Kisah Patriarki dan "Legalitas" Pelecehan Seksual

id Kisah Patriarki dan Legalitas Pelecehan Seksual

Waykanan, Lampung (ANTARA LAMPUNG) - Mediasi perdamaian atas kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan ialah "legalitas" tindakan asusila dan patriarki yang bertentangan dengan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).

Kamis (1/11) sekitar pukul 07.00 WIB, seorang pelajar putri sekolah lanjutan pertama di Kecamatan Negarabatin, Kabupaten Waykanan, Provinsi Lampung dipaksa dan diancam penjaga sekolah berstatus duda, untuk melayani hasrat seksualnya di laboratorium sekolah itu selama kurang lebih 30 menit.

Kasus tersebut, selanjutnya dimediasi beberapa aparatur Pemerintah Kabupaten Waykanan dan juga pihak sekolah supaya damai, sehingga pihak korban tidak menuntut secara hukum.

Dinas Pendidikan Kabupaten Waykanan menyatakan, penjaga sekolah pelaku pelecehan seksual dan kekerasan terhadap pelajar putri itu sudah diberhentikan.

Perdamaian antara kedua pihak dinilai Dinas Pendidikan Waykanan sebagai jalan yang terbaik, untuk menghindari aib bagi semua pihak.


Membedakan "Pelecehan Seksual" dan "Perbuatan Tidak Menyenangkan".
Apakah sama perbuatan tidak menyenangkan dengan pelecehan seksual itu sendiri?

Mediasi dilakukan beberapa aparatur Pemerintah Kabupaten Waykanan dan pihak sekolah korban, menghasilkan Surat Perdamaian pada Jumat (9/11).

Dalam surat perdamaian itu, kata "pelecehan seksual" tidak tercantum tetapi yang ada ialah "perbuatan tidak menyenangkan".

Sebuah kesengajaan, kecorobohan, upaya pembodohan, penyimpangan masalah, intervensi dan ketidaktahuan hukum? Atau solusi terbaik?

Nasib korban dalam surat tersebut ditentukan oleh kaum lelaki, ayah korban yang berusia 36 tahun, pelaku berusia 55 tahun yang berstatus duda, dan empat saksi, terdiri dari tiga aparatur pemerintah Kabupaten Waykanan dan satu dari pihak sekolah yang semuanya kaum lelaki.

"Perbuatan tidak menyenangkan bentuknya bisa apapun, tidak mesti pelecehan seksual, sementara pelecehan seksual sifatnya spesifik melecehkan," aktivis pendamping masyarakat yang juga kandidat doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro, Oki Hajiansyah Wahab menjelaskan.

Hakim Pengadilan Negeri Blambangan Umpu Agus Safuan Amijaya menjelaskan, perbuatan tidak menyenangkan lebih umum dan bukan soal kesusilaan.

"Kalau pelecehan seksual lebih khusus yaitu di wilayah seksual," ujar Agus menerangkan.

Perbuatan tidak menyenangkan berdasarkan pasal 335 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp400 ribu.

Pelecehan seksual menurut Agus pula ialah delik susila pelecehan seksual atau perbuatan cabul.

Dan kalau yang perempuannya anak-anak berusia kurang dari 18 tahun, bisa terkena pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 82 tersebut menjelaskan setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3  tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.

Perubahan fakta dari "pelecehan seksual" menjadi "perbuatan tidak menyenangkan" menurut Oki ialah pembodohan.

Kenapa pihak sekolah dan aparatur pemerintah pendamai di daerah yang mencanangkan Selasa sebagai Hari Kesadaran Hukum Bangkit mengamini dan mendorong hal demikian?

Dalam konteks musyawarah mufakat perdamaian tersebut tidak salah. Tetapi haruskah hukum untuk generasi bangsa dan kaum perempuan disederhanakan begitu saja?


Penegakan Hukum
Pada pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan, anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Berapa persen pengajar, aparatur pemerintah, masyarakat mengetahui pasal tersebut?

Kabupaten Waykanan, Lampung merupakan daerah yang masih ditetapkan sebagai daerah tertinggal oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.

Kabupaten pemekaran Kabupaten Lampung Utara tersebut secara posisi berada di bagian paling utara Provinsi Lampung, 220 km sebelah utara Kota Bandarlampung, membutuhkan tempo sekitar 5 sampai dengan 6 jam dari Bandarlampung untuk ke Waykanan.

Kebutaan akan informasi berkaitan dengan hukum membuat masyarakat bawah cenderung takut, kata Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ruang Belajar Masyarakat Kabupaten Waykanan dan menyatakan hal tersebut sebagai salah satu kendala mengenai hukum.

Kelemahan dalam penyelesaian kasus pelecehan seksual disebabkan beberapa hal, salah satunya masih banyak warga tidak paham hukum sehingga merasa cukup diselesaikan di tingkat kampung.

"Kedua, ada ancaman kepada keluarga korban sehingga kasus yang sebenarnya bisa dipidanakan tidak terjadi," ujar dia lagi.

Ancaman terjadi karena beberapa hal dan kemungkinan, pertama, korban adalah warga pendatang dan kurang mampu secara ekonomi.

Kedua, pelakunya mungkin saja orang yang arogansinya tinggi dan suka mengancam.

"Seharusnya, siapa pun yang bersalah sama diperlakukan di hadapan hukum," ujar dia lagi.

Makanya, ujar Triwana pula, masyarakat harus melek hukum supaya paradigma orang miskin lemah dan kalah ketika berurusan dengan hukum bisa berakhir.

Pelecehan seksual di kota-kota besar, ujar Pembantu Ketua III Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'arif Waykanan itu lagi, selalu dipermasalahkan sehubungan banyak orang-orang kritis.

"Media massa berperan membuat masyarakat Waykanan terbebas dari buta hukum dengan informasi disampaikannya," ia menambahkan.

Masyarakat yang terkena persoalan hukum seperti pelecehan seksual, ujar Triwana lagi, harus berani membuat pelaku jera.

"Supaya pelaku jera dan tidak melakukan hal itu lagi harus ada pembelajaran hukum," ujar dia pula.        

Pembiaran atas proses hukum lambat laun membuat orang tidak jera dan memungkinkan melakukan tindakan pelecehan seksual lagi terhadap orang lain.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Waykanan, Edi Rusdiyanto menilai pelecehan seksual dilakukan penjaga sekolah kepada seorang pelajar putri berujung damai hanya menciptakan kondisi pendidikan menjadi tidak kondusif.

Upaya damai atas kasus tersebut, ujar politisi PDI Perjuangan itu, jelas merupakan preseden buruk bagi dunia pendidikan.

"Supaya tidak membuat trauma bagi pelajar lain, saya sepakat kasus itu diteruskan ke proses hukum. Saya khawatir ke depan terulang lagi kalau didamaikan begitu saja. Kita juga tidak tahu apakah itu perbuatan pertama yang dilakukan pelaku atau untuk ke sekian kalinya dan ada korban lain lagi," ujar Edi menambahkan.

Senada dengan Edi, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Waykanan, Fery Yanto menyatakan proses hukum harus ditegakkan  mengingat pelaku berada di lingkungan pendidikan.

"Saya tidak bisa membenarkan upaya damai itu, selagi cukup bukti, harus ada proses hukum, mengingat korban masih pelajar SMP," ujar Fery.

Ketua Umum Ikatan Alumni Blambanganumpu Kabupaten Waykanan Elvira Devi juga mendesak pihak berwenang tetap memproses hukum kasus itu.

Devi menegaskan peristiwa itu tidak bisa dibiarkan berakhir begitu saja dengan perdamaian tanpa sanksi untuk penjaga sekolah yang seharusnya menjaga keamanan dan ketenteraman pelajar di sekolah itu.

Patriarki dan "legalitas" pelecehan seksual di lingkungan pendidikan atau bukan kiranya tetap tidak dibenarkan.

Kesadaran akan kesetaraan gender harapan MDGs, keyakinan dan kepahaman pelecehan seksual ialah tindakan asusila yang tidak dibenarkan secara hukum, negara dan agama harus ditumbuhkan.

Peristiwa terjadi pada pelajar putri di Waykanan tersebut semestinya tidak terulang pada pelajar putri lain di daerah itu dan daerah lain di Indonesia, mengingat pelecehan seksual adalah bukan perbuatan tidak menyenangkan.

Pelecehan seksual adalah tindak kriminal yang pelakunya sudah sepatutnya mendapatkan hukuman setimpal.