Benarkah DPR Intervensi KPU?

id Intervensi KPU

Jakarta (ANTARA Lampung) - Benarkah DPR telah berupaya untuk mengintervensi keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang seharusnya tetap independen?

Berbagai pihak yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pilkada menilai DPR RI sudah melakukan intervensi terhadap KPU, untuk memaksa penyelenggara pemilu menjalankan rekomendasi Panja Komisi II agar dimasukan kedalam PKPU.

"Kita semua terkejut tingkah DPR Komisi II yang memanggil KPU secara tiba-tiba, terkait PKPU pencalonan yang sudah disepakati," kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil dalam diskusi bertajuk 'DPR Dilarang Keras Intimidasi Penyelenggara Pemilu' di Cikini, Jakarta, Selasa (5/5).

Fadli mengatakan pemanggilan itu terkait verifikasi pencalonan dalam Pilkada oleh partai yang merujuk SK Menkumham.  Sedangkan bagi parpol yang SK kepengurusannya sedang diperkarakan di pengadilan maka KPU akan menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap.

"Dan jika sampai masa pencalonan dimulai belum selesai maka konsekuensinya adalah tidak bisa ikut pilkada. Ini yang membuat DPR memanggil KPU, bahkan memaksa KPU untuk memasukan rekomendasinya," ujarnya.

Salah satu rekomendasi itu adalah memasukkan norma ke dalam PKPU bagi partai yang SK kepengurusannya sedang dalam status quo dengan menggunakan keputusan terakhir pengadilan sebelum masa pendaftaran calon berakhir sambil menunggu keputusan hukum tetap terbit.

Senada dengan Fadli, pengamat politik dari Para Syndicate, Totok Sugiarto yang menilai langkah pemanggilan DPR tersebut adalah bentuk pemaksaan kehendak politik serta melawan kemandirian KPU.

"Langkah DPR dalam memaksakan kehendak politik dan kepentingan tertentu kepada KPUadalah bentuk intervensi dan melawan kemandirian KPU sebagai lembaga mandiri dan tanggung jawab penuh," ujar Totok.

Totok menekankan, DPR seharusnya memahami kewajiban KPU untuk mengkonsultasikan rancangan peraturan KPU yang sudah selesai dilaksanakan pada Jumat (24/4) lalu. Menurutnya, apapun hasil dari konsultasi tersebut, harus memberi peluang kepada KPU ketika merumuskan dalam norma aturan teknis peyelenggata pilkada.

"DPR tidak bisa memaksakan kehendak dan melindungi kepentingan politik kelompok tertentu yang dianggap dapat mengacaukan proses penyelnggara pilkada nantinya," katanya.

Direktur Indonesian Parliamentary Centre Sulastio mengungkapkan tugas DPR seharusnya memastikan Undang-Undang dijalankan dengan baik, bukannya menambah norma lain yang berpotensi melanggar aturan.

"Jika begitu ada dua yang dilanggar, pertama unsur kepatutan karena masuknya unsur kepentingan dan UU MD3 yang mengamanatkan  agar mengawasi jalannya UU itu," katanya.

Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan rekomendasi ini akan memicu konflik karena ada potensi pihak yang lain tidak puas. "Jika rekomendasi ini diakomodir KPU maka potensi kisruh di daerah akan besar karena ada pihak yang tidak puas nantinya melakukan banding dan membuat lama proses ini," kata Veri.

Sebelumnya, KPU telah mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan kepala daerah. Dalam PKPU itu, KPU tidak mengindahkan rekomendasi Panja Komisi II. Akibatnya, partai yang bersengketa (Golkar dan PPP) terancam tidak bisa ikut Pilkada 2015.

Tiga rekomendasi Panja Komisi II kepada KPU, antara lain kepengurusan partai politik bermasalah diselesaikan melalui lembaga peradilan (bersifat inkrah). Kedua, jika proses putusan berkekuatan hukum tetap membutuhkan waktu yang panjang, KPU mengusulkan agar dilakukan islah antarkepengurusan partai yang berkonflik, sebelum pendaftaran calon 26-28 Juli. Terakhir, jika inkrah dan islah tak terwujud, KPU dapat memutuskan kepengurusan yang berhak mengajukan pasangan calon adalah kepengurusan parpol yang telah mendapatkan putusan pengadilan terakhir.

Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Koalisi Masyrakat Sipil Kawal Pilkada antara lain Perludem, Kode Inisiatif, JPPR, ICW, Para Syandicate, dan IPC.