Peneliti: Tarif cukai hasil tembakau perlu dinaikkan agar jumlah perokok menurun

id rokok, prevalensi merokok,COVID-19

Peneliti: Tarif cukai hasil tembakau perlu dinaikkan agar jumlah perokok menurun

Tangkapan layar Wakil Tim Peneliti Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Krisna dalam webinar, Selasa (2/11/2021). ANTARA/Sanya Dinda

Sejalan dengan COVID-19 yang membutuhkan hidup yang bersih dan sehat, COVID-19 bisa menjadi satu momen kampanye bahwa berhenti merokok akan menguntungkan bagi individu. Dengan berenti merokok, risiko individu terpapar COVID-19 akan lebih rendah, imbu

Jakarta (ANTARA) - Wakil Tim Peneliti Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Krisna menyarankan agar pemerintah meningkatkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk menurunkan jumlah perokok.

“Kenaikan cukai yang terstruktur dan dengan frekuensi beberapa tahun sekali bisa meningkatkan harga rokok yang menjadi motivasi bagi masyarakat untuk berhenti merokok,” kata Krisna dalam webinar “Tapak Tilas Advokasi Harga Rokok di Indonesia”, Selasa.

Di samping meningkatkan CHT, pemerintah juga perlu menyederhanakan golongan CHT. Dengan ini, harga rokok juga bisa naik sehingga masyarakat berhenti merokok dan lebih aman dari paparan COVID-19.

“Pemerintah juga perlu meningkatkan efektivitas penggunaan CHT yang dialokasikan menjadi DBH (Dana Bagi Hasil) CHT untuk mengatasi eksternalitas negatif dari konsumsi rokok di berbagai sektor," ucapnya.

Baca juga: Dokter Paru: Asap rokok jadi faktor utama terjadinya penyakit paru

Berdasarkan hasil penelitian ketiga lembaga terkait kebiasaan merokok di tengah COVID-19, penyakit COVID-19 yang mengganggu pernapasan tidak membuat perokok menghentikan kebiasaan menghisap nikotin.

Keputusan masyarakat pun cenderung lebih dipengaruhi oleh harga rokok. Apabila harga naik, masyarakat berpotensi mengurangi konsumsi rokoknya atau berhenti sama sekali.

Hanya saja selain meningkatkan harga rokok, Krisna memandang pemerintah juga perlu mengurangi jumlah perokok di dalam negeri melalui kebijakan-kebijakan non-fiskal, salah satunya dengan memperbesar gambar peringatan dampak negatif rokok di bungkus rokok.

“Sejalan dengan COVID-19 yang membutuhkan hidup yang bersih dan sehat, COVID-19 bisa menjadi satu momen kampanye bahwa berhenti merokok akan menguntungkan bagi individu. Dengan berenti merokok, risiko individu terpapar COVID-19 akan lebih rendah,” imbuhnya.

Pemerintah pusat juga dapat meningkatkan jumlah pemerintah daerah yang menegakkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Baca juga: Kiat menghilangkan bau rokok

“Ruang publik dapat terjaga dengan penerapan Perda KTR. Pemerintah harus mendorong Pemda yang belum memiliki Perda KPR untuk segera dan tidak menunda membuat dan menerapkannya,” imbuhnya.

Sementara itu, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Atong Soekirman mengatakan pemerintah berusaha berhati-hati dalam meningkatkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang akan mengerek harga rokok.

Meskipun masyarakat bisa mengurangi konsumsi rokok karena harganya naik, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan kerugian bagi petani tembakau, industri rokok, dan negara. Pasalnya, peredaran konsumsi rokok ilegal juga bisa semakin marak dengan tingginya CHT.

“Pada satu titik CHT dinaikkan juga akan menaikkan penerimaan negara. Tapi kalau terlalu tinggi, perokok akan bergeser ke rokok ilegal, meskipun telah dilakukan berbagai pengamanan oleh Bea Cukai,” ucap Atong dalam kesempatan yang sama.