Menebar Untung Tambak Rakyat Vannamei di Madura

id Tambak Udang Vannamei, Kampung Vannamei, Rumah Tangga Vannamei, CP Prima, Nonot Tri Waluyo

Menebar Untung Tambak Rakyat Vannamei di Madura

Muhammad Mochlis (42), petambak udang Vannamei skala rumah tangga di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. (FOTO: ANTARA Lampung/Budisantoso Budiman)

Bangkalan, Madura (ANTARA Lampung) - Senyum nyaris tak pernah luput dari wajah Muhammad Mochlis (42), petambak udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Dusun Tenggengan, Desa Batah Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur.

Mochlis termasuk petambak awal yang mencoba membudidayakan udang Vannamei dalam skala rumah tangga pada tahun 2012, setelah beberapa tahun sebelumnya, sekitar 1990-an era tambak udang windu menghadapi guncangan dan terpuruk.

"Sudah belasan periode tebar dan panen saya alami, nyaris tak ada hambatan berarti, dengan keuntungan saya peroleh cukup besar dengan modal tak terlalu memberatkan," ujar petambak yang memiliki tiga petakan dan kini telah dikelilingi puluhan hingga belasan petak petambak lain yang mencoba mengikuti jejak keberhasilannya.

Warga di sejumlah desa Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur, kini makin bersemangat mengembangkan tambak udang Vannamei skala rumah tangga dengan memanfaatkan tambak "mangkrak" maupun areal kurang produktif yang selama ini cenderung belum memberikan penghidupan bagi mereka.

Selain Mochlis, sejumlah petambak udang Vannamei di beberapa desa di Kecamatan Kwanyar, Bangkalan itu, mengaku setelah mencoba budidaya udang ini dalam skala rumah tangga pada lahan petakan ratusan meter persegi ternyata hasil panen sangat menguntungkan.

Beberapa petambak lainnya, seperti Mufid, Mega, Kamil, Mahmud, Amin, dan Umar membentuk kelompok bersama dengan mengelola masing-masing petakan tambak ratusan meter yang dimiliki masing-masing, sehingga dapat dikelola secara lebih intensif dan efisien.

Mereka sudah mencoba beberapa kali menebar benih udang dan telah merasakan panen yang berhasil, sehingga kian bersemangat untuk terus mengembangkan usaha tambak udang Vannamei skala rumah tangga itu.

"Dulu tahun 90-an, saya pernah membudidayakan udang windu, dan akhirnya berhenti karena menghadapi banyak masalah dan akhirnya hancur," ujar Mahmud pula.

Mochlis mengakui sudah membudidayakan udang Vannamei itu dalam periode panen puluhan kali dengan siklus berkisar 100 hari, hasilnya benar-benar menguntungkan.

Dia menyebutkan tiga petakan tambak udang yang dimiliki melalui budidaya udang Vannamei tradisional plus dan semi-intensif, periode panen selama tiga kali sekali tebar masing-masing dua kali panen parsial (sebagian) yaitu usia udang 60 hari, 75 hari, dan 95 hari baru dipanen keseluruhannya.

Hasilnya dari luas tambak keseluruhan 900 meter persegi itu, dia bisa mendapatkan hasil penjualan udang dengan keuntungan bersih lebih dari Rp22 juta.

"Budi daya udang Vannamei skala rumah tangga ini sangat menguntungkan, meskipun harus menerapkan pola budidaya yang intensif dan pengawasan ekstra, agar hasilnya optimal," katanya pula.

Keberhasilan budidaya udang yang dilakukan sejak tahun 2012 itu membuat sejumlah warga sekitar lainnya meniru dan membudidayakan udang serupa, mengingat peluang budidaya udang ini bisa dilakukan antara 3--4 kali tebar dalam setahun.

Kini, petambak sekitar areal tambak milik Mochlis, sepakat membentuk kelompok Pondakan Bina Usaha dengan anggota 15 orang, mengelola areal tambak beberapa petakan per orang dengan luas bervariasi umumnya ratusan meter persegi.

Para petambak udang Vannamei lainnya di sekitar pesisir Bangkalan Madura itu juga membenarkan telah mencoba budidaya udang itu dengan hasil cukup baik dan menguntungkan.

Menurut mereka, dengan berkelompok beberapa petambak mengelola areal tambak udang bersama-sama, dapat saling belajar, saling membantu dan berpeluang mendapatkan keuntungan dari hasil panen yang lebih baik.

"Kami juga bisa memilih pembeli udang saat panen, dengan menentukan pembeli yang menawar dengan harga paling tinggi," ujar Mega, petambak setempat lainnya.

Kini di sekitar kawasan tersebut telah dikembangkan areal budidaya tambak oleh sekitar 40--50 petambak dengan sedikitnya 100-an petak tambak udang Vannamei.

Berbeda dengan jenis udang windu yang merupakan asli Indonesia, berwarna kehitaman dan memerlukan areal hidup di tambak yang lebih luas, jenis udang Vannamei produktivitasnya lebih tinggi, bisa hidup bertingkat di satu areal petambakan, tahan penyakit, dan berwarna putih sehingga relatif mudah diketahui jika terserang virus atau penyakit mematikan.

Para petambak di sekitar Bangkalan Madura dan kawasan pantai di Jawa Timur itu, sebelumnya telah mengalami pahit getir mengelola areal tambak udang windu yang kemudian ambruk dan nyaris ditinggalkan sampai sekarang.

Budidaya udang skala rumah tangga ini dikembangkan dengan dukungan bimbingan teknis dari tim PT Central Proteina (CP) Prima, setelah sebelumnya berhasil mengembangkan Kampung Vannamei dengan skala areal pertambakan yang lebih luas dan modal relatif besar, ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah.

Usaha tambak skala rumah tangga ini hanya memerlukan modal puluhan juta rupiah hingga ratusan juta rupiah, pada petakan 400 meter persegi maupun 140-an meter persegi.

Kondisi itu membuat lahan mangkrak di sekitar wilayah Bangkalan nyaris sudah habis. Pemilik lahan berupaya mengelola lahan sempit untuk budidaya tambak udang Vannamei dalam skala lahan terbatas tapi dengan sentuhan teknologi budidaya yang relatif sama.

Petambak di sini menuturkan, dalam satu meter persegi areal tambak bisa ditebar 100 hingga 200 ekor benih udang Vannamei yang bisa hidup dan menjadi besar mencapai 80-an persen.

Namun, mereka harus 24 jam mengawasi dan memantau perkembangannya serta melakukan praktik budidaya intensif, seperti memberi makan, vitamin, obat-obatan, mengecek kepekatan kondisi air tambak dan berbagai perlakuan intensif lainnya, termasuk memastikan kincir air 24 jam beroperasi secara penuh.

             Bisnis Menggiurkan.
Para petambak itu mengakui setelah beberapa kali memanen udang yang ditebar, merasakan bisnis udang Vannamei skala rumah tangga ini tergolong sangat menggiurkan, mengingat potensi mendapatkan keuntungan yang cukup besar, walaupun perlu modal yang juga lumayan besar dengan kemampuan mengelola tambak secara intensif selama 24 jam hingga masa panen dan pasca panennya.

Budidaya tambak udang Vannamei ini pun memberikan peluang melakukan panen secara parsial atau bertahap, pada usia udang tertentu sekitar 60 hari, lalu usia 90 hari, dan 110 hingga 140 hari dipanen keseluruhannya. Harga udang sesuai dengan ukuran besar kecilnya, size 60-70 (60--70 ekor per kg) hingga 30-40 (30--40 ekor per kg). Makin besar ukuran udang itu, harganya kian mahal.

Para petambak itu juga mengakui, selama mengembangkan budidaya udang Vannamei itu mendapatkan pendampingan dan bimbingan teknis dari PT CP Prima yang merupakan produsen pakan, vitamin dan produk lain untuk budidaya udang itu.

Menurut Nonot Tri Waluyo, GM Technical Partner Kampung Vannamei Surabaya, Kampung Vannamei adalah revitalisasi tambak "idle" (mangkrak) yang selama ini tidak aktif milik rakyat melalui budidaya udang Vannamei tradisional plus semiintensif dalam satu kawasan budi daya yang berwawasan lingkungan dengan pola pembinaan kelompok.

Keberhasilan Kampung Vannamei yang dimulai 2002 itu, saat ini dimodifikasi kembali dalam pengembangan rumah tangga Vannamei dalam skala rumah tangga.

"Budidaya udang Vannamei dalam Kampung Vannamei (KaVe) biasanya dalam areal tambak yang cukup luas, sehingga memerlukan modal ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah, dan terbatas petambak yang mampu mengembangkannya," katanya didampingi M Zainul Abidin, Technical Sales PT CP Prima setempat.

Namun dengan pola Rumah Tangga Vannamei (RtVe), peluang usaha budidaya udang Vannamei itu dapat dilakukan oleh petambak skala petakan kecil ratusan meter persegi, namun diarahkan untuk membentuk kelompok dalam satu lingkungan tertentu.

"Hasilnya lumayan bagus, sehingga saat ini banyak warga kembali merevitalisasi tambak yang mangkrak itu maupun mengembangkan areal tambak baru untuk budidaya udang Vannamei," kata Nonot lagi.

Di sekitar Kecamatan Kwanyar Bangkalan itu terdapat sekitar 40--50 petambak dengan 100-an petak tambak yang mengembangkan udang Vannamei skala rumah tangga.

Menurut Zainul, saat tahun 1990-an para petambak setempat mengembangkan budidaya tambak udang windu, umumnya masih cenderung ikut-ikutan karena melihat keuntungan besar, tapi budidaya teknisnya tidak dikuasai. Padahal teknologinya dari luar.

Indukan windu juga hasil tangkapan dari Sampang, Papua/Irian, Aceh, dan nyaris tidak ada galur murninya.

Berbeda dengan udang Vannamei asli Hawai, dengan indukan dipelihara dan dijaga secara baik sehingga memiliki galur murni.

Petambak udang Vannemei di Bangkalan ini bisa memanen hingga 2 ton 3 kuintal udang pada areal petakan tambak 800 m2, dengan empat kincir berkekuatan 650 watt. Mereka menebar 100--200 ekor benih udang per meter persegi.

Petambak bisa mengatur pola panen parsial dua atau tiga kali dalam satu periode tebar.

Petambak di sini biasanya mengelola enam petak tambak dalam satu kelompok, dengan luas masing-masing raturan meter persegi.

Air tambak awalnya diambil dari air laut sekitarnya, kemudian dicampur air hasil pengeboran. Biasanya dengan pengeboran 0--50 meter airnya masih payau, kedalaman pengeboran 100 meter air menjadi tawar, tapi harus dilubangi sisinya supaya menjadi payau yang baik untuk budidaya udang Vannamei.

Beberapa petambak itu mengaku memerlukan modal sekitar Rp75 jutaan, dengan biaya sewa lahan Rp2 juta/tahun untuk lahan tambak 2.000 meter persegi atau lahan milik sendiri.

Keuntungan diperoleh tergantung size udang hasil panennya. Biaya operasional yang dikeluarkan berkisar Rp38 juta untuk pakan per petak, listrik, dan biaya lain secara total Rp60 jutaan, sedangkan penjualan untuk size 44 dihargai Rp79 ribu per kg. sedangkan Size 50 dihargai Rp80.000 per kg sd Rp83 ribu. Size 40, Rp90 ribu sd Rp93 ribu. Size 100, dihargai Rp55 ribu/kg.

Para petambak ini mengaku saat panen, umumnya pembeli yang datang, sehingga pemasarannya tidak susah.

Udang Vannamei merupakan udang asli dari Pantai Pasifik Barat Amerika Latin, dan diperkenalkan di Tahiti pada awal 1970.

Udang ini masuk ke Indonesia, menyusul kegagalan usaha budidaya udang Windu, jenis udang asli Indonesia pada 1990-an.

Udang Vannamei memiliki produktivitas lebih tinggi, bisa hidup bertingkat dalam satu areal tambak, dan relatif lebih tahan penyakit.

Tambak rakyat yang dikembangkan di Bangkalan dan wilayah sekitarnya itu, untuk skala rumah tangga dengan luas antara 400 meter persegi maupun 140 meter persegi.

"Kini lahan mangkrak sudah habis, tinggal sedikit yang dibiarkan tak dikelola. Karena itu, kami mendorong warga dapat mengelola lahan sempit yang dimiliki untuk budidaya udang Vannamei skala rumah tangga, dengan teknologi budidaya yang sama dan hasil tetap menguntungkan," kata Nonot pula.

Dia menyebutkan, standar penebaran benih udang Vannamei itu adalah untuk 1 meter persegi sebanyak 100--200 ekor udang. Diharapkan bisa hidup mencapai 80-an persen.

Saat dipanen, dengan ukuran bervariasi, dengan kisaran harga bisa mencapai hingga Rp95.000 per kg.

"Tapi harus diingat, budidaya udang Vannamei ini jangan sampai takabur ingin menebar sebanyak mungkin benih udang dalam areal tambak yang sempit, perlu perlakuan khusus dan sentuhan teknologi serta peralatan pendukung yang memadai agar hasilnya tetap optimal karena terhindar dari risiko penyakit dan kegagalan yang tinggi," ujar Nonot lagi.

Keberhasilan petambak udang Vannamei di Bangkalan Madura mengembangkan budidaya udang skala rumah tangga secara berkelompok ini diharapkan dapat dicontoh dan dikembangkan di daerah lainnya, termasuk di pesisir Provinsi Lampung.

"Tambak udang Vannamei skala rumah tangga ini ibaratnya menebar untung yang menggiurkan, di tengah kondisi ekonomi saat ini, sehingga akan sangat menguntungkan dikembangkan petambak di pesisir seluruh Indonesia," kata Nonot Tri Waluyo pula.