Kekuatan Media Ciptakan Sosok Pemimpin Ideal

id Kekuatan Media Massa

Jakarta (ANTARA Lampung) - Seorang tokoh pemimpin lahir dari kekuatan media yang membentuk karakter dan kepribadiannya. Pendapat ini diungkapkan oleh Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Medyatama Suryodiningrat.

Menurut dia, media mempunyai kekuatan dalam membentuk karakter orang, asalkan pribadi tersebut menguasai seluk-beluk dan memaksimalkan sisi positf media massa.

"Sebutlah Jokowi, dia merupakan sosok yang terlahir dari produk pencitraan yang rapi dan berproses tidak cepat. Namun, cukup efektif untuk menjadikannya sebagai simbol masyarakat," kata pemimpin redaksi yang akrab dipanggil dengan Dimas.

Tim "pemasaran" Jokowi atau yang mengatur bagaimana agenda dia di hadapan media, mereka membentuknya menjadi sosok yang bernilai antikorupsi, nilai kejujuran, dan kesederhanaan. Hal tersebut merupakan sosok yang tepat dan ideal untuk menarik minat masyarakat Indonesia pada saat ini, yang sudah terlalu lelah dengan protokoler militer dan kaku.

Hal tersebut merupakan salah satu contoh tokoh yang sukses dibentuk melalui pencitraan media, bahkan lebih akrab dengan nama tenar "Jokowi" yang sekarang sudah menjadi pemimpin Indonesia sebagai Presiden RI.

"Setiap media massa mempunyai karakter masing-masing, PR (public relation) harus paham akan hal itu supaya bisa masuk ke dalam ciri khas setiap media," ujarnya.

Dengan bisanya melebur pada setiap media, jaringan komunikasi politik akan bisa dibangun lebih luas dan bersahabat dengan semua golongan.

Media massa bisa mewakili apa yang dilakukan dan diinginkan oleh para penyelenggara pemerintah. Begitu pula sebaliknya, para tokoh pemangku pemerintahan bisa mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat hanya dengan mengikuti media massa.

Melalui jembatan penghubung tersebut, masyarakat dan tokoh bisa menilai mana yang sosok terbaik atau ideal yang dibutuhkan pada saat ini. Oleh karena itu, pemimpin yang bisa memanfaatkan kekuatan media untuk mencitrakan kinerjanya akan mendapat dukungan langsung dari rakyat.

                                                 Peran Pencitraan
Pada lain kesempatan, politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Eva Kusuma Sundari juga mengingatkan pentingnya pencitraan pada media bagi para tokoh-tokoh yang ada di jajaran kementerian Kabinet Kerja untuk penilaian kinerja.

"Pencitraan harus dilakukan agar perubahan yang terjadi dari hasil kerja keras bisa diapresiasi oleh masyarakat secara langsung," kata Eva Kusuma Sundari.

Ia menjelaskan masih banyak kementerian dari Kabinet Kerja yang kurang tersorot kinerjanya karena sedikitnya pemberitaan yang muncul di media atau kurang menguasai bagaimana memerankan media sebagai pendukung program.

Menurut dia, beberapa menteri yang sudah bekerja keras, seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, terkadang terlihat tidak ada agenda, padahal sudah banyak perubahan dan perkerjaan yang sudah selesai dikerjakan.

"Saya mengetahui kinerjanya dan sering mengingatkan teman-teman menteri untuk membentuk tim pemberitaan kepada media agar bisa diketahui hasilnya oleh masyarakat, di situlah peran dari tim pencitraan," katanya lagi.

Ia berpendapat bahwa hasil kerja menjadi tidak ada artinya apabila masyarakat tidak mengetahui atas perubahan yang terjadi melalui media.

Salah satu pemberitaan di media merupakan salah satu faktor penilaian kinerja kementerian sehingga sah-sah saja untuk mengundang teman-teman wartawan.

"Maka, perlu tim humas yang profesional dalam mengemas pencitraan, asalkan bukan dalam rangka agenda buatan," tuturnya.

Ia menyarankan kepada setiap tokoh menteri agar selalu membuat program yang bisa untuk membantu mepromosikan kementeriannya sendiri dan pembentukan karakter kinerjanya di mata masyarakat.

"Salah satu manfaatnya adalah untuk membantu memperkenalkan fungsi dan tugas dari kementerian sehingga rakyat mengetahui siapa saja menterinya dan apa tugasnya," katanya.

Ke depannya, Eva berharap tidak hanya mengandalkan para PNS yang sudah berumur untuk mencitrakan kinerja dari kementerian, tetapi juga mempekerjakan para profesional muda yang kreatif agar membantu meningkatkan nama baik setiap lembaga.

"Banyak teman wartawan mengeluhkan beberapa kinerja humas yang kaku dan kurang ramah sehingga menjadi malas memberitakan agenda dari lembaga tersebut," ujar Eva.

Dari beberapa lembaga survei mengenai pemberitaan lembaga pemerintah atau kementerian bisa menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi tingkat popularitas dari tokoh-tokoh Kabinet Kerja untuk menjadi lebih baik.

Selain itu, ada beberapa contoh kasus mengenai pentingnya menguasai kekuatan media bagi beberapa tokoh-tokoh penting yang mampu meningkatkan kinerja dan penilaian dari masyarakat.

Sebanyak 70 persen masyarakat pengguna dalam jaringan (daring) Indonesia mendukung Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dengan memberi nilai baik pada 100 hari pertama.

"Masih terlihat besarnya dukungan dan harapan para pengguna daring di Indonesia terhadap penyelenggara pemerintahan, ada banyak yang sentimen positif," kata pendiri Lembaga PoliticaWave Yose Rizal.

Pendapat itu, kata dia, diambil dari survei komentar-komentar masyarakat mengenai kinerja para menteri dan kebijakan yang telah dibuat dalam 100 hari pertama yang beredar dari media sosial.

Antusiasme masyarakat daring terlihat tinggi sejak satu bulan pertama dengan ditandai dengan 1.120.404 percakapan melalui media sosial yang membahas tentang Kabinet Kerja.

"Sejak awal survei ini telah kami pelajari dan mencoba menyimpulkan arah percakapan para pengguna daring," ujarnya lagi.

Agar hasil survei ini, menurut Yose, bisa memacu kabinet kerja untuk evaluasi kinerja mereka.

                                          Pisau Bermata Dua
Namun, kekuatan media tidak serta-merta memberi dampak yang baik secara signifikan.

Apabila tokoh atau tim pemasaran media salah langkah dan bersikap acuh terhadap dampaknya, sekali salah langkah, akan membawa efek kemunduran bagi usaha penokohan yang selama ini sudah dibangun.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijanto mendapatkan predikat percakapan terbanyak dalam kategori komentar negatif.

Hal itu terkait dengan pernyataannya "rakyat tidak jelas" bagi yang mendukung KPK.

Dari komentarnya yang "sembrono" tersebut, tampak langsung cibiran dari masyarakat mengenai tingkah dan karakternya, terbukti Tedjo dijadikan bahan rundung oleh masyarakat daring.

Masyarakat mulai mengolok-olok pernyataannya dengan membandingkan sosok "Surti-Tedjo" dalam lagu yang dibawakan oleh kelompok musik Jamrud, yakni osok Tedjo sebagai pemimpin yang tidak jelas.

Tokoh dengan sambutan negatif lainnya adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Dia mendapat sambutan negatif karena gagal mengelola isu yang berkembang di media mengenai pengosongan kolom agama di KTP dan server dari E-KTP yang disinyalir berada di luar negeri.

Pelemparan isu kontroversial tersebut gagal ditanggulangi timbal baliknya oleh tim pemasaran dari Mendagri, akhirnya menjadi "Boomerang" yang mengakibatkan turunnya legitimasi dan kewibawaan Mendagri.

Walau hanya sebagai wacana, menurut Yose selaku pendiri Lembaga Survei Media PoliticaWave, pelemparan isu tersebut terlalu awal dan sensitif bagi masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai agama.

"Seperti bensin yang menyambar api sehingga langsung tersulut tak terkendali, begitulah analogi isu sensitif yang termakan mentah-mentah oleh media dan masyarakat," ujarnya.

Walaupun begitu, humas atau tim "pemasaran" internal lembaga harus memahami karakter apa yang disukai oleh masyarakat mengenai konsumtif informasi.

"Ada kalanya perlu membaca selera masyarakat, saya menilai Indonesia suka dengan isu yang atraktif dan lugas, seperti unik tetapi hasilnya terlihat nyata atau visual," kata Yose.

Contohnya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang mendapatkan nilai suara terbanyak dari kalangan "netizen" atau pengguna dalam jaringan (daring) internet terkait dengan tokoh menteri paling banyak diperbincangkan selama 100 hari pertama kinerja Kabinet Kerja.

Menteri Susi Pudjiastuti banyak dibicarakan karena kebijakannya yang terkesan berani dalam bertindak meledakkan kapal-kapal pencuri ikan di perairan Indonesia.

Media gencar memburu tindakan Susi, apalagi masyarakat menunggu eksekusi dari peledakan kapal tersebut. Dengan begitu, nama Kementerian Kelautan dan Perikanan langsung naik daun di samping karna sosoknya yang "nyentrik" (unik di luar kebiasaan pejabat negara).

Menurut pandangan Yose, masyarakat pengguna media sosial Indonesia lebih menyukai kebijakan dari para tokoh Kabinet Kerja yang berupa tindakan spontan dan tegas.

"Menurut saya, asalkan kebijakan itu tegas dan spontan, apalagi kontroversial, masyarakat akan menyukainya karena belum ada yang berani melakukan tindakan-tindakan itu," katanya.

Pada satu bulan pertama, Susi banyak mendapat perbincangan negatif karena kelakuan dan latar belakangnya yang hanya tamat SMA, perokok, bertato, dan bukan politikus.

Namun, karena sikapnya yang tegas dan kebijakan yang berani beda serta pengemasan pemberitaan yang bagus, masyarakat beralih pada dukungan positif.

"Oleh karena itu, humas dari kementerian harus berani dan pintar mencitrakan program kinerja mereka agar masyarakat mengetahui apa saja yang telah dilakukan menteri mereka. Pengemasan berita itu penting, bukan hanya isinya," ujarnya pula.

Dengan begitu, muncul tokoh pemimpin baru dalam Kabinet Kerja, dalam kategori ini, Susi dikenal sebagai pemimpin dengan karakter spontan.

Yose menyarankan agar kementerian tidak hanya kerja, tetapi tetap mencitrakan apa yang telah dikerjakan agar tidak terkesan diam-diam saja walaupun kinerjanya sudah baik.

"Pengemasan pemberitaan sangat penting untuk menambah penilaian terhadap masyarakat, asalkan bukan agenda yang dibuat-buat," tuturnya.

Melalui pengemasan media yang terencana diharapkan dapat memunculkan tokoh-tokoh baru yang lebih mewakili karakter yang diinginkan oleh masyrakat dalam melakukan penyelenggaraan negara.

"Pencitraan bukan sekadar teori agenda setting semata, melainkan refleksi program kerja," kata Yose.