Wujudkan angan Negeri Katon pusat budaya Tapis Jejama

id Tapis Lampung, tapis jemama, negeri katon Oleh Ruth Intan Sozometa Kanafi

Wujudkan angan Negeri Katon pusat budaya Tapis Jejama

Perajin tapis wanita di Desa Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, Lampung yang menjual produk Tapis dengan merek dagang "Tapis Jejama". ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.

Bagaimana bisa desa kita atau Tapis Jejama bertahan dan dikenal, kalau tidak ada anak yang bisa membuat Tapis.
Bandarlampung (ANTARA) - Jauh melalui jalan aspal hitam mengkilat di tengah terik matahari menyusuri desa-desa  yang masih kental dengan budaya di Bumi Andan Jejama Kabupaten Pesawaran, Lampung menjadi pemandangan yang tak dapat luput dari pandangan mata.

Permukiman warga dari sejumlah desa yang terjajar rapi mengiringi perjalanan, terdapat satu tujuan yang tetap menjadi pesona bagi masyarakat yang ingin mengenal lebih dalam wastra (kain) tradisional Lampung berupa kain Tapis.

Tak perlu memakan waktu yang cukup lama dengan perjalanan sekitar 45 kilometer dari pusat ibu kota Lampung, yaitu Kota Bandarlampung ada suatu desa yang nyaris mayoritas warganya mahir merangkai benang emas menjadi wastra tradisional Lampung itu.

Negeri Katon mungkin tak lagi asing di setiap telinga masyarakat Lampung sebagai desa penghasil Tapis itu, masih tetap kokoh berdiri menghadapi terjangan perubahan zaman dengan tetap mempertahankan adat istiadat terutama penggunaan bahasa daerah dan tetap mempertahankan kebiasaan membuat Tapis bagi setiap wanita di desanya.

Sejak tahun 1980 wanita Desa Negeri Katon memang telah menjadikan pembuatan Tapis sebagai salah satu kegiatan rutin dan biasa terjadi di setiap rumah, namun belum menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Hingga berkembangnya zaman membuat para wanita desa mulai memilih beralih melaksanakan ragam kegiatan lain yang lebih menopang asap dapur terus mengepul, mengikuti perkembangan zaman.

Ketakutan akan hilangnya rutinitas yang telah dilakukan turun menurun dan hilangnya kemahiran wanita desa setempat membuat Tapis Lampung, membuat Redawati, salah seorang wanita asal Negeri Katon mencoba kembali menghidupkan kegiatan membuat Tapis bagi wanita desa pada 2014 silam.

Dengan impiannya untuk mengembangkan tempat kelahirannya sebagai desa pusat budaya, membuatnya mencoba mengoordinir wanita di desanya untuk kembali membuat kain Tapis bersama-sama hingga menelurkan merek dagang “Tapis Jejama” atau yang dapat diartikan sebagai Tapis Bersama.

“Sejak tahun 1980 sudah banyak ibu-ibu desa yang membuat Tapis, tapi hanya menjadi sambilan. Dan melihat ini semakin kurang diminati, maka pada 2014 silam, saya mencoba untuk mengajak melestarikan kembali Tapis. Salah satunya dengan menjadikan kegiatan membuat Tapis sebagai mata pencaharian wanita di desa,” ujar koordinator perajin Tapis Jejama Negeri Katon, Redawati .

Wanita yang masih kental berbicara dengang logat bahasa Lampung itu, dengan bersemangat mengisahkan bahwa dengan berkumpulnya para wanita desa untuk membuat Tapis secara bergotong royong telah membuahkan hasil yakni dengan adanya pembangunan gedung galeri khusus produk Tapis di desanya.

“Pada tahun 2019 lalu dari Kabupaten Pesawaran membangun galeri Tapis di desa kami, di sini kami membuat Tapis bersama, memajang produk, berlatih tari Lampung, bahkan sampai mengadakan pelatihan bagi tamu yang datang. Ini jadi salah satu wujud mimpi kami di Desa Negeri Katon dari beribu mimpi yang kami miliki,” katanya dengan mata berbinar.

Menurutnya, hasil produksi Tapis ratusan wanita desanya yang terbalut dalam merek dagang “Tapis Jejama” secara langsung telah membantu para wanita desa untuk mandiri dimana penghasilan yang diperoleh dengan memproduksi Tapis secara bersama dapat mencapai Rp1,5 juta hingga Rp2 juta dalam sebulan.
Perajin tapis wanita di Desa Negeri Katon yang menjual produk Tapis dengan merek dagang "Tapis Jejama". ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.


“Melalui Tapis Jejama ini mereka bisa mendapatkan Rp1,5 juta hingga Rp2 juta dari semula hanya dihargai Rp5.000 per selendang. Sedangkan untuk modal yang diperlukan hanya sekitar Rp120 ribu buat membeli peralatan. Karena saat ini tidak ada lagi yang membuat benang sendiri, sehingga semua beli benang emas dari pabrik,” ujarnya pula.  

Kini memang mimpi para wanita desa Negeri Katon mulai terwujud dengan dikenalnya karya mereka melalui produk kain Tapis ataupun produk turunannya. Namun keinginan dan mimpi warga desa tak berhenti di situ untuk kembali memberdayakan masyarakat asli serta menyiarkan ke seantero negeri akan keberadaan Desa Negeri Katon tak hanya desanya perajin Tapis, namun sebagai desa pusat budaya Lampung karena masih kental dengan adat istiadat khas Lampung Sai Batin.

“Kalau di sini mau belajar Tapis , belajar tari Lampung, belajar bahasa Lampung, makan seruit bisa semua yang berbau tradisional, belajar bertani sesuai kebiasaan warga di sini sejak dahulu pun bisa,” ujar Redawati.

Ungkapan serupa dikatakan oleh salah seorang wanita perajin lainnya, Nur. Wanita berhijab itu mengutarakan mimpinya dengan logat Lampung yang kental untuk tetap mempertahankan warisan luhur nenek moyang kepada generasi penerus.

Wanita dengan jari jemari lentiknya telah mahir menyelisipkan benang jahit dan benang emas kristal pabrikan ke kain tenun menjadi motif pucuk rebung dan mata kibau mengatakan telah giat melatih anak perempuannya untuk terus melestarikan membuat Tapis, sehingga terjadi regenerasi hingga di masa mendatang.

“Bagaimana bisa desa kita atau Tapis Jejama bertahan dan dikenal, kalau tidak ada anak yang bisa membuat Tapis. Jadi sejak SD telah saja ajari anak saya membuat Tapis agar tidak punah juga perajin Tapis di sini. Apalagi mereka sudah paham teknologi jadi pemasaran bisa lebih luas,” katanya menggebu-gebu.

Langkah awal memperkenalkan kepada banyak orang akan kehadiran Desa Negeri  Katon kini telah mulai terbuka dengan keikutsertaan Tapis Jejama dalam gelaran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia yang diselenggarakan dengan mengusung jargon “Satu Bumi Juta Karya” melalui Legawi Festival.

Bukan tanpa kendala keikutsertaan produk Tapis buatan wanita Desa Negeri Katon itu, dalam gelaran yang digelorakan untuk mengangkat derajat produk lokal di mata konsumen domestik itu sempat tersendat akibat kurangnya kecakapan para wanita desa menggunakan teknologi untuk mendaftarkan diri dalam kurasi produk.

Drama kekalutan akibat hilangnya sinyal telekomunikasi, dan penuhnya memori gawai yang digunakan untuk mendaftarkan diri, sempat membuat kalut para wanita perajin Tapis hingga saat terakhir ragam rintangan yang dapat dilalui dengan tegar dan tak putus asa tersebut menjadi suatu tangga penjejak masuknya  produk buatan tangan wanita perajin Tapis dalam 30 besar hasil kurasi Gernas BBI.

Dengan kehadiran produk lokal yang mencirikan perjuangan wanita Lampung dalam melestarikan warisan leluhur yang adiluhung di tengah disrupsi teknologi dalam gelaran itu, tak hanya menjadi harapan akan tumbuhnya perekonomian desa.

Semua usaha itu, juga untuk memperkenalkan kekayaan Provinsi Lampung melalui produk tradisional yang terbalut dengan apik menjadi produk fesyen yang terjahit rapi.

Harapannya agar peluh dan mimpi para perajin wanita di Negeri Katon ini tak kalah dengan produk modern ataupun buatan pabrikan yang kini menyebar di pasaran, sehingga dapat mengukuhkan desa ini sebagai pusat perajin Tapis Lampung.

Baca juga: Perajin Tapis Lampung mengajak anak muda cinta produk lokal
Baca juga: Kerajinan Tapis Lampung diminati peserta Muktamar NU