Makassar (ANTARA) - Dua media daring masing-masing herald.id dan inikata.co.id beserta wartawannya dan narasumbernya digugat total Rp700 miliar karena pemberitaan oleh lima orang mantan Staf Khusus (Stafsus) Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman.
Gugatan itu disampaikan saat sidang pembacaan gugatan di Pengadilan Negeri Kelas I A Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa.
Sidang lanjutan tersebut atas perkara gugatan perdata dengan nomor 3/Pdt.G/2024/PN Mks. Para penggugat masing-masing Muh Hasanuddin Taiben, Andi Ilal Tasma, A Chidayat Abdullah, Arif dan Arman. Kelimanya merupakan mantan Stafsus Gubernur Sulsel atau eks pejabat publik.
Sedangkan tergugatnya, tergugat I media daring atau online inikata.co.id, tergugat II Burhan (wartawan), tergugat III media online herald.id tergugat IV Andi Anwar (wartawan), serta turut tergugat V yakni Aruddini selaku narasumber.
Para penggugat menggugat dengan tuntutan ganti rugi materiil terhadap tergugat III dan tergugat IV senilai Rp100 miliar dan tuntutan kerugian in materiil terhadap tergugat I—IV senilai Rp500 miliar, begitupun tergugat I dan II dengan tuntutan sama dengan tergugat III dan IV dengan total gugatan Rp700 miliar.
Kuasa hukum para penggugat Murlianto, menyatakan gugatan tersebut dilayangkan atas pemberitaan yang menyudutkan kliennya berjudul "ASN yang di non-jobkan di era kepemimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman diduga ada campur tangan Stafsus" yang diterbitkan pada 19 September 2023 saat konferensi pers. Meskipun telah diberikan hak jawab, penggugat bersikukuh itu adalah pelanggaran.
"Hak jawab ini dilakukan sebelum berita itu naik. Bukan saat nanti ada perintah bahwa Dewan Pers dilakukan. Itu tidak. Berita itu dibuat seharusnya adil, dalam arti tidak menyudutkan salah satu pihak.Tapi kita harus melakukan berita perimbangan," katanya kepada wartawan usai sidang.
Menanggapi hal tersebut kuasa hukum tergugat III dan IV dari LBH Pers Makassar Firmansyah menilai gugatan tersebut diduga mempunyai niat membangkrutkan media dan wartawan yang digugat. Sehingga perkara ini menjadi preseden buruk di negara demokrasi, mengingat fungsi pers merupakan salah satu pilar demokrasi Indonesia.
"Kami melihat ada upaya pembangkrutan dan pemiskinan terhadap perusahaan media dan wartawannya yang digugat. Klien kami sudah memenuhi tuntutan hak hukum berupa hak jawab dan klarifikasi," ujar pria disapa akrab Charlie ini.
"Bagi kami, dengan terbitnya hak jawab atas rekomendasi Dewan Pers seharusnya sudah tidak ada masalah secara hukum, karena hak dia untuk mendapatkan klarifikasi dan hak jawab, itu sudah dilaksanakan klien kami serta sudah dianggap selesai, tapi ini malah dituntut," ujarnya.
Ia menjelaskan, terkait pemberitaan mengarah ke sengketa pers sudah diatur penyelesaian dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, kemudian turunannya melalui Peraturan Dewan Pers. Dan apabila terjadi sengketa Pers ada mekanismenya diatur seperti hak jawab, hak koreksi dan hak tolak. Selain itu, Undang-undang Pers merupakan produk hukum lex spesialis atau bersifat khusus.
Hal senada disampaikan kuasa hukum turut tergugat V mengemukakan saat itu kliennya menggelar konferensi pers terkait keputusan gubernur menonjobkan, mutasi, dan demosi kepada beberapa ASN tanpa alasan jelas. Ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaan, tapi belakangan malah digugat.
"Berdasarkan undang-undang, negara menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat termasuk kebebasan Pers. Jika klien kami turut tergugat itu tidak berdasar karena sebagai narasumber. Dalam prespektif Pers, narasumber bagian dari perlindungan Pers, jadi mereka juga harus dilindungi," tuturnya.
Sidang tersebut mendapat pengawalan dari Koalisi Advokasi Jurnalis Sulawesi Selatan tergabung dari empat organisasi Pers seperti AJI Makassar, IJTI Sulsel, PFI Makassar, dan PJI Sulsel. Sebelumnya, kasus serupa tentang sengketa Pers juga dibawa ke pengadilan dengan nilai tuntutan Rp100 triliun, namun akhirnya dimenangkan enam tergugat.