiap mahasiswa yang menekuni ilmu jurnalistik atau komunikasi massa.
Alumni angkatan pertama dari Jurusan Ilmu Publisistik (sekarang Komunikasi Massa) dari Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia pada 1964 ini, disebut sebagai salah seorang alumni sukses UI pada bidangnya.
Luasnya dimensi dan pengalaman Djafar pada berbagai bidang membuat dia menorehkan penanya dengan menghasilkan sejumlah buku lain seperti "Taipan, Koneksi Bisnis dan Konglomerasi" (Warta Ekonomi, Jakarta, 1994) yang dibuat selepas dia menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Warta Ekonomi (1990-1993), dan dua buku yang diterbitkan berbarengan yakni "Di ambang Balkanisasi dan Disintegrasi:NKRI Menghadapi Pancaroba Politik" (Spora Pustaka, Jakarta, 2002) yang berisi keprihatinan Djafar tentang Negara Kesatuan RI dan "Perlawanan Dalam Kungkungan" yang berisi soal jurnalisme, kebebasan pers, dan kode etik profesi.
"Wartawan tidak pernah pensiun," katanya dalam berbagai kesempatan seminar dan berbincang-bincang. Dalam pengalaman jurnalistiknya, Djafar pernah menjadi Redaktur Politik Harian Indonesia Raya (1956-1959), Wakil Pemimpin Redaksi Harian Abadi (1959-1960), Managing Editor Indonesia Raya (1968), Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya (1972-1990) dan dalam kurun waktu 1980-an di antaranya juga pernah menjadi Wakil Pemimpin Umum LKBN Antara, Pemimpin Redaksi Majalah Warta Ekonomi (1990 -1993), Pemimpin Redaksi Harian Media Indonesia (1997-2001), Wakil Pimpinan Umum Harian Media Indonesia sejak 2002 yang kemudian menjadi anggota Dewan Redaksi Media Indonesia.
Saat masih menjadi siswa di Sekolah Dagang Menengah di Jakarta pada 1950-an, Djafar mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis di tengah aktivitasnya sebagai anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang kebetulan memiliki majalah Pemuda Masyarakat. Sebelum pindah ke Jakarta, Djafar juga sudah aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Pejuang Lampung.
Rezim Demokrasi Terpimpin era Presiden Soekarno berimbas pada pembreidelan harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Loebis pada 1959 saat dia bertugas sebagai redaktur politik. Ia pindah ke harian Abadi tetapi mengalami nasib yang sama terkena breidel oleh Presiden Soekarno.
Menyadari situasi politik saat itu yang dipengaruhi kuat oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), Djafar aktif dalam berbagai kegiatan anti-PKI bahkan dia pernah berada pada Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi (Koti) 1964-1968.
Ketika rezim Orde Baru lahir, harian Indonesia Raya mengalami reinkarnasi dan menempatkan Djafar sebagai Redaktur Pelaksana pada 1968 di harian tersebut. Seterusnya Djafar berada dalam lingkungan tokoh pers nasional.
Djafar ditunjuk oleh Ali Moertopo sebagai Pemimpin Redaksi Suara Karya. Ali Moertopo adalah petinggi militer yang merupakan salah satu arsitek Orde Baru dan Golkar, yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1978-1983). Sejak 1977, Djafar aktif di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bersama Ketua PWI Harmoko.
Diplomat
Kegiatan diplomasi sudah dijalani Djafar saat menjadi wartawan, jauh sebelum dia benar-benar menjadi Duta Besar RI untuk Vietnam (1993-1997). Saat memimpin Suara Karya, ia dipercaya untuk ikut serta dalam diplomasi ke luar negeri yang dilakukan oleh tim di luar Departemen Luar Negeri. Pada 1970-an, Djafar pernah berkeliling ke Eropa Barat untuk memperkenalkan kepada negara-negaraasahabat mengenai pemerintahan rezim Orde Baru termasuk soal integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan RI. Tidak hanya ke Eropa Barat tetapi juga ke Eropa Timur.
Pengalaman tersebut menjadi nilai tambah tersendiri untuk mengantarkan Djafar sebagai Duta Besar RI untuk Vietnam.
Pemimpin Redaksi Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Akhmad Kusaeni menyatakan bahwa Djafar Assegaf semasa hidupnya merupakan tokoh pers yang dikenal luas sebagai wartawan diplomat.
Djafar, kata dia, juga dengan konsisten menjalankan diplomasi pers sehingga dalam kariernya pernah menjabat sebagai Dubes RI di Vietnam.
"Ia adalah penerus wartawan diplomat dari Kantor Berita Antara. Sejumlah wartawan Antara yang pernah menjadi Dubes, antara lain, Adam Malik di Uni Soviet, August Marpaung di Australia, Makmur WIdodo di Perwakilan Tetap RI di PBB," katanya.
Ia berharap akan lahir lagi wartawan diplomat penerus Assegaf, Adam Malik, Marpaung, dan Widodo.
Bagi Kantor Berita Antara, katanya, Djafar adalah pimpinan yang pertama kali melakukan sistem komputerisai di redaksi dan produk Antara pada akhir 1980-an.
"Dahulu wartawan Antara membuat berita pakai mesin ketik, lalu Pak Assegaf mendapatkan hibah komputer NEC dari Jepang. Maka, wartawan Antara termasuk media pertama yang memakai layanan komputer di Indonesia. Itu berkat Pak Assegaf," katanya.
Kedekatannya pada pemilik Grup Media Indonesia, Surya Paloh, bahkan mengantarkan Djafar diminta membantu Partai NasDem yang juga dipimpin oleh Surya Paloh.
Djafar merupakan salah satu figur yang hingga akhir hayatnya tetap teguh pada dunia pers. Hal itu pula yang membuat dia meraih anugerah "Lifetime Achievement Award" saat Peringatan Hari Pers Nasional pada 2008 sekaligus HUT ke-62 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Selamat jalan Pak Djafar.
Djafar Assegaf Tokoh Pers Sekaligus Diplomat
Pascaoperasi, ayah masih bertahan. Tapi setelah kemoterapi, beliau mungkin sudah tidak kuat lagi, mungkin ini sudah waktunya."