Prospek budi daya lada organik di Lampung

id Lada organik lampung Oleh Budisantoso Budiman

Prospek budi daya lada organik di Lampung

Petani lada di Kabupaten Tanggamus, Lampung. ANTARA/HO-GIZ

Proyek Lada Organik ini bertujuan untuk mempromosikan penerapan (adopsi) dan menyebarluaskan praktik pertanian terbaik (Good Agricultural Practices/GAP)


Tanaman lada merupakan salah satu komoditas pertanian yang ada di Nusantara, dan salah satunya terdapat di Provinsi Lampung. Pada tahun 1653, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penduduk Lampung untuk menanam pohon lada sebanyak 500 pohon per orang. Bahkan, untuk mengatur tata niaga tanaman lada, penguasa dari Banten itu menempatkan beberapa orang untuk mengawasi jual beli lada.

Pada zaman dahulu, daerah penghasil lada utama di Lampung adalah Tulang Bawang, Sekampung, dan Seputih. Hingga akhirnya, banyak masyarakat yang tertarik menanam lada, selain perawatan yang cukup mudah, juga harga lada yang menggiurkan. Pada bulan Agustus 2022, harga lada pernah mencapai Rp46.800 per kilogram. Bahkan, pada masa panen raya lada hitam di Agustus 2024, harganya mencapai Rp90.000 per kilogram.

Menanam lada membutuhkan waktu sekitar 3-4 tahun. Waktu panen tergantung pada jenis lada yang ditanam dan kondisi lingkungan tempat tanam. Lada biasanya dipanen ketika buahnya sudah berwarna merah kehitaman. Tanaman lada cocok ditanam di daerah yang memiliki ketinggian antara 0-700 meter di atas permukaan laut (DPL), suhu udara antara 25-32 derajat Celsius, curah hujan yang cukup, serta tanah yang gembur dan subur.

Saat ini, banyak petani yang beralih dari menanam lada ke komoditas lain, padahal dengan harga lada yang tinggi, semestinya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Selain itu, manfaat buah lada juga cukup banyak, seperti meningkatkan metabolisme tubuh, menjaga kesehatan jantung, pencernaan, mata, tulang, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. (Lada Lampung Pernah Berjaya dengan Sejuta Manfaatnya, RRI.co.id, 2024)

Peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Agus Kardinan, I Wayan Laba, dan Rismayani, 2018), menyatakan bahwa lada (Piper nigrum L.) merupakan tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penghasil devisa terbesar ketujuh pada kelompok tanaman perkebunan.

Daerah pengembangan lada di Indonesia sebagian besar berada di Lampung, Bangka, Kalimantan, dan Sulawesi. Indonesia bukanlah negara terbesar pemasok kebutuhan lada di tingkat dunia, namun Indonesia merupakan negara pemasok lada nomor tiga di dunia. Negara pemasok kebutuhan lada terbesar di dunia adalah Vietnam, disusul oleh Brasil.

Salah satu kunci keberhasilan Vietnam adalah diterapkannya budi daya lada yang baik didukung oleh pemerintah dan swasta, sedangkan di Indonesia sebagian besar perkebunan lada adalah milik petani dengan teknik budi daya yang beragam seringkali tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) budi daya lada yang dianjurkan.

Sampai saat ini produktivitas lada di Indonesia masih relatif rendah. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh petani lada di Indonesia, di antaranya mutu dari produk lada yang masih rendah.

Untuk meningkatkan daya saing lada, salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas produk lada, melalui budi daya organik. Di tingkat internasional, produk organik mendapatkan harga premium, dihargai lebih mahal. Selain produknya dianggap sehat, konsumen juga rela memberikan harga lebih sebagai bentuk apresiasi bagi produsen organik yang telah berbudidaya ramah lingkungan, sehingga dianggap sebagai pahlawan lingkungan.

Permasalahan yang dihadapi usaha tani lada di Indonesia cukup klasik, terutama rendahnya produktivitas lada (kurang dari 1 ton/ha), besarnya kehilangan hasil karena hama dan penyakit, serta pendapatan yang tidak menentu karena harga lada yang sangat fluktuatif (Soetopo, 2012; Rosman, 2016), sehingga mengakibatkan turunnya produksi dan nilai ekspor (Yuhono, 2007).

Prinsip budi daya organik adalah memberi makan tanah terlebih dahulu, kemudian apabila tanah sudah sehat, maka tanah akan memberi makan tanaman, jadi tidak secara langsung memberi makan tanaman (Kardinan, 2016).

Budi daya organik secara sederhana diartikan dengan budi daya tanpa menggunakan asupan bahan kimia sintetis (pupuk, pestisida, dan lainnya), namun menggunakan asupan bahan alami (pupuk kandang, kompos, pestisida alami, dan lainnya) dengan memperhatikan kesehatan lingkungan dan manusia (Kardinan, 2014).

Tanaman lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi dan penghasil devisa bagi Indonesia. Lada merupakan salah satu rempah-rempah yang paling populer di dunia, selain itu ternyata tanaman ini juga kaya akan manfaat untuk menjaga kesehatan tubuh.

Manfaat mengonsumsi lada, antara lain menurunkan risiko kanker, menjaga kesehatan kulit, sebagai scrub kulit, membantu melancarkan sistem pernapasan, menjaga kesehatan usus, dan masih banyak yang lainnya. Bumbu dapur ini juga dikenal dengan sebutan The King of Spice (Raja Rempah-Rempah), karena sering ditambahkan sebagai penambah cita rasa dalam berbagai masakan. Tanaman merica ini merupakan salah satu komoditas perdagangan dunia. Bahkan lebih dari 80 persen hasil merica Indonesia diekspor ke luar negeri.

Ada dua jenis lada yang sering ditemui, yaitu lada putih dan lada hitam. Keduanya berasal dari pohon yang sama, namun dengan pengolahan yang berbeda. Lada hitam adalah buah lada mentah yang berwarna hijau. Buah ini kemudian diolah dan dikeringkan untuk membuatnya menjadi hitam berkerut dan layu.

Tanaman lada di Kabupaten Tanggamus, Lampung. ANTARA/HO-GIZ


COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.