Ahli: Organisasi Profesi Tidak Boleh Memonopoli

id pakar hukum refli harun, pakar hukum, refli harun

Ahli: Organisasi Profesi Tidak Boleh Memonopoli

Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun (FOTO ANTARA/Andika Wahyu)

...Dalam sistem ketatanegaraan, hanya lembaga negara yang memiliki kewenangan yang bersifat mengatur dan memonopoli kewenangan tersebut...
Jakarta (ANTARA Lampung) - Ahli hukum tata negara Refly Harun menyebutkan undang-undang di Indonesia sudah menegaskan bahwa kelembagaan suatu organisasi yang tumbuh dari masyarakat seharusnya tidak boleh dimonopoli oleh satu lembaga.

"Organisasi profesi seharusnya tidak boleh dimonopoli oleh satu lembaga karena potensial bertentangan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945," ujar Refly di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (2/8).

Refly memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam sidang uji materi UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter.

Terkait dengan uji materi ini, Refly menunjuk eksistensi kelembagaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang seharusnya tidak boleh memonopoli segala urusan kedokteran dari hulu hingga hilir.

Karena dalam sistem ketatanegaraan, hanya lembaga negara yang memiliki kewenangan yang bersifat mengatur dan memonopoli kewenangan tersebut, jelas Refly.

"Itupun harus disertai dengan mekanisme pengawasan," tambah dia.

Refly kemudian mengatakan bila seandainya ada kesadaran untuk membuat wadah tunggal, maka itu harus suatu kesadaran yang tidak boleh dipaksakan.

Oleh sebab itu bila ada pihak lain yang ingin membuat organisasi serupa, maka seharusnya undang-undang tidak melarangnya.

Adapun Pemohon dari uji materi ini adalah tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo.

Para pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter.

Menurut para pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI sebagai lembaga adi kuasa dalam bidang kedokteran.

Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, Pemohon memandang tak perlu ada sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI, sebab setiap lulusan fakultas kedokteran yang telah melalui uji kompetensi sesuai Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran akan mendapat sertifikat profesi berupa ijazah dokter.

(ANTARA)