Memperkuat Kiprah Perempuan di Parlemen (Bagian II)

id Memperkuat Kiprah Perempuan di Parlemen (Bagian II)

Memperkuat Kiprah Perempuan di Parlemen (Bagian II)

Ketua KPU Lampung Dr Nanang Trenggono MSi (tengah) dan Komisioner KPU Lampung Dra Handi Mulyaningsih MS (kelima dari kanan), saat deklarasi pemilu bersih caleg perempuan di Provinsi Lampung. (FOTO: ANTARA LAMPUNG/Dok. Ist)

Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Benarkah kiprah perempuan dalam perpolitikan saat ini sudah berjalan seperti diharapkan, setelah ditopang aturan kuota minimal 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol dan legislatif (parlemen)?

Bagi Sely Fitriani, aktivis perempuan yang lahir di Teluk Betung 16 September 1981, bersentuhan dengan isu diskriminasi hak kaum perempuan dan upaya memperkuat kiprah perempuan dalam berbagai bidang termasuk politik, bukanlah hal baru yang harus terus diperjuangkan, didukung maupun tidak didukung oleh aturan sistem perpolitikan nasional.

Lulusan S-1 Fakultas Hukum Universitas Lampung (tahun 2005) ini, sudah berkiprah menjadi Staf Divisi Penanganan Kasus Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR tahun 2005--2006, Staf Divisi Penguatan Jaringan DAMAR (2006--2008), Koordinator Divisi Penguatan Jaringan DAMAR (2008--2010), dan akhirnya dipercaya menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, tahun 2010 sd sekarang, masih menyoal eksistensi kaum perempuan yang belum seperti diharapkan kiprahnya dalam politik.

Sekjen Gerakan Perempuan Lampung (2009 sd sekarang), Core Team Sumatera-Just Associates South East Asia (JASS-SEA), dan Koordinator sub-region Sumatera Forum Belajar Komnas Perempuan ini, menanggapi berkaitan keterwakilan perempuan dalam politik pada Pemilu 2014 dan sejumlah isu pemberdayaan dan penguatan kaum perempuan terkini, menyayangkan metode pemilu masih dengan suara terbanyak, padahal banyak caleg perempuan rata-rata tidak memiliki basis sosial, karena kurang kesempatan mereka di ruang-ruang publik.

Partai politik minim kader perempuan, karena tidak dilakukan kaderisasi pengurus perempuan, katanya lagi.

Banyak partai yang tidak mampu mengisi kuota perempuan. Bukan berarti tidak ada calon, melainkan tidak adanya kaderisasi pengurus perempuan, dan budaya politik patriarki di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilawan, ujar dia.

"Kebijakan sudah ada, tetapi tanpa dukungan budaya dan persepsi masyarakat, kebijakan ini tidak terlalu banyak mendorong jumlah keterwakilan perempuan," ujarnya lagi.

Dia juga menilai, cara partai untuk mengisi kuota ini juga sangat mengecewakan, dengan asal saja mengambil caleg perempuan untuk memenuhi kuota dengan mengabaikan kualitas, hanya memperhatikan perempuan yang populer dan memiliki uang. Suatu tindakan pragmatis yang justru mengabaikan keseriusan proses politik. Atau perempuan yang tidak populer hanya dijadikan sebagai pemanis, tidak sungguh-sungguh menempatkan mereka di wilayah strategis. Ini terlihat dari penempatan perempuan bukan di nomor jadi atau di daerah pemilihan yang wilayah tersebut justru menolak kehadiran caleg perempuan.

Bahkan, partai politik cenderung lepas tangan terhadap caleg-caleg perempuan, dengan segala keterbatasannya harus bertarung dan berebut suara dengan caleg laki-laki dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Dari proses tersebut, ujar dia lagi, kita dapat melihat hasilnya, sedikit yang duduk di legislatif, dan kalau pun ada, mereka jarang berpartisipasi aktif dalam tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan.

                           Masih Asal 'Comot'
"Kalau asal comot, sulit untuk membawa perubahan di Lampung," ujar Sely lagi.

Tapi menengok cara partai politik yang mengisi kuota dengan asal saja dalam merekrut caleg perempuan dan mengabaikan kualitas, rasanya sulit membawa perubahan di Lampung, bahkan dia pesimistis mereka akan berpartisipasi aktif dalam tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan dengan melihat peran, fungsi dan beban yang nantinya akan ditanggung oleh anggota legislatif cukup berat, maka sangatlah ironis jika perempuan yang dicalonkan itu tidak berkualitas.

Dia berpendapat, peran paling penting para legislator perempuan dalam kehidupan politik kenegaraan dan pemerintahan/sosial politik ialah berpartisipasi aktif dalam tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan, serta mendorong kebijakan yang sensitif gender dan berpihak pada rakyat.

Faktanya kondisi yang ada saat ini, pada tingkat pemerintahan terendah desa dan rukun tetangga, perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat atau musrenbangdes (musyawarah rencana pembangunan desa), begitupun pada acara penyuluhan pertanian, dan lain sebagainya. Tidak lebih dari tiga persen perempuan bisa menjadi kepala desa dan camat. Perempuan dianggap sebagai warga negara kelas dua, sehingga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan di ranah publik

Bahkan fenomena yang berkembang sekarang, pemimpin formal di tingkat lokal seperti "membangun dinasti" di pemerintahan lokal, DPRD dan bupati/wali kota penuh dengan kerabat. Bagi perempuan potensial yang memiliki komitmen terhadap perubahan dan berpihak pada rakyat, akan disingkirkan dalam proses pengambilan kepemimpinan di tingkat lokal.

Akibatnya kebijakan yang dibuat dari tingkat pemerintahan terendah hingga pemerintahan tertinggi tidak sensitif gender dan tidak berpihak pada rakyat, kata Sely lagi.

"Perempuan harus punya posisi sentral dalam pengambilan kebijakan. kalau tidak, kebijakan yang dibuat dari tingkat pemerintahan terendah hingga pemerintahan tertinggi tidak sensitif gender dan tidak berpihak pada rakyat, sehingga kesejahteraan tidak meningkat walaupun sistemnya secara formal sudah demokratis. Artinya demokrasi yang berkembang di Indonesia belum mampu membawa peningkatan kesejahteraan rakyat,: ujar dia menegaskan pula.

Sely juga mengingatkan bahwa segala sesuatu yang diperoleh perempuan hampir tidak ada yang gratis. Apalagi ketika perempuan menuntut posisi di dalam bidang politik dan pengambilan keputusan, betapa mahal dan sulit perjuangan untuk meraihnya.

Jatah posisi yang diberikan kepada perempuan sangat sedikit, itu pun disertai dengan tuduhan bahwa perempuan-perempuan minta jatah, emansipasinya kebablasan, atau perempuan belum punya kemampuan untuk memimpin dan sejumlah keraguan lain. Padahal sudah menjadi kewajiban bagi dunia untuk memberikan posisi politik kepada perempuan sebagai pembayar hutang peradaban kepada perempuan.

Dia menyatakan bahwa tuntutan mewujudkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif adalah upaya strategis untuk menciptakan "jalan" dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dengan adanya 30 persen perempuan di legislatif, diharapkan akan dapat mewakili menyuarakan kebutuhan dan kepentingan perempuan.

Perempuan di legislatif diharapkan untuk memastikan bahwa di setiap pembahasan kebijakan publik, pengalaman, kebutuhan dan kepentingan laki-laki dan perempuan dipertimbangkan secara adil, sehingga setiap kebijakan publik yang dihasilkan bersifat adil bagi laki-laki maupun perempuan dari berbagai kalangan.

Namun kenyataannya, ujar Sely lagi, pengalaman perempuan maupun laki-laki anggota DPR/DPRD, yang pada umumnya dari kelas menengah ke atas tidak selalu dapat menangkap pengalaman, kebutuhan dan kepentingan dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan yang berada di pedesaan, kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti: nelayan, petani, masyarakat adat, miskin perkotaan, penyandang disabilitas, maupun kelompok usia tertentu, seperti bayi, balita, kelompok muda dan lanjut usia.

Maka, katanya pula, agar anggota DPR/DPRD mampu menangkap pengalaman pihak-pihak yang akan terkena kebijakan tadi, kelompok-kelompok tersebut harus secara aktif menyuarakan pengalamannya baik yang berupa permasalahan, dan harapan akan pemenuhan kebutuhan dan kepentingannya.

Kelompok-Kelompok yang tidak mampu menyuarakan sendiri kepentingannya, seperti bayi, anak, dan lanjut usia (yang sudah tidak produktif) harus diwakili dan diperjuangkan oleh kelompok yang lebih berdaya. Tanpa peran aktif dari masing-masing kelompok, maka sangat kecil kemungkinan pengalaman, permasalahan dan harapan mereka di dengar dan disuarakan. Bahkan keberadaan mereka pun, menjadi tidak tampak atau invisible.

Sely menegaskan bahwa upaya untuk menumbuhkan dan menguatkan kepemimpinan gerakan perempuan sangat penting dilakukan, sebagai penguatan masyarakat sipil untuk melakukan kontrol dan terlibat dalam pengambilan keputusan.

Menurut dia, pengorganisasian perempuan melalui peningkatan kualitas dan kapasitasnya, bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk melakukan tekanan pada kebijakan yang tidak mensejahterakan rakyat (perempuan).

Menguatnya kepemimpinan perempuan, sekaligus sebagai strategi advokasi berbasis pada kekuatan rakyat (perempuan) untuk mendesak pemerintah agar memenuhi hak-hak dasar perempuan, katanya lagi.

"Telah diratifikasinya kovenan hak ekonomi sosial budaya, maka banyak kewajiban-kewajiban pemerintah yang muncul sebagai konsekuensi, seperti penyelanggaraan pendidikan dasar gratis, pemenuhan gizi, kesehatan reproduksi, kemiskinan, dll. Tanpa kekuatan kepemimpinan gerakan perempuan, maka mustahil ini bisa terwujud," ujar Sely lagi.

Demokrasi yang berkembang di Indonesia masih sebatas demokrasi formil, sehingga tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, penting kekuatan kepemimpinan gerakan perempuan untuk melakukan desakan dan tekanan kepada pemerintah.

Dia juga mengingatkan bahwa ssu kesejahteraan sangat dekat dengan perempuan. Di dalam kehidupan sehari-hari, perempuan diperankan sebagai manajer keluarga, yang selalu melakukan upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. Pengalaman sosial perempuan bagi gerakan perempuan adalah menjadi dasar gugatan atas pemenuhan hak dasarnya dan memperkuat advokasi pemenuhan hak dasar.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung Wahrul Fauzi Silalahi mengingatkan, para caleg perempuan harus peduli terhadap hak asasi manusia dan peduli terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

"Caleg perempuan harus lebih peduli terhadap hukum, terlebih menyangkut hak asasi manusia (HAM), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kekerasan seksual," kata Wahrul, di Bandarlampung, Kamis (20/3).

Dia menegaskan, kuota 30 persen bagi perempuan di parlemen harus dimanfaatkan dengan sangat baik, jangan sampai harapan masyarakat yang selama ini membutuhkan suara perempuan di parlemen tidak terlaksana dengan baik.

Ia menyatakan, caleg perempuan harus lebih responsif terhadap penanganan hukum khususnya di Bandarlampung, mengingat selama ini belum 100 persen mereka peduli khususnya berkaitan kasus yang melecehkan perempuan.

"Selama kami melakukan pendampingan untuk kasus pelecehan terhadap kaum perempuan, sedikit sekali caleg perempuan yang merespon terhadap penganan masalah tersebut," kata dia lagi.

Menurutnya, caleg perempuan juga harus perduli terhadap kaum buruh, Pekerja rumah tangga (PRT) yang umumnya perempuan merupakan buruh yang patut dilindungi oleh hukum.

"Atas dasar HAM, seluruh perempuan wajib membutuhkan perlindungan, sehingga perlu peran serta anggota legislatif perempuan dalam penanganan masalah ini," kata dia pula.

Wahrul Fauzi menyampaikan pesan kepada para caleg perempuan yang terjun ke dunia politik, agar membuat dasar hukum yang lebih kuat bagi pelaku KDRT dan kekerasan seksual khususnya, sehingga menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.

"Landasan hukum untuk segala jenis tindak kekerasan seksual harus diperbanyak, diperkuat, dan ditegakkan. Dengan demikian, pelakunya benar-benar jera dan tidak ingin mengulangi perbuatan serupa lagi," kata dia.

Selain penanganan masalah pelecehan terhadap perempuan, anggota parlemen perempuan khususnya jangan sampai tersangkut tindak pidana korupsi seperti dialami sejumlah anggota DPRD/DPR.

"Perempuan juga harus menyuarakan tentang pemberantasan korupsi dan bersikap antikorupsi," kata dia pula.

Kiprah perempuan dalam perpolitikan adalah sebuah keniscayaan, seperti disuarakan oleh para caleg perempuan dan politisi di atas, termasuk disampaikan secara kritis kalangan akademisi dan aktivis LSM.

Pada akhirnya, semua kiprah itu tak semata diinspirasikan oleh gerakan serupa di dunia internasional atau oleh gerakan pembaharuan yang pernah disuarakan oleh Raden Ajeng (RA) Kartini dengan emansipasi perempuan, namun akan sangat bergantung pada kapasitas dan kualitas diri individu perempuan bersangkutan.

Dukungan sistem hukum, politik, dan budaya masyarakat serta keluarga tetap akan jadi penentu yang berarti, untuk mewujudkan kiprah yang lebih bermakna bagi para perempuan Indonesia, bukan hanya untuk memajukan perempuan itu sendiri tapi secara keseluruhan untuk memajukan bangsa dan masyarakat Indonesia umumnya.