Derap Langkah Penyelamatan Aset

id stasiun tanjungkarang

Derap Langkah Penyelamatan Aset

Kereta Way Umpu dan Seminung digabungkan untuk menambah daya angkut para pemudik di Stasiun Tanjungkarang, Lampung. (Foto : Antaralampung.com/Emir FS)

Bandarlampung, (Antaranews Lampung) - Sebagai salah satu BUMN yang terbilang tua, KAI memiliki aset yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Hal ini memiliki keuntungan dan kesulitan tersendiri. 

Keuntungannya adalah aset negara yang dikelola oleh KAI berjumlah tidak sedikit, sehingga ini merupakan potensi bagi perusahaan dalam mengembangkan usaha. Di sisi lain, hal ini justru memunculkan kesulitan tersendiri dalam pengelolaan aset tersebut. Pasalnya, aset yang rata-rata yang sudah berusia tua itu bukti kepemilikannya seringkali menjadi permasalahan tersendiri antara masyarakat dan pihak KAI.

Aset KAI tersebar di seluruh Indonesia, terutama di Daerah Operasi (Daop) yang berada di Pulau Jawa dan Divisi Regional (Divre) di Pulau Sumatera, yang merupakan wilayah kerja KAI. Mulai dari Daop 1 hingga Daop 9 dan Divre 1 hingga Divre 4.

Berdasarkan sejarahnya, perkeretaapian Indonesia ditandai dengan pembangunan jalan kereta api yang dilaksanakan oleh Perusahaan Kereta Api Negara (Staat Spoorwegen disingkat SS) beroperasi sejak tahun 1878 yang berkantor pusat di Bandung (sekarang menjadi Kantor Pusat PT. Kereta Api Indonesia (Persero)), dan Perusahaan Kereta Api Swasta (Verenigde Spoorwegbedrjf disingkat VS) beroperasi sejak tahun 1867 yang berkantor pusat di Semarang.

Pembangunan jalan kereta api di Sumatera dilaksanakan oleh Perusahaan Kereta Api Negara (Staat Spoorwegen) di Aceh, Sumatera Barat, serta di Lampung dan Sumatera Selatan, sedangkan pembangunan jalan kereta api di Sumatera Utara dilaksanakan oleh Perusahaan Kereta Api Swasta Deli Spoorweg Maatschappij (DSM).

Sebelum dilaksanakan pembangunan jalan kereta api oleh Perusahaan Kereta Api Negara, terlebih dahulu dilakukan Penyerahan Penguasaan (Bestemming) tanah negara kepada Staat Spoorwegen (SS) berdasarkan Peraturan/ Ordonantie yang dimuat dalam Staatsblad masing-masing. Kepemilikan lahan pada saat itu ditandai oleh Grondkaart.

Grondkaart merupakan Surat Ukur atau Gambar Teknis dan memiliki dasar hukum berupa keputusan (besluit) dan atau penetapan (beschikking). Dan bisa digunakan sebagai referensi awal bagi proses pembuktian hak kepemilikan lahan. Tanah-tanah yang sudah dibestemmingkan kepada SS lalu diukur, dipetakan dan diuraikan dalam grondkaart. 

Pengukuran menggunakan teknik geodesi oleh Landmester (Petugas PengukuranKadaster). Dan untuk memenuhi Legalitas dan Peraturan yang berlaku, maka setiap grondkaart disahkan oleh Kepala Kantor Kadaster dan Residen setempat.
 
(PT KAI Sosialisai keselamatan di perlintasan kereta/Antara Lampung/Ardiansyah)


Tanah-tanah yang diuraikan dalam grondkaart tersebut statusnya merupakan tanah negara, namun kualitasnya sudah menjadi kekayaan negara aset SS (berdasarkan penyerahan penguasaan/ bestemming). Sehingga terhadap tanah tersebut berlaku peraturan perundang-undangan perbendaharaan negara (komtabel). 

Tanah-tanah tersebut tidak dapat diberikan kepada pihak lain sebelum mendapat izin dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Pembina Umum Kekayaan Negara.
Grodkaart merupakan hasil final. 

Berdasarkan azas domein dalam hukum agraria sebagaimana yang temuat dalam Agrarische Wet (Staatblad 1870 N0. 55) dan Agrarische Besluit (Staatblad 1870 No. 118), kepada instansi pemerintah tidak diberikan surat tanda bukti hak atas tanah. 

Sehingga berdasarkan azas hukum tersebut, maka kepada Perusahaan Kereta Api Negara (Staat Spoorwegen disingkat SS) tidak dibuatkan surat tanda bukti hak atas tanah. Sehingga grondkaart yang dimiliki oleh SS fungsinya sama dengan Surat Tanda Bukti Hak bagi perorangan atau badan hukum swasta.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan berdirilah Negara Repubilk Indonesia maka kekayaan Pemerintah Hindia Belanda demi hukum (van rechtswege) otomatis menjadi kekayaan Negara Republik Indonesia yang penyerahan kedaulatannya pada Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani tanggal 2 November 1949 dan berlaku mulai 27 Desember 1949. 

Dengan telah terlaksananya penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar, maka Perusahaan Kereta Api Negara (Staat Spoorwegen disingkat SS) telah dinasionalisasi menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia.

Oleh karenanya sejak dibentuknya Djawatan Kereta Api (DKARI) pada tanggal 28 September 1945, maka semua aset SS yang diuraikan dalam grondkaart otomatis menjadi aset DKARI dan nasionalisasi asetnya pada Konferensi Meja Bundar. 

Dalam perkembangannya, DKARI kemudian sempat beberapa kali berganti nama. Hingga akhirnya pada tahun 1998, satu-satunya perusahaan kereta api di Indonesia tersebut berubah nama menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero), berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1998.

Menurut ketentuan tersebut tanah aset PT. Kereta Api Indonesia (Persero) baik yang sudah bersertipikat maupun yang belum bersertipikat tidak boleh dilepaskan kepada pihak ketiga jika tidak ada izin dari Menteri Keuangan. Artinya tidak boleh diberikan dengan suatu hak atas tanah kepada pihak ketiga jika tidak ada izin dari Menteri Keuangan.

PT KAI sebenarnya masih memiliki PR (pekerjaan rumah) yang besar terkait penyelamatan aset. Di luar sana masih banyak aset KAI yang sangat bersejarah namun terbengkalai dan ‘mati suri’.Diperlukan kerjasama yang baik antara perusahaan dengan masyarakat dan kerja keras dalam penyelamatan aset tersebut, agar memberikan manfaat yang besar tak hanya bagi perusahaan namun juga masyarakat luas.

Saat ini di wilayah Divre IV Tanjung Karang banyak masyarakat yang menempati aset KAI terprovokasi oleh orang-orang yang merasa menjadi “Robinhood” dengan menjanjikan bisa mengusahakan tanah yang ditempati di sekitar bantaran rel KA untuk disertifikatkan, sehingga masyarakat tidak mau lagi melakukan pembayaran sewa tanah. 

Masyarakat juga mulai berani membangun rumah tinggal mendekati bantaran rel yang tentunya sangat membahayakan bagi perjalanan kereta api, ini semua terjadi karena adanya penjelasan sepihak yang mengatakan bahwa PT. KAI hanya berhak mengelola jalur kereta api 6 meter selebihnya bisa ditempati warga. 

Upaya penertiban aset memang dapat dikatakan sebagai pekerjaan berat. Berat, karena setiap personel penertiban yang terdiri dari pegawai KAI, Polsuska, dibantu TNI dan Satpol PP harus berhadapan langsung dengan masyarakat atau warga yang menempati lahan aset negara. Tak jarang, mereka juga harus siap beradu mental untuk mempertahankan aset negara yang harus dilindungi tersebut. (ADV)