Sungkem dan Silaturahim

id Sungkem dan Silaturahim

Yogyakarta (ANTARA LAMPUNG) - "Ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sadaya kalepatan kula, nyuwun pangestunipu." (Saya mengucapkan selamat hari raya, mohon maaf atas segala kesalahan saya, dan minta doa restunya).

Kalimat tersebut terucap oleh Pak Hadi (55), kepada Sugeng Budiarto (62). Hubungan mereka bukan lah ayah dan anak, melainkan majikan dan pegawai.

Tidak seperti sungkem kebanyakan di mana pihak yang dituakan duduk di kursi sedangkan yang sungkem duduk di bawah sambil memegang tangan orang yang dituakan, Pak Hadi sama-sama duduk di kursi  sejajar nyaris berhadap-hadapan dengan atasannya.

Warga Dusun Candi di Ngaglik, Sleman, ini datang bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Menurut dia, ini bentuk silaturahim dan penghormatan kepada yang lebih tua.

Sebelumnya, pada pagi hingga sore hari di Lebaran hari pertama 2014, ia bersama keluarga besarnya sudah bersilaturahmi  terlebih dulu ke tempat saudara dan tetangga terdekat. Setelah semua yang terdekat di lingkungan tempat tinggalnya didatangi baru lah ia mendatangi yang jauh.

Menurut dia, trasidi sungkem kepada orang tua menjadi bentuk bakti yang sudah diajarkan turun-temurun dalam keluarganya. Ini juga menjadi simbol bakti anak kepada orang tua.

"Di Dusun Candi masih banyak Mbah-mbah, rata-rata masih mengikuti tradisi sungkeman ini. Kalau ke tetangga-tetangga sih silaturahmi, halal bihalal, kita salaman sambil mengucapkan permohonan maaf saja, tidak sampai sungkem duduk di bawah," ujar pak Hadi.

Parjono (27) asal Wonosari, Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang bekerja di Jakarta sebagai sopir taksi seperti biasa ikut mudik dengan mengendarai sepeda motor bersama beberapa rekan sekampung yang juga bekerja di Jakarta.

Bagi dirinya, mudik di hari raya Idul Fitri menjadi penting karena ini menjadi momentum untuk menunjukkan bakti pada orang tua di kampung halaman, dan bertemu dengan kakak dan adik yang juga merantau di berbagai daerah.

"Mau sungkem sama ibu. Mau minta maaf sekalian minta restu lagi ke ibu, biar kita balik lagi kerja di Jakarta enak, semua lancar," ujar Parjono.

Menurut dia, perjalanan panjang dengan sepeda motor selama lebih dari 24 jam untuk sampai di rumah dan bertemu ibu sangat nikmat. "Capek, tapi senang, bisa kumpul-kumpul lagi".   
                    
                                       Perlahan Hilang

Ya, tradisi yang konon bermula  dari Keraton Kasunanan Surakarta ini masih dipegang  masyarakat Jawa, meski pun tradisi ini lambat laun hilang di kalangan generasi mudanya.

Aditya (36), warga Depok asli Semarang, mengatakan anak-anaknya yang kini duduk di bangku sekolah dasar sudah tidak tahu tradisi sungkem. 

Ia ingat ketika eyang putrinya masih ada, acara sungkem menjadi salah satu acara yang dinanti. Karena setelah acara tersebut artinya acara makan opor di mulai.

"Kalau sudah sungkeman, nah berarti acara makan dimulai. Dan biasanya setelahnya ada tante-tante atau om yang kasih 'angpao', kalau sudah dapat itu baru kita jajan," ujar Aditya sambil tertawa mengingat masa kecilnya.   

Kenangan masa kecil lain yang ia ingat saat dirinya masih tinggal di Palembang. Tradisi silaturahmi di tanah Sumatera tersebut tidak jauh berbeda dengan tradisi di tanah Jawa.

"Biasanya dulu saya setelah sholat ied (Idul Fitri) bersama ayah langsung bergabung dengan para tetangga dan teman-teman sepermainan keliling kampung, mendatangi satu per satu rumah tetangga dan disuguhi banyak makanan dan minuman. Kadang kita dikasih minuman soda kalengan, wah senangnya bukan main waktu itu," lanjutnya.

Ia mengaku semakin sulit menemukan tradisi-tradisi seperti ini di kota-kota besar. Terkadang tetangga sebelah rumah pun tidak saling menyapa, pintu-pintu rumah lebih banyak tertutup rapat dengan alasan keamanan.

Tradisi-tradisi tersebut, menurut dia, baik. Setiap daerah memiliki cara masing-masing namun makna dan tujuannya tetap sama untuk mempererat rasa persaudaraan sesama manusia. 

Retno Wahyuniati (48), salah seorang warga Plamongan di  Semarang, mengatakan sudah tidak lagi melaksanakan tradisi sungkem semenjak ibu nya meninggal 13 tahun lalu.

"Rasanya memang ada yang hilang sejak ibu nggak ada. Nggak ada lagi yang dituakan di keluarga besar, jadi ya tidak lagi melakukan tradisi sungkeman," ujar dia. 

Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan waktu Lebaran bersama ibu sudah tidak dilakukan lagi, kata Retno. Namun demikian, ia bersama kakak, adik, beserta keponakannya berusaha untuk bisa bertemu sebagai bentuk silaturahmi dalam keluarga besar.

"Kalau sampai keponakan saya masih sempat merasakan tradisi sungkem. Tapi kalo cucu-cucu saya, anak dari kakak-kakak saya sudah nggak 'menangi' (merasakan/menghadapi) tradisi ini," ujar dia.

Ia pun berpendapat sama dengan Pak Hadi dan Parjono, tradisi sungkem merupakan simbolisasi bakti terhadap orang tua, bakti terhadap ibu dan ayah yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya.

"Saya rasa tradisi ini tidak perlu dipertentangkan, karena bagi seorang anak tidak ada niatan lain selain hormat kepada orang tua mereka saat sungkem kepada orang tua. Sedangkan sujud kepada Allah SWT itu kan jelas berbeda lagi porsinya," ujar dia.

Menurut dia, sungkem, halalbihalal, dan silaturahim pada dasarnya menjadi bentuk Hablum Minannas yang memang sudah diajarkan pada umat Islam. Karenanya ia berharap tradisi-tradisi baik tetap dapat bertahan.