Menanti putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilpres

id Praktisi hukum, sopian sitepu, mahkamah konstitusi Oleh Sopian Sitepu

Menanti putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilpres

Managing Partners Kantor Hukum Sopian Sitepu dan Partners, Sopian Sitepu. (ANTARA/DAMIRI)

Bandarlampung (ANTARA) - Saat ini sedang hangat isu sengketa Pilpres 2024 yang sedang diadili dalam Mahkamah Konstitusi (MK) RI. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari Undang-udang yang berlaku yakni UU tentang MK RI.

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan perubahan ketiga dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 3, bahwa MK adalah merupakan lembaga yang berwenang untuk mengadili antara lain yakni perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu) termasuk diantaranya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Sengketa perkara etik sendiri pada umumnya diadili peradilan profesi tertentu dan memiliki peraturan khusus antara lain sengketa Pemilu sendiri dapat diadili di MK berdasarkan Peraturan MK Nomor 02 Tahun 2003 Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi.

Selain itu contoh peraturan yang mengatur etik sendiri adalah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu yang diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2007.

Namun, apakah permohonan pemohon Paslon Nomor 1 dan Paslon Nomor 3 dapat dibuktikan dari alat bukti yang diajukan? 

Pendapat hakim konstitusi generasi pertama, Harjono dengan tegas menyatakan bahwa perkara sengketa Pemilu sebenarnya tidak ada isu hukum di dalamnya. Hanya saja sekedar persoalan cara dan hasil menghitung perolehan suara yang benar.

Berbicara mengenai alat bukti yang diajukan Paslon Nomor 1 dan Paslon Nomor 3 diantaranya adalah ahli yaitu budayawan, pengajar filsafat, dan penulis yang akrab disapa Romo Magnis. Namun, dalam keterangan tersebut terdapat kekeliruan tentang perbedaan etik menurut filsafat dan etik dalam ranah hukum yang mana pendapatnya tersebut menjadi tidak relevan. 

Selain ahli, bukti yang disertakan juga menyebut bahwa terdapat penyimpangan bansos oleh Presiden dimana hal tersebut dikatakan hanya berupa narasi. Mengingat Bansos tersebut juga berangkat dari dampak bencana El Nino yang menyebabkan gagal panen serta pembatasan impor oleh negara-negara penghasil beras.

Selain narasi yang bukan berupa bukti, Pemohon tersebut juga tidak dapat membuktikan secara konkrit jumlah suara mereka yang pemohon klaim hilang oleh karena perbuatan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dituduh dilakukan oleh termohon dan pemerintah.

Dalam persidangan, kehadiran dan penjelasan ada empat menteri sebagai saksi menyajikan data akurat tentang dasar hukum dan data lengkap penyaluran Bansos dan bantuan lainnya. Bahkan para menteri menjelaskan bahwa salah satu sumber dana bersumber dari anggaran operasional Presiden atau dana yang sah dan prosedur yang benar.

Putusan sengketa Pilpres sendiri bukan sengketa Tata Usaha Negara apalagi peradilan etik perkara a quo. Namun seharusnya lebih didasarkan pada terbuktinya permohonan pemohon yang didasarkan logika riil yang artinya seluruh permohonan harus dapat membantah atau membatalkan perolehan suara Paslon Nomor 02 dan yang tentu bukan dari logika asumsi dan logika mistik.

Berdasarkan pisau analis yang digunakan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu bahwa secara tegas dapat dijawab terkait pembuktian pemohon lemah dan tidak dapat membantah perolehan suara yang diperoleh oleh Pasangan Calon Presiden dan wakil Presiden Nomor 2. Hakim Mahkamah Konstitusi tentu akan taat menjaga konstitusi dan putusannya sehingga tetap pada koridor konstitusi.

*Penulis adalah Managing Partners Kantor Hukum Sopian Sitepu dan Partners