Bandarlampung (ANTARA) - Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, Keith Spicer/Harris Spice bersama PT Mitra Agro Usaha Perkebunan (MAUP), serta didukung mitra stakeholders lainnya pada 2021-2025 mengembangkan Program/Proyek Lada Lestari Lampung (3L) yang merupakan kemitraan antara sektor publik dan swasta (public private partnership/PPP) dengan sasaran 1.017 petani di tiga kabupaten di Provinsi Lampung, yaitu Kabupaten Tanggamus, Pesawaran, dan Lampung Barat.
Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH adalah perusahaan federal Jerman yang memberikan manfaat publik yang bekerja dalam kerja sama internasional untuk pembangunan berkelanjutan, dan didanai oleh Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (BMZ).
Keith Spicer Ltd/Harris Spice bagian dari Harris Freeman Group adalah perusahaan global yang bergerak di bidang pengembangan produk, pemasaran, dan distribusi teh, rempah-rempah, herbal, bumbu, dan perasa lainnya untuk industri makanan. Misinya adalah untuk mendapatkan dan mendistribusikan rempah-rempah dan bumbu terbaik, dengan cara yang aman, terjamin, dan berkelanjutan.
PT Mitra Agro Usaha Perkebunan adalah perusahaan yang tergabung dalam konsorsium Harris Freeman Foundation dan Keith Spicers Ltd., yang mengampanyekan program Digital Farming kepada para petani.
GIZ bekerja sama dengan Keith Spicer/Harris Spice telah memulai Proyek Lada Organik di Indonesia. Proyek ini berupaya menawarkan model kemitraan pemerintah dengan pihak swasta terkait pertanian, peningkatan pasar, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada subsektor lada.
Proyek bersama ini menghubungkan keahlian yang ditawarkan oleh kedua belah pihak. Keith Spicer Ltd/Harris Spice menghadirkan pengetahuan khusus industri, teknologi baru, dan pendekatan kreatif, sementara GIZ menyediakan keahlian kebijakan pembangunan, staf terampil di bidangnya, dan jaringan global yang mencakup pembuat kebijakan, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Implementation Manager GIZ Danny F Juddin, didampingi Dani Arengka, Technical Advisor Organic Pepper Project menyebutkan Proyek Lada Organik ini bertujuan untuk mempromosikan penerapan (adopsi) dan menyebarluaskan praktik pertanian terbaik (Good Agricultural Practices/GAP), menggunakan model tumpangsari dan wanatani, serta memproduksi lada organik melalui penerapan sistem manajemen internal. Targetnya adalah untuk meningkatkan produksi lada hitam di Lampung secara berkelanjutan, meningkatkan kualitas produksi lada, dan menaikkan pendapatan serta kesejahteraan petani lada di daerah ini.
General Direktur PT Mitra Agro Usaha Perkebunan (MAUP) Tomy Adrianto, didampingi Teguh Imam Nugroho (Direktur Keuangan PT MAUP) dan Fembry Arianto (Manager SDP & Rn BDP PT MAUP) menyebutkan, dalam proyek ini pihaknya mendampingi para petani anggota Komunitas Lada Lestari Lampung untuk menerapkan sistem dan pola budi daya lada hitam, sehingga memenuhi standar internasional sertifikasi organik.
Penerapan budi daya lada hitam organik ini dilakukan dengan menyebarkan pengetahuan bersama para petani lada di kebun sasaran, sehingga memiliki kesempatan meningkatkan produktivitas tanaman lada dan peningkatan kualitas lada yang dihasilkan.
"Lada organik yang berkualitas tinggi dan memenuhi standar sertifikasi organik di pasar internasional memiliki peluang pembelian dengan harga tinggi," kata Tomy pula. Namun, upaya tersebut masih harus berhadapan dengan problematika dan tantangan cukup berat.
Menurut para petani, dan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Lampung, dalam tiga dekade terakhir, salah satu komoditas strategis dari Lampung ini merosot secara drastis. Lada hitam Lampung (Lampung Black Pepper) produktivitasnya masih rendah, berkisar 0,5 ton per hektare (ha) dari sebelumnya pernah mencapai 2 ton per ha. Padahal bila dibandingkan dengan produktivitas lada di Vietnam sangat tinggi mencapai kisaran 3,2 ton per ha.
Beberapa penyebabnya, antara lain kurang pemeliharaan tanaman lada oleh petani di Lampung, kurang tepat dalam pemupukan, pengelolaan tiang panjat, pengairan di kebun, dan adanya serangan hama dan penyakit terutama busuk pangkal batang. Iming-iming hasil dan harga tanaman perkebunan lainnya, juga mendorong para petani beralih meninggalkan budi daya lada yang secara tradisional pernah secara turun temurun diusahakan.
Menurut Fembry Arianto, manfaat budi daya lada secara organik adalah untuk menghasilkan produk berkualitas dan produktivitas hasil panen lebih tinggi yang bebas dari residu pestisida, sekaligus mencegah pencemaran lingkungan. Secara ekonomi, produk lada organik ini dapat dihargai lebih mahal (premium) dengan penjaminan melalui sertifikasi organik dari pasar internasional.
Dani Arengka menambahkan, prospek petani lada hitam Lampung menghasilkan komoditas lada dengan kuantitas lebih banyak dan kualitas lebih baik dapat semakin besar, dengan menerapkan budi daya lada hitam secara organik. Peluang ini hendaknya dapat dioptimalkan oleh para petani peserta proyek, apalagi dengan dukungan dari GIZ, Keith Spicer/Harris Spice, dan PT MAUP, danserta sejumlah mitra lainnya.
Dia berharap, sebanyak 231 orang petani di Air Naningan, Kabupaten Tanggamus yang mengikuti program sertifikasi lada hitam organik ini dapat menjalankan semua panduan perlakuan dan standar budi daya organik yang dipersyaratkan.
"Jangan sampai kita jatuh terperosok di lubang yang sama untuk kedua kalinya," ujarnya, seraya mengakui pada audit eksternal sertifikasi organik sebelumnya, masih ditemukan adanya sampel bagian tanaman lada petani setempat yang mengandung residu kimia (diindikasikan dari obat nyamuk bakar), sehingga belum lolos pada uji sertifikasi organik tahap pertama.
Diharapkan pada tahap kedua, Januari hingga Februari 2025, dengan persiapan yang lebih matang serta belajar dari pengalaman sebelumnya, proses uji sertifikasi dapat berjalan lancar dan sukses hasilnya.
"Kalau sukses, pastilah petani lada di Air Naningan yang akan merasakan manfaatnya, dan komoditas lada hitam asal Lampung akan makin dikenal dan dipercayai lagi di pasar internasional," katanya lagi.
Petani setempat diharapkan patuh dan benar-benar menerapkan perilaku budi daya lada organik secara tepat, bukan hanya untuk mengikuti program uji sertifikasi ini, tapi telah menjadi perilaku keseharian mereka di kebun dan selanjutnya hingga pascapanen maupun penjualannya. Prospek harga lebih tinggi karena kualitas lada yang dihasilkan lebih baik, akan benar-benar dirasakan oleh petani lada yang mengikuti program ini.
Fembry Arianto menuturkan sejumlah fakta yang menunjukkan peluang tambahan pendapatan bisa diperoleh petani lada, berkisar 10-20 persen lebih tinggi, bila benar-benar menerapkan dan bisa menghasilkan lada hitam berkualitas serta bersertifikat organik seperti dipersyaratkan.
Program Lada Organik (Proyek Lada Lestari Lampung) diimplementasikan di tiga kabupaten di Provinsi Lampung, yaitu Tanggamus, Lampung Barat, dan Pesawaran. Targetnya adalah minimal 1.000 petani, kenaikan income 20 persen, dan tersedianya komoditas lada organik sertifikasi internasional dengan target pasar untuk Eropa, Amerika, dan Jepang.
Tanaman lada merupakan salah satu komoditas pertanian yang ada di Nusantara, dan salah satunya terdapat di Provinsi Lampung. Pada tahun 1653, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penduduk Lampung untuk menanam pohon lada sebanyak 500 pohon per orang. Bahkan, untuk mengatur tata niaga tanaman lada, penguasa dari Banten itu menempatkan beberapa orang untuk mengawasi jual beli lada.
Pada zaman dahulu, daerah penghasil lada utama di Lampung adalah Tulang Bawang, Sekampung, dan Seputih. Hingga akhirnya, banyak masyarakat yang tertarik menanam lada, selain perawatan yang cukup mudah, juga harga lada yang menggiurkan. Pada bulan Agustus 2022, harga lada pernah mencapai Rp46.800 per kilogram. Bahkan, pada masa panen raya lada hitam di Agustus 2024, harganya mencapai Rp90.000 per kilogram.
Menanam lada membutuhkan waktu sekitar 3-4 tahun. Waktu panen tergantung pada jenis lada yang ditanam dan kondisi lingkungan tempat tanam. Lada biasanya dipanen ketika buahnya sudah berwarna merah kehitaman. Tanaman lada cocok ditanam di daerah yang memiliki ketinggian antara 0-700 meter di atas permukaan laut (DPL), suhu udara antara 25-32 derajat Celsius, curah hujan yang cukup, serta tanah yang gembur dan subur.
Saat ini, banyak petani yang beralih dari menanam lada ke komoditas lain, padahal dengan harga lada yang tinggi, semestinya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Selain itu, manfaat buah lada juga cukup banyak, seperti meningkatkan metabolisme tubuh, menjaga kesehatan jantung, pencernaan, mata, tulang, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. (Lada Lampung Pernah Berjaya dengan Sejuta Manfaatnya, RRI.co.id, 2024)
Peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Agus Kardinan, I Wayan Laba, dan Rismayani, 2018), menyatakan bahwa lada (Piper nigrum L.) merupakan tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penghasil devisa terbesar ketujuh pada kelompok tanaman perkebunan.
Daerah pengembangan lada di Indonesia sebagian besar berada di Lampung, Bangka, Kalimantan, dan Sulawesi. Indonesia bukanlah negara terbesar pemasok kebutuhan lada di tingkat dunia, namun Indonesia merupakan negara pemasok lada nomor tiga di dunia. Negara pemasok kebutuhan lada terbesar di dunia adalah Vietnam, disusul oleh Brasil.
Salah satu kunci keberhasilan Vietnam adalah diterapkannya budi daya lada yang baik didukung oleh pemerintah dan swasta, sedangkan di Indonesia sebagian besar perkebunan lada adalah milik petani dengan teknik budi daya yang beragam seringkali tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) budi daya lada yang dianjurkan.
Sampai saat ini produktivitas lada di Indonesia masih relatif rendah. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh petani lada di Indonesia, di antaranya mutu dari produk lada yang masih rendah.
Untuk meningkatkan daya saing lada, salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas produk lada, melalui budi daya organik. Di tingkat internasional, produk organik mendapatkan harga premium, dihargai lebih mahal. Selain produknya dianggap sehat, konsumen juga rela memberikan harga lebih sebagai bentuk apresiasi bagi produsen organik yang telah berbudidaya ramah lingkungan, sehingga dianggap sebagai pahlawan lingkungan.
Permasalahan yang dihadapi usaha tani lada di Indonesia cukup klasik, terutama rendahnya produktivitas lada (kurang dari 1 ton/ha), besarnya kehilangan hasil karena hama dan penyakit, serta pendapatan yang tidak menentu karena harga lada yang sangat fluktuatif (Soetopo, 2012; Rosman, 2016), sehingga mengakibatkan turunnya produksi dan nilai ekspor (Yuhono, 2007).
Prinsip budi daya organik adalah memberi makan tanah terlebih dahulu, kemudian apabila tanah sudah sehat, maka tanah akan memberi makan tanaman, jadi tidak secara langsung memberi makan tanaman (Kardinan, 2016).
Budi daya organik secara sederhana diartikan dengan budi daya tanpa menggunakan asupan bahan kimia sintetis (pupuk, pestisida, dan lainnya), namun menggunakan asupan bahan alami (pupuk kandang, kompos, pestisida alami, dan lainnya) dengan memperhatikan kesehatan lingkungan dan manusia (Kardinan, 2014).
Tanaman lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi dan penghasil devisa bagi Indonesia. Lada merupakan salah satu rempah-rempah yang paling populer di dunia, selain itu ternyata tanaman ini juga kaya akan manfaat untuk menjaga kesehatan tubuh.
Manfaat mengonsumsi lada, antara lain menurunkan risiko kanker, menjaga kesehatan kulit, sebagai scrub kulit, membantu melancarkan sistem pernapasan, menjaga kesehatan usus, dan masih banyak yang lainnya. Bumbu dapur ini juga dikenal dengan sebutan The King of Spice (Raja Rempah-Rempah), karena sering ditambahkan sebagai penambah cita rasa dalam berbagai masakan. Tanaman merica ini merupakan salah satu komoditas perdagangan dunia. Bahkan lebih dari 80 persen hasil merica Indonesia diekspor ke luar negeri.
Ada dua jenis lada yang sering ditemui, yaitu lada putih dan lada hitam. Keduanya berasal dari pohon yang sama, namun dengan pengolahan yang berbeda. Lada hitam adalah buah lada mentah yang berwarna hijau. Buah ini kemudian diolah dan dikeringkan untuk membuatnya menjadi hitam berkerut dan layu.

Budi Daya Lada Organik
Pada umumnya cara budi daya organik dan non-organik adalah sama, namun ada beberapa perlakuan yang diatur dalam budi daya organik.
Budi daya organik sangat diperlukan dalam mengembalikan kesuburan tanah di Indonesia dan mengubah paradigma petani menjadi bertani yang ramah lingkungan.
Budi daya lada organik tidak memperkenankan penggunaan pupuk kimia sintetis seperti Urea, NPK dan sejenisnya (SNI6729, 2016), namun harus dengan pupuk organik, di antaranya pupuk kandang, kompos, mikroba, bahan mineral, dan lainnya. Kevin dan Jarroop (2018) dan Zuraini (2010) mengemukakan bahwa dalam budi daya lada organik, selain menggunakan pupuk organik perlu disertai aplikasi mikroorganisme efektif (effective microorganism) atau mikroorganisme yang menguntungkan untuk mencapai produktivitas dan pertumbuhan yang optimal, sekaligus menciptakan tanah yang sehat dan subur.
Park dan Du Ponte (2008) menyatakan bahwa diperlukan sedikitnya satu tahun agar mikroorganisme yang menguntungkan dapat berkembang dengan baik pada pertanaman lada organik, oleh karena itu aplikasi berulang dapat membantu berkembangnya mikroorganisme menguntungkan itu di dalam tanah dengan lebih cepat. Keymer dan Lankau (2017) mengemukakan bahwa pada saat pembentukan buah, tanaman lada memerlukan asupan nutrisi yang tinggi, dan saat kritis perlu mendapat perhatian khusus dari petani.
Dalam budi daya lada, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu masalah hingga menyebabkan kehilangan hasil yang merugikan petani. Hama dan penyakit utama tanaman lada di Indonesia, yaitu penggerek batang lada (Lophobaris piperis Marsh.), penghisap buah lada (Dasynus piperis China), perusak bunga (Diconocoris hewetti Dist), penyakit busuk pangkal batang (Phytopthora capsici), penyakit kuning, dan penyakit velvet. Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan masalah utama dalam budi daya lada yang masih sangat sulit dikendalikan.
Beberapa penelitian untuk mendapatkan varietas lada yang tahan penyakit itu telah dilakukan, di antaranya oleh Meilawati et al. (2016) melalui iradiasi sinar Gamma, dan Wahyuno et al. (2010) melalui persilangan intraspesies maupun antarspesies. Tingkat serangan hama buah lada di Bangka dapat mencapai 36,82 persen (Laba et al., 2004). Penyakit kuning pada tanaman lada yang disebabkan oleh nematoda parasit tumbuhan menjadi masalah utama di Bangka. Petani tidak mengenal penyakit ini, dan cara pengendaliannya juga belum ada (Abdul dan Sulistiawati, 2014).
Pengendalian hama dan penyakit tidak boleh menggunakan pestisida kimia sintetis dalam pertanian organik, tetapi harus mengutamakan cara-cara yang ramah lingkungan, di antaranya; (1) cara pencegahan, yaitu dengan menanam varietas tahan penyakit, melestarikan musuh alami, misal dengan penanaman tanaman berbunga/refugia seperti kenikir di sekitar tanaman lada yang berperan sebagai habitat musuh alami serta serangga berguna dan pengusir hama, kultur teknis (misal penanaman mulsa hidup/living mulch/cover crops dengan tanaman Arachis pintoi), pemupukan berimbang, dan cara lainnya yang ramah lingkungan atau melalui modifikasi lingkungan (La ode et al., 2015).
Apabila cara pertama tidak berjalan dengan baik, maka dilakukan cara pengendalian, yaitu dengan penggunaan pestisida alami, yang terdiri dari pestisida nabati (dari tumbuhan), pestisida hayati (jamur, bakteri, virus), dan pestisida dari bahan mineral (belerang/sulfur, Cu So4, kapur, dan lain-lain). Pestisida/pupuk yang sudah komersial diperdagangkan di pasaran harus sudah tersertifikasi organik, baru dapat diperbolehkan digunakan dalam budi daya organik lada. Salah satu tanda bahwa produk tersebut telah disertifikasi organik adalah dengan adanya “Logo organik Indonesia”.
Pengendalian OPT di tempat penyimpanan/gudang harus mengutamakan cara-cara pencegahan, di antaranya dengan memasang kain kasa untuk mencegah serangga masuk, kawat di semua lubang untuk mencegah tikus masuk, penggunaan lampu perangkap serangga/lighttrap ataupun perangkap tikus, dan cara lainnya.
Panen dan Pasca Panen
Pada prinsipnya pemanenan lada organik tidak boleh disatukan hasil panennya dengan lada non-organik, begitu juga lada hasil olahannya tidak boleh dicampur/tercampur dengan lada non-organik. Tempat penyimpanan di gudang atau tempat penyimpanan lainnya, harus jelas teridentifikasi antara lada organik dan non-organik. Tidak perlu terpisah di gudang/bangunan penyimpanan, yang penting adanya pemisahan agar antara lada organik dan non-organik tidak tercampur.
Pelabelan/penandaan terhadap semua kemasan lada organik harus jelas dan tertera pada kemasannya (misal karung atau sejenisnya), juga waktu panen, asal dari mana, nama petani dan identitas lainnya, sehingga mudah ditelusuri apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan dengan produk tersebut. Prosesing tidak boleh menggunakan bahan kimia sintetis yang dilarang dalam pertanian organik, demikian pula air yang digunakan untuk prosesing tidak boleh tercemar oleh logam berat, pestisida ataupun bahan cemaran lainnya. Hasil analisis laboratorium diperlukan untuk menjaga integritas keorganikan. Limbah hasil pengolahan tidak boleh mencemari lingkungan. Harus ada SOP (standar operasional prosedur) penanganan limbah. Tidak boleh ada keluhan dari masyarakat sekitar pengolahan mengenai limbah yang dihasilkan.
Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Lada Organik
Lada merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia setelah kopi. Setiap tahap dari subsistem agribisnis lada memiliki berbagai permasalahan mulai dari industri/penangkar benih, adanya serangan OPT, kurangnya penyuluhan, rendahnya adopsi teknologi, kurangnya modal petani, dan adanya usaha pencampuran lada asalan pada produk petani. oleh sebab itu diperlukan kebijakan-kebijakan untuk membantu meningkatkan pendapatan petani lada.
Untuk mendapatkan transfer teknologi dari puslit/balai penelitian, petani yang berada di daerah sentra produksi lada sangat diperlukan kebijakan khusus untuk memprioritaskan pengkajian dan pengembangan lada di BPTP (sekarang BSIP). Diperlukan kemitraan secara terpadu antara petani, pihak swasta, dan pemerintah daerah dalam mewujudkan diseminasi paket teknologi, mulai dari perbanyakan tanaman, teknik budi daya dan pengolahan hasil. Demonstrasi plot (demplot) untuk lebih meyakinkan petani bahwa paket teknologi yang diperkenalkan memberikan nilai tambah dalam budi daya organik tanaman lada.
Salah satu implementasi program “Nawacita” Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah program Seribu Desa Organik dengan landasan bahwa pengembangan dimulai dari pinggiran/desa, meningkatkan daya saing produk (dengan organik akan mampu bersaing lebih baik), mengoptimalkan potensi domestik, mengangkat kearifan lokal dan lainnya. Pertanian organik mengutamakan potensi lokal. Program Seribu Desa Organik itu dimulai dari tahun 2016 hingga tahun 2019.
Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh petani lada di Indonesia, terutama rendahnya produktivitas, besarnya kehilangan hasil akibat adanya serangan organisme pengganggu tanaman serta pendapatan yang tidak menentu karena harga lada sangat fluktuatif merupakan tantangan dan bagi kita, justru mendorong untuk lebih semangat menjadi peluang dalam meningkatkan daya saing lada Indonesia di pasar dunia melalui budi daya lada organik yang ramah lingkungan, sehingga produk yang dihasilkan lebih berkualitas dan di pasar dunia akan mampu bersaing untuk mendapatkan harga premium, sehingga dapat meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani lada dan sumber devisa Indonesia dari ekspor nonmigas.
Sekarang ini sudah saatnya pula bagi para petani di Indonesia termasuk di Lampung, untuk juga menerapkan konsep integrated farming atau pertanian terintegrasi yang menggabungkan pertanian dan peternakan dalam satu siklus berkelanjutan. Fokus utamanya adalah meningkatkan produktivitas lahan, mengurangi biaya produksi, dan membangun sistem pertanian ramah lingkungan.
Melalui integrasi peternakan domba, sapi, dan ayam, pupuk organik alami dihasilkan untuk menyuburkan tanaman, terutama memproduksi beras organik. Petani juga perlu mendapatkan pelatihan, pendampingan, dan jaminan pasar dengan harga yang stabil.
Konsep pertanian terintegrasi ini bertujuan untuk memajukan ekonomi desa, membuka lapangan kerja, dan mendorong regenerasi petani muda, agar pertanian lebih berkelanjutan. Semua ini dapat membuktikan bahwa inovasi dan pemberdayaan petani bisa menjadikan desa mandiri dan produktif.
Sekilas Pembangunan Regeneratif: Melampaui Keberlanjutan (Medard Gabel, 2015)
Pembangunan Berkelanjutan adalah pendekatan solutif untuk masalah-masalah besar. Tujuannya, membuat kehidupan di planet ini berkelanjutan. Ketika status quo mencakup ratusan juta hektare lahan pertanian yang rusak dan hutan hujan tropis yang digunduli dan diratakan, perikanan dan akuifer yang terkuras habis, aliran sungai yang tersumbat racun, keanekaragaman hayati yang menurun, dan iklim yang berubah, keberlanjutan sama sekali tidak dapat diterima.
Singkatnya, pembangunan berkelanjutan seperti kata-kata bijak 'jangan berbuat jahat'; tidak menetapkan standar yang cukup tinggi. Kita dapat, dan perlu, melakukan yang lebih baik daripada sekadar mempertahankan yang tidak dapat diterima—atau menerima masa kini sebagai yang terbaik yang dapat kita lakukan.
Perkembangan terbaru dalam hal keberlanjutan adalah konsep 'nol emisi'. Di sini, tidak dapat diterima untuk menghasilkan limbah dalam jumlah yang cukup, agar tidak melebihi kapasitas alam untuk mendaur ulang produk sampingan industri kita. Tujuannya adalah untuk memproduksi barang dan jasa kita dengan cara yang tidak menghasilkan limbah—sehingga produk sampingan dari satu proses industri menjadi masukan untuk proses lainnya.
Dalam ekologi industri ini, kita menghubungkan aliran limbah dari satu pabrik industri ke saluran masukan pabrik lain, sehingga mengubah limbah menjadi sumber daya. Ini adalah tujuan mulia lainnya dan peningkatan besar pada gagasan dasar keberlanjutan—tetapi kita dapat melakukan yang lebih baik daripada nol emisi.
Melampaui Keberlanjutan dan Nol Emisi
Masalah lokal dan global serta visi kita tentang apa yang kita inginkan perlu dilihat dalam konteks kerangka kerja pemecahan masalah dan pembangunan baru, yang disebut pembangunan regeneratif.
Pembangunan adalah penggunaan sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Yang disebut pembangunan berkelanjutan adalah penggunaan sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara yang tidak merusak atau melemahkan sistem pendukung yang dibutuhkan untuk pertumbuhan di masa mendatang.
Pembangunan regeneratif adalah penggunaan sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara membangun kapasitas sistem pendukung yang dibutuhkan untuk pertumbuhan di masa mendatang. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan regeneratif bagi pembangunan berkelanjutan.
Untuk mengambil satu contoh: 'Pertanian berkelanjutan' mengacu pada proses produksi pangan yang tidak merusak ekosistem yang menjadi tumpuan pertanian. Pertanian berkelanjutan berupaya untuk bertani dengan cara menjaga erosi tanah pada tingkat 'penggantian'. Dengan cara ini, generasi mendatang akan dapat bertani di lahan yang sama. Ini merupakan peningkatan besar dibandingkan pertanian tradisional yang intensif erosi tanah, tetapi belum cukup jauh.
Sekarang secara teknologi memungkinkan dan secara ekonomi kompetitif untuk memproduksi pangan sekaligus membuat sebidang tanah menjadi lebih baik—bertani dengan cara yang tidak hanya menyisakan jumlah tanah yang hampir sama setelah panen, tetapi juga benar-benar meningkatkan kuantitas dan kualitas tanah setelah panen—yaitu, bertani secara regeneratif. Regenerasi membangun kapasitas; keberlanjutan; paling tidak, mempertahankannya.
Pembangunan regeneratif berupaya meningkatkan efisiensi dan kapasitas metabolisme industri dan teknologi kita sekaligus menyediakan layanan dan produk pendukung kehidupan bagi populasi dunia. Seperti keberlanjutan tanpa emisi, pembangunan regeneratif berupaya menutup semua jalur terbuka yang membuang limbah ke lingkungan dan mengarahkan sumber daya berharga ini ke tempat-tempat dalam sistem metabolisme industri tempat sumber daya tersebut dapat menjadi masukan yang bernilai.
Tujuannya adalah mengurangi limbah dan menutup katup yang memungkinkan bahan kimia berharga mengalir keluar dari sistem industri ke sistem alami, tempat bahan kimia tersebut dikenal sebagai 'polusi'. Namun, pembangunan regeneratif melangkah lebih jauh.
Prinsip-prinsip Pembangunan Regeneratif
Ada beberapa prinsip utama yang saling terkait yang menyusun pembangunan regeneratif.
Prinsip-prinsip terpenting adalah:
Seluruh dunia sekarang menjadi satu-satunya unit yang relevan dalam penyelesaian masalah
Jangka panjang adalah kerangka kerja yang harus kita gunakan dalam beroperasi.
Semua orang dibutuhkan
Semua orang menang
Transparansi adalah kuncinya
Kapasitas, bukan permasalahan, harus menjadi fokus kita
Kebutuhan dunia sebenarnya adalah pasar potensial
Desain menggantikan politik
Lebih banyak dengan lebih sedikit harus menjadi etika desain
Biologi menggantikan mekanika
Pembangunan, bukan pertumbuhan adalah tujuan kami
Skalabilitas sangatlah penting
Visi mendorong tindakan. Uang mengikuti visi
Menciptakan masa depan yang ideal adalah alat yang ampuh untuk mengintegrasikan banyak pemangku kepentingan ke dalam tim kooperatif yang bekerja sama untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan. Hal ini memungkinkan orang untuk melepaskan posisi yang dipegang erat dan wilayah yang berharga saat visi kemenangan yang lebih besar menggantikan kepemilikan yang sedikit dari situasi saat ini yang sarat masalah. Disatukan, kapasitas bersama mereka diperluas, para peserta—bahkan yang lebih sinis atau pesimis—dapat melihat dalam jangkauan sebuah cita-cita yang dulunya tampak tidak masuk akal.
Pembangunan regeneratif menggunakan visi ideal masa depan untuk mengatur sumber daya yang dibutuhkan guna mencapainya. Visi tersebut harus didasarkan pada kelayakan teknologi masa kini—bukan khayalan “kita akan memperoleh energi dari fusi” atau “kita akan membuang polusi kita di bulan”. Pendekatan pembangunan regeneratif didasarkan pada kemampuan dunia nyata dan diinformasikan oleh visi pragmatis tentang apa yang diinginkan.
Prinsip-prinsip pembangunan regeneratif membangun kerangka acuan untuk melihat dunia—pada masalah-masalah, sumber daya, dan pilihan-pilihan kita—dengan cara yang dapat mengarah pada masa depan yang sehat bagi ekosistem, kekayaan ekonomi, dan kemakmuran manusia. Ini adalah kerangka kerja 'gambaran besar' untuk desain, perencanaan, dan tindakan yang akan memecahkan masalah-masalah global kita dengan cara-cara yang tidak hanya menghargai Bumi dan sistem-sistem pendukung kehidupannya, tetapi juga menyempurnakannya, memastikan bahwa dunia generasi mendatang lebih kaya dalam segala hal daripada dunia kita.
Pembangunan regeneratif dicirikan oleh perspektif dan pendekatan global dan jangka panjang yang membangun kapasitas kita untuk pertumbuhan kualitatif. Pembangunan regeneratif menghargai dan membutuhkan masukan dari semua pemangku kepentingan; bersifat transparan sehingga setiap orang dapat melihat bagaimana mereka menang dan apa yang mungkin perlu mereka korbankan untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar; melihat masalah dan kebutuhan sebagai pasar bagi wirausahawan sosial dan ekonomi; dan memanfaatkan desain yang mengandalkan melakukan lebih banyak dengan lebih sedikit untuk mencapai tujuannya.
Pembangunan regeneratif difokuskan pada visi tentang apa yang diinginkan, bukan apa yang bijaksana. Didorong oleh visi ideal tersebut, alih-alih bereaksi terhadap apa yang dianggap mungkin mengingat keterbatasan saat ini, pembangunan regeneratif selaras dengan alam, dengan apa yang diinginkan dunia, dan dengan sumber daya dan teknologi yang dapat membawa kita ke sana. (Medard Gabel 2005)
