Cerpen "Bukan Sebambangan" Rilda juarai Krakatau Award

id cerpen bukan sebambangan, krakatau award 2018, rilda

Cerpen "Bukan Sebambangan" Rilda juarai Krakatau Award

Rilda A. Oe. Taneko dari Inggris menjuarai Lomba Cipta Cerpen Krakatau Award 2018. (Foto:Dok.Dinas Pariwisata)

Walaupun cerita yang ditulis oleh sastrawan tersebut adalah fiksi, namun tafsir hasil transformasi budaya menjadi kekayaan bagi daerah ini
Bandarlampung (Antaranews Lampung) - Cerita Pendek (Cerpen) "Bukan Sebambangan" karya Rilda A Oe Taneko dari Inggris menjuarai Lomba Cipta Cerpen Krakatau Award 2018.

Anugerah Krakatau dalam kaitannya dengan Festival Krakatau 2018 yang digelar Dinas Pariwisata Provinsi Lampung diikuti sebanyak 100 cerita pendek. Rilda, putri asli Lampung, satu-satunya peserta dari luar negeri. Ia berdomisili di Inggris. Sementara lainnya dari Aceh, Sumatera Barat, Sumut, Riau, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan dari kota/daerah di Indonesia.

Dewan kurator Yanusa Nugroho (Ketua), Isbedy Stiawan ZS dan Syaiful Irba Tanpaka (anggota), di Bandarlampung, Rabu, menyatakan, selain memutuskan cerpen karya Rilda itu sebagai juaranya, juga memilih urutan kedua adalah Cerpen "Nedes" karya Fajar Mesaz dari Mesuji. Cerpen ini mengangkat adat Nedes (Nenemo) masyarakat Lampung di Pagardewa, Tulangbawamg Barat. Fajar adalah novelis "Maafkan Aku Kuala Mesuji" yang juga kerap mengangkat masalah sosial di Lampung.

Sedangkan juara 3 diraih Cerpen "Litografi" karya Rahmad Sudirman. Jurnalis yang pernah menjuarai Krakatau Award 2017 ini menyoal silsilah keadatan dan tradisi masyarakat Lampung masa kini, seperti menulis di tempat yang licin.

Para kurator juga memilih 10 cerpen nominasi tanpa ranking. Sebanyak 10 cerpen tersebut adalah "Bediom" karya Heny Sulistiyani, "Sebagai Duyung Saat Berdomisili di Gunung Krakatau" (Rahmat Ali), "Jalan Bengkunat (Rizki Andika), "Gadis Sukamenanti" (Sulis Setia Markhamah), "Suara dari Menara Siger" (Sammad Hasibuan), "Hakikat Sekura" (Wi Noya), "Bunga Kopi dalam Tapis Penagantin" (Rama Safra), "Di Kaki Gunung Pesagi" (Handry TM), "Rumah Kita" (Roni Tabroni), dan "Rindu Tak Berujung di Tanjung Setia" (Nur Haidi).

Cerpen "Bukan Sebambangan" mengisahkan tentang perkawinan yang mengatasnamakan kawin lari (Sebambangan) bagi masyarakat adat Lampung. Bukan Sebambangan yang pernah terjadi di Lampung Timur, juga di masyarakat Lampung di Lampung Utara yang dikenal meramut/ngeramut, menjadi kritik dalam cerpen ini.

Rilda menyorot soal negatif dari ngeramut tersebut, karena "menggelapkan" nasib masa depan perempuan, sebab "bukan" Sebambangan, lebih cenderung melarikan (meramut) anak gadis orang dengan atas nama Sebambangan.

Kepala Bidang Kelembagaan Dinas Pariwisata Provinsi Lampung Linda Libiyanti Sumadewi menjelaskan, Krakatau Award selain sebagai bentuk sosialisasi, juga untuk membangun apresiasi masyrakat terhadap pariwisata dan seni budaya daerah Lampung.

"Pariwisata Lampung memiliki keunikan dan pesona tersendiri, begitu juga dengan seni budaya yang kaya dan beragam," katanya pula.

Dengan adanya KA, lanjutnya, kita berharap pariwisata dan seni budaya Lampung, bukan hanya dikenal tapi juga menarik minat mayarakat untuk berkunjung ke daerah ini.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Lampung Budiharto Herman N mengatakan, Krakatau Award menjadi bagian dari Festival Krakatau karena nilai positif bagi promosi pariwisata dan seni budaya Lampung.

Menurutnya, dengan digelar Krakatau Award, diharapkan masyarakat di luar Lampung akan mencari tahu dan belajar untuk mengenal kebudayaan dan destinasi wisata yang ada di daerah ini.

"Walaupun cerita yang ditulis oleh sastrawan tersebut adalah fiksi, namun tafsir hasil transformasi budaya menjadi kekayaan bagi daerah ini," ujar dia pula.

Yanusa Nugroho mewakili dewan kurator menjelaskan, menulis cerita untuk sebuah lomba atau apa pun yang bertolak pada tema tertentu, ada begitu banyak kendala, misalnya jika itu menyangkut adat-istiadat, maka kita tak bisa hanya mengetahui lewat bacaan semata; tanpa bertanya pada para pemangkunya. Jika hal ini dipaksakan, maka kisah yang kita paparkan terasa mengada-ada.

"Inilah yang umumnya muncul pada naskah-naskah yang saya baca pada Krakatau Award 2018. Tentu jika saya tuliskan umumnya, itu pun berdasarkan dugaan saya semata; karena persoalan tradisi/adat/kebiasaan sangatlah beragam di negeri kita ini. Umumnya, peserta seolah meletakkan adat sebagai latar semata dan menyebutkan katakanlah Nemui Nyimah sebagai sebingkai foto bunga di ruang tamu kita. `Mutiara` adat ini tidak muncul sebagai fokus pengisahan, tetapi sekadar ada, bahkan sekadar disebutkan saja," ujar sastrawan asal Jakarta yang karya-karyanya kerap dimuat Kompas dan media cetak lain serta sejumlah buku cerpen/novel tunggal.

Akan tetapi, tiga naskah yang akhirnya diputuskan sebagai terbaik, ternyata menang, menurut dia, tampaknya ditulis dengan `riset` yang cukup baik; bahkan dari sisi pengisahan, layak disebut cerita pendek.

Pada `Bukan Sebambangan` misalnya, gambaran perempuan yang memegang sabit, dengan kegeramannya, dan sebagainya, muncul sebagai sosok yang hidup, katanya lagi.

Festival Krakatau 2018 kembali digelar di Lampung pada Agustus ini sebagai salah satu kalender rutin pariwisata dan seni budaya Lampung sekaligus mengangkat potensi wisata dan seni budaya daerah ini, dengan mengangkat momentum peristiwa letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883.