Tarif produk farmasi dan APD di Indonesia disorot

id tarif produk farmasi,pandemi,APD

Tarif produk farmasi dan APD di Indonesia disorot

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Kepala Divisi Produksi Farmasi Hikmat Alitamsar (kiri) meninjau fasilitas produksi gedung 43 yang nantinya akan digunakan untuk memproduksi vaksin COVID-19, di kantor Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/8/2020). ANTARA FOTO/dok PT Bio Farma/DR/wpa/hp.

Jakarta (ANTARA) - Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)  menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk menghapus pengenaan tarif produk farmasi sebagai salah satu upaya dalam rangka menjaga kelangsungan pasokan obat di berbagai daerah selama dan sesudah periode pandemi COVID-19.

"Adanya bea masuk dalam bentuk tarif untuk produk farmasi berkontribusi besar pada kenaikan harga obat," kata Ketua CIPS Andree Surianta dalam siaran pers di Jakarta, Jumat.

Menurut Andree Surianta mengutip dari kajian lembaga penelitian global Geneva Network, tarif terhadap obat-obatan pada dasarnya adalah seperti pajak regresif karena lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah daripada kalangan masyarakat yang berpenghasilan tinggi.

Ia berpendapat bahwa Indonesia sebenarnya sudah mengurangi tarif untuk produk farmasi dalam beberapa tahun terakhir, tetapi Indonesia masih menerapkan tarif rata-rata obat sebesar 3,8 persen dan 3,3 persen untuk vaksin.

Indonesia perluas kategori obat kena tarif

Selain itu, ujar dia, pemerintah juga malah memperluas kategori obat-obatan yang dikenakan tarif, dari 14 kategori pada tahun 2001 menjadi 66 kategori pada tahun 2018.

"Mengingat rantai nilai manufaktur farmasi semakin mengglobal, tarif-tarif yang kelihatannya rendah akan berdampak kumulatif pada harga akhir produk jadi yang akhirnya dibayar oleh pasien," katanya.

Menurut dia, kapasitas produksi vaksin sebesar 300 juta dosis per tahun dan kebutuhan dua dosis vaksin coronavirus per orang, maka jika seluruh kapasitas digunakan hanya untuk produksi vaksin ini pun mungkin akan perlu waktu dua tahun untuk memproduksi dan mendistribusikannya ke setiap penduduk Indonesia.
Padahal, lanjutnya, vaksin lain jelas masih tetap dibutuhkan, sehingga akan terjadi dilema mana yang didahulukan.

"Negara lain yang populasinya lebih sedikit vaksinasinya bisa saja selesai lebih cepat dan malah mungkin memiliki persediaan ekstra. Di sinilah pentingnya penghapusan tarif untuk menjadikan impor vaksin sebagai strategi pelengkap demi mempercepat penanganan COVID-19 tanpa mengorbankan penanganan penyakit lainnya," ucapnya.

APD dikenakan tarif tinggi

Ia juga menyoroti di luar obat-obatan, masih dikenakan tarif yang cukup tinggi untuk APD (Alat Pelindung Diri) dan alat medis.

Pemerintah, masih menurut dia, idealnya melihat penghapusan tarif sebagai instrumen untuk melancarkan perdagangan dan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan pasokan barang medis untuk menahan laju penyebaran COVID-19 baik pada masa sekarang maupun nanti setelah pandemi berlalu.

Andree juga berpendapat bahwa mengingat COVID-19 kemungkinan besar bukanlah pandemi terakhir yang akan dihadapi, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan menghapus tarif pada obat-obatan, vaksin, dan pasokan medis secara permanen, salah satunya adalah dengan segera mendukung Perjanjian Farmasi yang dicetuskan WTO bersama-sama dengan 34 negara lainnya yang telah sepakat untuk menghapuskan tarif obat-obatan untuk semua anggota WTO.