Taybeh, Lebanon (Antara/AFP) - Dalam sebuah tenda di Lembah Bekaa, Lebanon, Sanaa al-Absi menjelaskan cara penggunaan kondom kepada sekelompok wanita pengungsi asal Suriah.
Ini merupakan pertama kalinya bagi beberapa wanita tersebut melihat alat kontrasepsi, yang menjadi bagian dari program pengajaran keluarga berencana bagi para pengungsi Suriah di Lebanon.
Masalah keluarg berencana merupakan merupakan sebuah subjek yang sensitif, yang mempunyai resiko bertabrakan secara kultural, religius dan politis.
Seperti pada kebanyakan negara Timur Tengah, keluarga besar dipandang sebagai anugerah dari Tuhan, dan penggunaan kontrasepsi dianggap sebagai skeptisme atau permusuhan secara langsung.
Dan di Lebanon, dimana arus 1,1 juta pengungsi Suriah telah menguras sumber daya yang ada, keluarga berencana dapat disalah artikan sebagai sebuah langkah untuk membendung pertumbuhan populasi pengungsi.
Absi yang merupakan seorang pengungsi dari provinsi Daraa, Suriah, dan percaya diri namun waspada saat dirinya berbicara mengenai beberapa alat kontrasepsi dalam sebuah tenda yang digunakan sebagai ruang kelas.
Banyak pria menolak untuk menggunakannya karena mengatakan hal tersebut akan mengganggu kenikmatan ketika berhubungan, namun hal tersebut hanyalah psikologis semata.
Dan semua wanita dari 16 wanita yang menghadiri kelas tersebut mengatakan suami mereka tidak akan menggunakan kondom dan lebih tertarik dengan metode kontrasepsi lainnya.
Menyingkirkan Kesalahpahaman
Absi menunjukkan beberapa macam pil, kontrasepsi suntik dan alat intraurin, yang bertujuan untuk menyingkirkan kesalahpahaman dalam tujuan pengajarannya.
Terkait masalah sensitif dalam subjek yang diangkat, Absi menyesuaikannya dengan referensi religius, ekonomi dan kesehatan.
"Kalian dapat memiliki 10 orang keturunan, namun kalian harus memberinya jarak. Ingat bahwa dalam al Quran disebutkan bahwa kalian harus menyusui seorang anak setidaknya selama dua tahun, yang berarti kalian harus memberi jarak setiap kelahiran," ujar Absi.
"Dan kita sekarang berada dalam situasi dimana keadaan kita berbeda dan kalian harus memikirkan tentang krisis dan keadaan kalian," tambahnya.
Keadaan tersebut adalah alasan mengapa kegiatan tersebut menarik perhatian beberapa wanita tersebut. Sebagian besar dari mereka telah berada di Lebanon selama beberapa tahun, sejak konflik Suriah meletus pada Maret 2011 lalu.
Mereka bertahan dengan bantuan dan pekerjaan musiman, dan anak-anak mereka kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan.
"Di Suriah semuanya sangat mudah, semuanya murah, namun disini kami harus mengandalkan bantuan, dan bantuan tersebut tidak lagi datang," kata Shamsa, seorang wanita berusia 35 tahun.
" Mereka mengatakan bahwa ketika seorang bayi baru saja lahir, hal tersebut adalah sebuah anugerah dan Tuhan akan memberi segalanya untuk itu, namun kenyataannya sangat sulit untuk menghidupi mereka, jadi keluarga berencana merupakan sebuah keharusan," ujarnya.
Berita Terkait
AS lancarkan serangan balasan di Irak dan Suriah
Sabtu, 3 Februari 2024 11:03 Wib
Piala Asia: Iran tantang Jepang di 8 besar usai kalahkan Suriah lewat adu pinalti
Kamis, 1 Februari 2024 5:36 Wib
Piala Asia: Kalahkan Suriah 1-0, Australia lolos ke 16 besar
Kamis, 18 Januari 2024 22:02 Wib
Piala Afrika: Uzbekistan bermain imbang kontra Suriah
Minggu, 14 Januari 2024 11:19 Wib
Serangan udara Turki hancurkan 29 sasaran teror di utara Irak dan Suriah
Minggu, 24 Desember 2023 12:06 Wib
The Body Shop Indonesia dan DMC Dompet Dhuafa bantu pemulihan penyintas gempa Turki dan Suriah
Sabtu, 22 Juli 2023 18:06 Wib
Dompet Dhuafa kirim ribuan bantuan kemanusian di tiga lokasi gempa Suriah
Senin, 3 April 2023 19:01 Wib
Demi membeli aset, dua WNA palsukan KTP dan KK
Kamis, 16 Maret 2023 10:37 Wib