LSC: Indonesia Perlu Lebih Serius Hadapi MEA

id Lingkar Studi Cendekia Ingatkan Kesiapan MEA, Mahasiswa Indonesia di Inggris Sikapi MEA, Mahasiswa Indonesia di Inggris, MEA, LSC

Inggris (ANTARA Lampung) - Mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Inggris melalui kelompok Lingkar Studi Cendekia mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu menyiapkan diri lebih serius menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.
   
Menurut Arizka Warganegara, dalam penjelasan tertulis dari Inggris dan diterima di Bandarlampung, Selasa (8/12), dalam waktu dekat Indonesia akan segera menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 9MEA), dan sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati oleh pemerintah negara-negara anggota ASEAN, MEA akan segera berlaku dimulai per 31 Desember 2015.
   
Namun demikian, meskipun tenggat waktu semakin dekat, menurutnya, belum banyak persiapan yang dilakukan oleh pemerintah.

Hal itu, katanya lagi, mengundang keprihatinan dari mahasiswa-mahasiwa Indonesia yang sedang menempuh studi di Inggris.

Arizka menyatakan, Lingkar Studi Cendekia (LSC), sebuah forum diskusi mahasiswa Indonesia di Inggris, telah menggelar diskusi tentang ASEAN dan Masa Depan Regionalisme di Asia Tenggara.

Diskusi ini digelar atas kerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Greater Manchester di Student Union, University of Manchester, Sabtu (5/12).

Pada diskusi tersebut, hadir tiga orang pembicara, yakni Muhammad Zulfikar Rahmat (kandidat PhD di University of Manchester), Zain Maulana (kandidat PhD di University of Leeds), dan Wisnu Ananda (mahasiswa MSc Renewable Energy di University of Manchester). Diskusi ini dimoderatori oleh Ahmad Rizky M Umar, Ketua Divisi Kajian LSC yang juga mahasiswa University of Sheffield.

Menurut Zulfikar, dalam diskusi itu, dewasa ini Asia menjadi semakin penting dalam pentas global. Setelah krisis ekonomi global tahun 2008, mulai terjadi pergeseran kekuatan ke Asia, terutama China/Tiongkok, sehingga juga membuat ASEAN semakin penting dengan kekuatan ekonomi dan sosialnya.

"Peta politik global sudah berubah. Pada banyak negara, mulai muncul Looking East Policy yang membuat ASEAN semestinya juga menjadi semakin diperhitungkan," ujar Zulfikar yang juga aktif sebagai kolumnis di The Huffington Post.

Namun demikian, katanya lagi, nyatanya ASEAN masih harus menghadapi tantangan di dalam, terutama di sisi ekonomi dan politik. Salah satu tantangan itu adalah tingkat kemiskinan dan gap atau kesenjangan pembangunan yang juga tinggi, selain juga soal konflik keamanan kawasan.

Hal itu juga ditegaskan oleh Zain Maulana, walaupun ASEAN sudah cukup maju, mereka masih punya problem di Laut China Selatan.

"Ada banyak klaim teritorial yang dilakukan oleh banyak negara yang membuat ASEAN cukup rentan konflik di kawasan. Masalahnya, tidak semua sepakat dengan pendekatan yang ada," ujar dosen Hubungan Internasional UMY ini pula.

Selain itu, ASEAN sebagai institusi regional juga tidak punya mekanisme yang disepakati semua negara untuk menyelesaikan konflik. "Akhirnya, pendekatannya jadi parsial, semua kepentingan tidak bertemu," kata Zain lagi.

Menurut Wisnu Ananda, dari sisi ekonomi, hal itu juga terlihat. Di negara-negara Asia Tenggara, perdagangan bebas adalah isu utama yang harus dihadapi ketika MEA dilaksanakan.

Namun, tidak semua kebijakan yang dikeluarkan, terutama oleh Indonesia, siap menghadapi hal ini. "Kadang antara perindustrian dan perdagangan tidak nyambung, punya pendekatan sendiri-sendiri," ujar Wisnu pula.

Dia menyatakan, hal itu terlihat dari lambannya persiapan menghadapi MEA. "Baru tahun 2009--2010, Indonesia membicarakan hal ini. Padahal, Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah disahkan sejak tahun 2003," kata Wisnu.

Ia menilai, jika dibandingkan dengan negara lain, tentu saja Indonesia agak ketinggalan. "Beberapa waktu yang lalu, saya sempat pergi ke Thailand. Mereka bahkan sudah mengembangkan produk UMKM unggulan untuk skala nasional yang terakreditasi, sehingga sistem pemasarannya jelas. Padahal Thailand sempat beberapa kali ganti pemerntahan," ujar Wisnu yang juga penerima beasiswa LPDP ini.

Peserta diskusi itu, juga mengafirmasi ketidakjelasan pendekatan dalam menghadapi MEA ini.

"Sebagai contoh, Indonesia tidak punya kebijakan yang jelas untuk menyelesaikan masalah pengungsi Rohingya," kata Najamudin, peserta diskusi dari Leeds.

Adit, peserta diskusi dari Liverpool, juga menyoroti masalah keamanan regional, dengan tidak berfungsi Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN.

Media Wahyudi Askar, Ketua PPI Inggris Raya, juga turut sumbang gagasan. Menurutnya, tantangan MEA bukan hanya kesiapan, tetapi juga hubungan dengan negara tetangga.

"Sumber daya alam kita dikeruk namun hasilnya justru diputar di pasar saham Singapura. Indonesia mestinya bisa menggunakan arena MEA untuk menekan Singapura, agar mau lebih bertanggungjawab untuk tidak memfasilitasi arus pencucian uang dari koruptor Indonesia," kata dia lagi.

Beberapa peserta bahkan mempersoalkan posisi Indonesia di MEA. "Jika ternyata Indonesia tidak siap menghadapi MEA, mengapa tidak keluar atau menunda pengesahannya saja," kata seorang peserta diskusi itu pula.

Zulfikar Rahmat menanggapi hal itu dengan sebuah optimisme. "Ada baiknya kita tidak menjadikan MEA sebagai finish line, tapi sebagai milestone atau titik acuan untuk menjadi kekuatan di tingkat global. Dengan sumber daya manusia Indonesia di masa depan, mestinya kita bisa berpikir lebih jauh," kata Zulfikar lagi.

Ia menambahkan, potensi ini sebetulnya terlihat dari banyak mahasiswa Indonesia di UK. "Dengan adanya beasiswa yang diberikan pemerint, kita semestinya bisa memberikan kontribusi keilmuan di masa depan," ujarnya pula.

Diskusi itu diharapkan bisa menambah gagasan baru Indonesia dalam menghadapi permasalahan-permasalahan global yang ada.

Terlebih, Indonesia diprediksi oleh banyak pihak sebagai salah satu kekuatan besar (emerging forces) di masa depan. Namun realisasi dari hal ini akan bertumpu pada sumber daya manusia Indonesia, termasuk yang sedang menimba ilmu di UK.

"Saya yakin, semua mahasiswa di UK adalah intelektual. Tapi tidak semua mahasiswa itu punya fungsi intelektual bagi Indonesia. Inilah tantangan kita untuk menghadapi MEA," kata Ahmad Rizky MU, Ketua Divisi Kajian LSC, menutup diskusi.