Mempertahankan Lok Baintan (Bagian 3)

id Mempertahankan Lok Baintan (Bagian 3)

Mempertahankan Lok Baintan (Bagian 3)

Penulis sedang menikmati soto banjar yang khas dan lezat rasanya. (Foto: ANTARA LAMPUNG/Ist)

Hujan belum reda pada pukul 05.00 WITA ketika satu rombongan terdiri dari sembilan orang beranjak dari sebuah penginapan di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pekan lalu.

"Meski hujan, kita tetap harus berangkat sekarang. Kalau terlambat bisa kehilangan momentum," kata  Dedy Miharja, pimpinan rombongan itu mengawali perjalanan menuju pasar terapung Lok Baintan.

Sebenarnya keinginan rombongan itu ke Lok Baintan tidak terkait sama sekali dengan fungsi dan tugas pokok keseharian dari lembaga tempat mereka bekerja. Mereka terdiri atas Dedy Miharja, Sutjipto, Agus Rial dan BI Wahyudi. Keempatnya bekerja di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).

Dedy  adalah Kepada Bidang Evaluasi dan Dokumentasi Batan, BI Wahyudi menjabat Kepala Subbidang Dokumentasi, sedangkan Agus staf Subbidang. Dokumentasi dan Sutjipto staf Subbidang Evaluasi. Rombongan disertai lima wartawan dari Jakarta.

Siapa pun tahu Batan tidak ada kaitan sama sekali dengan pasar terapung. Mereka ke kalimantan Selatan untuk tujuan menghadiri "Gelar Iptek Nuklir" yang lokasi penyelenggaraannya jauh dari Banjarmasin, yaitu di Desa Sei Riam, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.

Tetapi pasar terapung di Kalimantan Selatan adalah ikon wisata yang amat dikenal di masyarakat Indonesia maupun mancanegara. Dalam bayangan sejumlah orang, eksotisme pasar terapung adalah fantastis. Itulah sebabnya banyak orang yang datang ke daerah ini memendam rasa penasaran untuk menyaksikan dan melihat langsung pasar itu.  

Salah satunya rombongan dari Batan yang menjadwalkan secara khusus 'blusukan' di pasar terapung setelah rangkaian tugas resmi dituntaskan. Itulah pariwisata. Bagi masyarakat Kalsel, pasar terapung bisa jadi merupakan hal biasa, namun bagi orang dari daerah lain  adalah sesuatu yang luar biasa.
       
                                                   Sungai
Selanjutnya rombongan menuju dermaga tak jauh dari Markas Kodim dan sekitar 10 menit tiba di dermaga. Hujan deras menyebabkan rombongan kesulitan menuju perahu motor karena tak ada yang membawa payung. Tetapi semangat menuju pasar terapung mengalahkan derasnya hujan.

Perahu motor yang biasa disebut "klotok" oleh masyarakat Banjar ini berkapasitas 20 orang, beranjak dari salah satu dermaga di Kota Banjarmasin menyusuri Sungai Martapura ketika  hari masih gelap. Di tengah derasnya hujan, angin dingin dan kabut pagi, perahu melaju meninggalkan kota ini. Kadang ada arus air dan gelombang sungai yang sedikit mengguncang perahu.

Dari tengah sungai ini, tidak terlihat apa-apa, kecuali kadang ada sinar lampu dari rumah penduduk yang ada di pinggir sungai dan gemercik air. Tentu saja mesin perahu terdengar keras dari arah belakang.

"Masih jauh pak?," kata seorang anggota rombongan kepada pengemudi "klotok" yang segera menjawab bahwa tempat yang dituju tidak terlalu jauh lagi.

Kegelapan mulai sirna sedikit demi sedikit ketika matahari mulai bersinar. Air sungai mulai terlihat seiring dengan munculnya sinar matahari dari ufuk timur.  Rumah-rumah berjejer di pinggir sungai dan terlihat ada aktivitas penghuninya, seperti mandi dan cuci.

Sungai adalah jalur transportasi utama di daerah ini. Beberapa anak sekolah terlihat naik perahu diantar orang tuanya. Menyeberangi sungai yang lebar dan dalam serta arus yang cukup deras menjadi pemandangan sehari-hari di sungai ini. Beberapa kali terlihat perahu motor dengan muatan berbagai kebutuhan masyarakat melintas dari arah  hulu.

Bagi masyarakat yang rumahnya di pinggir sungai ini, pagi hari tampak diwarnai kesibukan; dari mengantar anak sekolah, belanja ke warung sebelah, menuju pasar terapung hingga pergi bekerja. Semua dilakukan melalui sungai. Karena itu, cukup banyak orang mendayung perahu di waktu pagi.

Dari sungai ini pula, aktivitas ekonomi tampak bergerak. Hilir-mudik perahu membuktikan adanya peran sangat penting sungai ini. Sebuah perahu motor penuh barang terlihat dari arah hulu menuju Kota Banjarmasin. Dari jarak dekat, perahu itu mengangkut buah-buahan dan sayuran. Sedangkan dari arah Kota Banjarmasin, ada perahu bermotor mengangkut berbagai barang, seperti elektronik (televisi dan radio), meja, kursi dan pendingin (kulkas).

Semakin bersinar matahari, semakin terlihat wajah sungai besar dan dalam ini. Beberapa ibu terlihat bergegas mengayuh jukungnya menuju hulu sungai. Sejumlah ibu lainnya datang dari arah hilir. Mereka bertemu di dermaga Lok Baintan.

Di sinilah pasar terapung itu. Kaum perempuan dengan perahu penuh berisi beragam bahan makanan, mulai dari  sayuran, buah, ikan, daging ayam, hingga warung soto, kue-kue, bubur dan pakaian. Keriuhan terjadi di pasar ini. Perahu-perahu didayung berseliweran.

Inilah pasar terapung, pasar yang mengapung di Sungai Tabuk, anak Sungai Martapura.  Melalui kayuhan dayung dari hulu, hingga perahu jukung  mereka terbawa ke hilir. Begitu juga sebaliknya, ada pedagang dari arah hilir ke arah hulu dan bertemu di satu titik, Lok Baintan.

Kadang perahu "klotok" menjadi semacam angkutan umum yang selalu menghampiri pasar terapung. Biasanya perahu tersebut membawa pengunjung dari luar Sungai Tabuk yang akan berbelanja, ataupun pengunjung yang hanya sekedar ingin melihat budaya yang masih dipertahankan ini.

Kegigihan ibu-ibu terlihat dari aktivitasnya di pasar terapung ini. Selain harus mengayuh perahu dengan dayung untuk mencari pembeli, ibu-ibu pedagang di sini juga harus menjaga keseimbangan tubuhnya di perahu dan mempertahankan perahunya agar tidak terseret arus sungai.

Tak mudah melakukannya, terlebih saat ada pembeli, lalu mengambil barangnya dan menerima pembayaran, kemudian menyiapkan uang  kembalian. Tetapi keadaan alam telah mengajari orang untuk menyiasatinya. Bahkan ibu-ibu menjadi sangat pandai menyiasati keadaan tersebut. Itulah yang menjadi salah satu sebab pasar terapung terus bertahan hingga kini.
       
                                                 Soto Banjar      
Perahu-perahu penuh muatan berseliweran ke sana-kemari dan pedagangnya banyak menggunakan "tanggui" (topi kas masyarakat Banjar).

Menurut Sutjipto, pengunaan "tanggui" adalah cara cerdas pedagang dan pembeli pasar terapung melindungi kulit dari radiasi sinar matahari. "Jadi kalau bicara soal radiasi, bukan hanya nuklir yang bisa menimbulkan efek radiasi, tetapi juga matahari. Kalau ibu-ibu itu tidak pakai topi, kulitnya jadi hitam. Itulah efek radiasi sinar matahari," katanya.      

Ketika sampai di pasar ini, sambutan dilakukan pedagang-pedagang dari atas perahunya menawarkan barang dagangan. Banyak juga pedagang yang tetap tak terpengaruh dengan kedatangan "klotok" dan terus saja bertransaksi dengan pembeli atau pedagang lainnya.

"Ini jeruk Banjar Pak. Isinya lebih lima kilo, 50 ribu rupiah saja," kata Fajli, pedagang buah-buahan.

Pedagang lainnya menawarkan rambutan. Salah satu kebiasaan pengunjung atau wisatawan ke suatu daerah adalah membawa "oleh-oleh". Karena itu,  apapun rasanya, buah-buahan di pasar sini dinilai cukup pantas untuk mengisi kabin atau bagasi pesawat, selanjutnya dibawa  pulang ke rumah.

Selain buah-buahan, pedagang di pasar ini juga menyediakan kue-kue dan makanan khas daerah. salah satu jenis kuliner daerah ini yang dikenal luas adalah soto Banjar pun ada di sini.

Kalau sekadar mendengar atau membaca cerita mengenai soto banjar di pasar terapung, sebagian orang bisa saja membayangkan atau penasaran; apa iya?, apa mungkin? Bagaimana masaknya? Apa kuahnya tidak tumpah saat perahu terkena hempasan arus sungai?

"Jeruk sudah, rambutan sudah. Kita makan soto dulu. Soto banjar. Mau? Mau? Mau?," kata seorang anggota rombongan kepada yang lainnya.

"Lima ya Bu. Masih ada ada yang mau? Lima dulu Bu," katanya kepada Ibu penjual soto banjar.

Saat melayani pembeli, terutama pembeli yang datang dengan "klotok", tak jarang pedagang di pasar terapung mengikatkan tali dari perahunya ke salah satu bagian "klotok". Hal itu untuk menahan seretan arus air sungai, seperti dilakukan seorang pedagang soto banjar ini.

Dia  minta orang (pembeli) di perahu "klotok" mengikatkan seutas tali dari perahunya. Tali diikatkan di "klotok" dan perahu berhenti sama sekali. Arus sungai tak menggoyahkan posisi perahu ini.

Pedagangnya kemudian menyiapkan racikan soto banjar, mulai dari mengiris-iris ketupat, memasukan telor serta bumbu-bumbu, lalu menyiramkan kuahnya ke mangkok. Tak lupa menaburkan bawang goreng.

Perahu ini sedikit berbeda dengan perahu milik pedagang lainnya. Kalau pedagang lain umumnya perahu tanpa atap, namun beberapa perahu dibuat dengan atap dari terpal. Misalnya, perahu soto banjar ini. Bahkan dengan tulisan besar di atasnya berbunyi "Soto Banjar Pasar Terapung".

Di perahu beratap ini, ada panci besar untuk tempat kuah soto, rak untuk tempat piring, mangkok, sendok dan tempat bumbu-bumbu. Ada pula baskom untuk tempat ketupat serta kompor lengkap  dengan perangkatnya, seperti selang dan tabung gas elpiji berukuran tiga kilogram. Kompor ini pun dalam keadaan menyala kecil untuk menghangatkan kuah soto.

Pembeli soto banjar di sini selalu merasakan masakan khas daerah itu dalam keadaan panas. Di pagi hari dengan sinar matahari yang kadang tertutup mendung dan angin bertiup sepoi-sepoi, soto banjar dalam mangkok dari bahan yang baru saja diracik tercium aroma sedapnya kemana-mana.  

"Pagi hari yang sejuk ini, soto banjar terasa nikmat. Muantap. Tambah kuah dikit, bawang gorengnya juga ya Bu," kata Sofyan, salah satu anggota rombongan ini.

Lima mangkok soto banjar ludes dalam sekejap di "klotok" ini. Jeruk dan rambutan menjadi santapan berikutnya. Sambel masih terasa menyengatnya, lalu air mineral menjadi menu berikutnya dan ketika  menengok ke bawah "klotok", perahu pedagang soto Banjar tidak ada.

Rombongan sempat bertanya-tanya kemana perahu soto banjar tadi. Padahal yang lima mangkok itu benar-benar akan dibayar dan tak ada istilah "ngemplang" (utang).  "O itu, itu. Iya itu. Benar itu!. Di sana!  Bu.. Bu.. kami mau bayar," teriak Sofyan sambil menunjuk ke arah hilir sungai.

Karena posisinya berada di arah hulu dari "klotok" dan dari pasar terapung, maka "klotok" yang diarahkan ke posisi pedagang soto banjar itu. Kalau pedagang soto yang harus mendekat, maka dia harus mendayung lebih berat karena posisinya berada di hilir dan melawan arus. Dia akan merasakan beban lebih berat mengingat peralatan di perahunya sudah cukup berat.

Rupaya ikatan tali dari perahu soto banjar pada "klotok"  kurang kuat sehingga kendor dan terlepas ketika ada arus sungai. Pedagangnya juga tidak menyadari bahwa ikatan perahunya terlepas karena sedang meracik bumbu soto.

"Tidak apa-apa. Tak masalah. Memang sudah biasa begini," katanya saat menerima bayaran soto.

Dia mengatakan, pasar terapung ini berada di sungai yang lebar, mengalir cukup deras dan dalam. Pasar ini pun dinamis karena pedagang dan pembeli harus bertahan dari arus sungai.

Bagi pedagang dan pembeli yang biasa berada di pasar terapung Lok Baintan, hal hal seperti itu dianggap sesuatu yang biasa, tetapi bagi pengunjung dari daerah lain dan wisatawan asing, bisa saja sesuatu yang luar biasa, seru dan menyenangkan.