Pernikahan tidak dicatatkan lahirkan kemiskinan struktural

id mensos perkawinan siri, kemisikinan struktural,kofifah indar parawansa

Pernikahan tidak dicatatkan lahirkan kemiskinan struktural

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa bercengkerama bersama anak-anak di Posko Evakuasi Korban Asap di Kota Pekanbaru, Riau, 31 Oktober 2015. (Antara/FB Anggoro)

Jakarta (ANTARA Lampung) - Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pernikahan yang tidak dicatatkan akan melahirkan kemiskinan struktural disebabkan munculnya berbagai masalah dalam pernikahan tersebut.

"Memang merevisi UU Perkawinan perlu waktu lama. Tapi dipastikan pernikahan tidak dicatatkan bisa melahirkan kemiskinan struktural baru dan tidak mendapatkan intervensi program KKS, KIP, KIS, serta PKH," kata Mensos di Jakarta, Senin (14/12).

Jika dilihat dari segi persentase masalah, setidaknya lebih 75 persen pernikahan yang tidak dicatatkan dan teradministrasikan itu memiliki risiko dan kerentanan terhadap anak-anak dan pernikahan itu sendiri.

Mensos mengatakan, berbagai permasalahan yang terjadi, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan anak dan perempuan itu hulunya dari pernikahan dini dan pernikahan yang tidak tercatatkan, serta teradministrasikan.

"Banyak pihak kritis dengan permasalahan hilir, seperti KDRT dan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Tetapi hulunya, yaitu pernikahan dini dan pernikahan yang tidak tercatatkan tidak mendapatkan perhatian serius," katanya.

Menurut dia salah satu solusi bisa melalui Peraturan Menteri (Permen) Menteri Agama (Menag) agar setiap warga wajib mencatatkan pernikahan, sekaligus ada upaya pendewasaan usia pernikahan dengan usia minimal 18 tahun.

Saya kira dengan Permen Menag itu bisa disampaikan pesan agar warga negara wajib mencatatkan pernikahan dan minimal usia 18 tahun, sehingga tidak melahirkan kemiskinan terstruktur," ujar Khofifah.

Untuk mendapatkan pernikahan sejahtera, agar menghindari pernikahan dini dan tidak tercacatkan. Sebab, UU No 1 Tahun 1974 menyebut umur perkawinan perempuan 16 tahun mesti direvisi seiring regulasi yang ada.

Salah satu regulasi tersebut, pada dunia pendidikan yaitu wajib belajar (wajar) 12 tahun. Hal itu, menunjukkan pernikahan bisa dilaksanakan setelah lulus tingkat SMA dan perempuan berumur di atas 18 tahun.

"Regulasi terbaru di bidang pendidikan, yaitu anak usia belajar bisa mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) mulai usia 6-21 tahun," ujarnya.

Bahkan, jika terjadi perceraian dan umur perempuan masih mengikuti UU perkawinan di atas, maka sebenarnya ada ruang untuk masalah perdata hingga usia 21 tahun.