Kisah Salbiyah pendamping dalam memberdayakan masyarakat Penajam Kaltim

id Kisah, pendamping, PPU, memberdayakan, masyarakat

Kisah Salbiyah pendamping dalam memberdayakan masyarakat Penajam Kaltim

Salbiyah, Pendamping Kelurahan Tanjung Tengah di antara pot sabut kelapa yang dipajang di depan warung kelontong Minarwati. (Antaranews Kaltim/ M Ghofar)

Dinamis menjalankan empat fungsi pendampingan, yakni fungsi fasilitator, kapasitor, motivator, dan koordinator
Penajam (ANTARA) -
Matahari masih tinggi, teriknya pun menyengat kulit, namun satu sepeda motor yang ditunggangi seorang wanita bergerak perlahan di jalan beraspal dalam Kelurahan Tanjung Tengah, Kecamatan Penajam, Kalimantan Timur.
 
Pengendara sepeda motor itu adalah Salbiyah (38). Ia adalah Pendamping Kelurahan Tanjung Tengah untuk Program Pembangunan, Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kelurahan Mandiri (P2KPM) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
 
Sabtu (12/12) ini, Salbiyah singgah ke salah satu warung kelontong kecil milik Minarwati (40), salah seorang ibu yang ia latih membuat membuat pot bunga dari cocofiber (sabut kelapa yang telah diambil cocopeatnya).
 
Selain melatih membuat pot, ia juga membina sejumlah kaum ibu membuat aneka makanan ringan seperti stik, keripik, crispy, dan lainnya. Bahkan produk olahan binaannya ini telah punya merk dagang "Binar" dan memiliki izin PIRT (produk izin industri rumah tangga).
 
Salbiyah juga memfasilitasi hal lainnya di kelurahan ini, antara lain pelatihan budidaya magot bsf (black soldier fly) atau belatung sebagai sumber nutrisi bagi hewan ternak, kemudian memfasilitasi perajin gula kelapa dalam pengembangannya, dan hal lain untuk kemasyarakatan pun ia lakukan.
 
Khusus untuk pembuatan pot dari cocofiber, sejumlah kaum hawa telah dilatihnya, namun memang tidak semua yang dilatih tersebut melanjutkan kemampuannya, sehingga saat ini yang masih bertahan membuat dan menjual pot kriya seni ini hanya tiga orang, diantaranya Minarwati.
 
Menurut Minarwati, ia membuat pot dari cocofiber hanya di waktu senggang, karena selain sebagai ibu rumah tangga, ia juga menjaga warung kelontong di depan rumahnya.
 
Saat tidak ada kerjaan dan saat sepi pembeli merupakan waktu yang tepat baginya untuk membuat pot, yakni diawali dengan memotong kawat kasa sebagai kerangka membuat pot.
 
Ketika kerangka sudah terbentuk dua rangkap baik model bulat, segi empat, maupun bentuk hati, ia tinggal memasukkan cocofiber ke dalam kerangka kawat tersebut dan dipadatkan sehingga jadilah karya kriya pot cantik.
 

Bahan baku melimpah
 
Ide membuat pot yang dipelajari Salbiyah secara mandiri yang kemudian ditularkan ke warga ini, diawali dari melimpahnya bahan baku cocofiber di kelurahan ini, sehingga ia berpikir sebaiknya diapakan cocofiber yang masih menjadi limbah tersebut.
 
Cocofiber tersebut merupakan "limbah" dari pembuatan cocopeat yang diolah oleh Zainuddin (59), pamannya Salbiyah. Cocopeat merupakan media tanam atau bahan untuk membuat pupuk organik.
 
Ide pembuatan kriya pot juga diawali dari dorongan sang paman terhadap Salbiyah yang menantang untuk memanfaatkan cocofiber tersebut menjadi barang yang berguna, karena selama ini limbah ini harus dibuang akibat memenuhi halaman dan rumah produksi cocopeat.
 
Zainuddin yang menggiling sabut kelapa untuk diambil cocopeatnya karena pihaknya telah menjalin kontrak dengan salah satu perusahaan perkebunannya setempat, yakni perusahaan tersebut minta dipasok sebanyak 60 ribu ton cocopeat dalam waktu tertentu sesuai perjanjian kontrak.
 
Produksi cocopeat inilah yang menyebabkan melimpahnya cocofiber, sehingga ia harus memanfaatkannya untuk berbagai kerajinan yang bernilai ekonomis.
 
Hingga saat ini Zainuddin masih memberikan cocofiber itu ke masyarakat secara gratis. Bahkan ia bersyukur jika ada yang mau mengambilnya, ketimbang ia harus membuang limbah tersebut.
 
Ia justru terus mendorong warga lain untuk memanfaatkan cocofiber itu untuk berbagai kerajinan yang laku dijual, karena produksi pot oleh warga hingga saat ini hanya memanfaatkan sekitar 1 persen dari total cocofiber yang menumpuk di halaman rumahnya, sehingga ia kerap kesulitan membuangnya.
 
Sebenarnya Salbiyah memiliki banyak pilihan untuk memanfaatkan "limbah" tersebut seperti bahan membuat keset, tali tambang, isi kasur pengganti kapuk, isi kursi, dan pot bunga.
 
Namun untuk pilihan awal ini ia cenderung membuat pot dulu karena jenis ini yang dinilai paling siap. Untuk kriya yang lain, ia berpikir sambil mencari warga yang bersedia atau punya ide untuk mengubah limbah menjadi rupiah.
 
Untuk pot bunga yang ia latihkan ke kaum hawa, sementara ini hanya ada tiga bentuk dengan berbagai ukuran, yakni bentuk hati, kotak, dan bulat dengan masing-masing pot dengan kisaran harga antara Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per pot.
 

Pendampingan di 54 desa/kelurahan
 
Selain Salbiyah, masih banyak pendamping desa/kelurahan lain dalam Program P2KPM Kabupaten PPU, karena dalam program ini satu desa/kelurahan ditempatkan satu pendamping, kemudian tiap kecamatan ada 2-3 pendamping, dan di kabupaten ada pendamping yang membawahi kecamatan dan desa/kelurahan.
 
Di kabupaten ini terdapat 30 desa dan 24 kelurahan yang tersebar pada empat kecamatan, sehingga total pendamping di level dasar ada 54 orang, ditambah 9 pendamping di tingkat kecamatan dan 9 pendamping di tingkat kabupaten.
 
Setiap pendamping selain menjalankan tugas utama dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat dan aparatur desa/kelurahan, mereka juga berkreasi dan mengembangkan sesuai bakat masing-masing.
 
Seperti Muhammad Agung Khisbullah, Pendamping Program P2KPM Kabupaten PPU yang ditempatkan di Desa Rintik, Kecamatan Babulu. Ia memiliki tugas utama mengawal pelatihan yang anggarannya dari Bantuan Keuangan (Bankeu) Khusus dari Pemkab PPU.
 
Selain menjalankan tugas utamanya, Agung juga berkreasi dalam pengembangan pariwisata karena kebetulan ia adalah Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten PPU.
 
Jika dipancing berbincang soal pariwisata, ia akan lancar menjelaskan interkoneksi pariwisata antara objek yang satu dengan objek lainnya, termasuk interkoneksi wisata hingga Desa Rintik.
 
Ia menyadari bahwa pendamping bukan robot yang sekedar menjalankan aktivitas seperti yang dituangkan dalam perjanjiannya kerja, namun kreativitas merupakan hal yang harus diutamakan, karena dari aktivitas dan kreativitas itulah yang mampu membuahkan hasil maksimal.
 
Para pendamping Program P2KPM ini menyadari bahwa mereka bukan robot yang hanya menjalankan tugas sesuai yang tertera dalam kontrak kerja, tapi mereka harus dinamis menjalankan empat fungsi pendampingan, yakni fungsi fasilitator, kapasitor, motivator, dan koordinator.
 
Fungsi fasilitator antara lain melakukan sosialisasi program, melakukan pendampingan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, pelaporan, dan penanganan masalah.
 
Fungsi kapasitor seperti penguatan kapasitas lembaga masyarakat dan penguatan kapasitas masyarakat. Fungsi motivator antara lain sebagai penggerak partisipasi masyarakat, penggerak inovasi, kelembagaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi.
 
Kemudian fungsi koordinator antara lain melakukan sinergitas dan koordinasi dengan OPD, kerja sama dengan program kabupaten, provinsi maupun pusat, kerja sama dengan swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan terlibat aktif dalam proses musyawarah di masyarakat.
Baca juga: Masyarakat Butuh Pendampingan Sadar Sanitasi