'Memek', kuliner leluhur Simeulue menjadi primadona di PKA 8

id Aceh ,PKA,Kuliner ,Simeulue ,Makanan khas,Ekonomi ,Kebudayaan

'Memek', kuliner leluhur Simeulue menjadi primadona di PKA 8

Bahan untuk membuat kuliner 'memek' khas Simeulue, Aceh (ANTARA/HO/Media Center PKA)

Banda Aceh (ANTARA) - Kuliner khas daerah kepulauan Kabupaten Simeulue yang dikenal dengan nama 'Memek' masih menjadi primadona pengunjung Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke 8 di Taman Sulthanah Safiatuddin Banda Aceh.

"Memek ini makanan khas Simeulue, warisan leluhur," kata Penjaga Stand Kuliner Anjungan Simeulue di PKA 8 Aceh, Restika, di Banda Aceh, Rabu.

Setiap perhelatan PKA yang digelar empat tahun sekali, banyak masyarakat Aceh yang penasaran dengan kuliner khas Simeulue tersebut. Bukan karena namanya saja yang unik, tetapi rasanya juga cukup lezat. Sehingga masih menjadi primadona di PKA 8.

Bahkan, kuliner memek juga sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia pada 2019 lalu.

Salah seorang pengunjung Anjungan Simeulue di PKA 8, Azri tampak terkesan dengan namanya, sehingga ia ingin mencoba rasanya. 

"Saya tidak menyangka rasanya unik ya, dan ternyata enak juga," ujar Aziz.

Kuliner khas Simeulue ini biasanya dijual bervariasi tergantung dari ukuran porsinya. Di PKA ke 8, Memek dijual dengan harga paling murah yakni Rp10 ribu untuk satu gelas kecil.

Masa silam, kuliner dari wilayah kepulauan di Aceh ini telah lekat di lidah jelata, bahkan sampai juga ke meja makan para raja. 

Bagi sebagian orang, namanya memang agak sedikit menggelitik, tetapi tidak bagi masyarakat Simeulue. Mereka tetap bangga menyebut kuliner nyentrik berlakap memek itu.

Sebab kuliner ini punya nilai sejarah besar. Jauh sebelum Indonesia merdeka, medio 1940-an, kuliner memek mulai dikenalkan masyarakat Simeulue melalui mulut ke mulut.

Sebutan memek sebenarnya memiliki arti mengunyah atau menggigit.

Zaman dulu, nama tersebut diangkat dari kebiasaan nenek moyang masyarakat Simeulue yang sering mengunyah beras ketan dicampur pisang.

Sehingga muncul istilah mamemek. Penyebutan huruf ‘e’ dalam kata memek mirip seperti mengucapkan ‘e’ pada kata angka enam.

Mulanya, santapan sederhana berbahan dasar beras ketan putih dan pisang kepok ini hanya bisa ditemui pada perayaan adat warga Simeulue, atau hanya disajikan sebagai menu penghormatan saat tamu bertandang ke rumah.

Selain itu, kuliner memek juga kerap jadi cemilan nelayan untuk mengganjal perut kala mengais rezeki di laut. Lambat laun, makanan ini mulai dikenal khalayak ramai dari luar pulau Simeulue. 

Hingga memek ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia pada 2019 lalu. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan tak hanya oleh masyarakat Simeulue, melainkan Aceh pada umumnya.

Kuliner memek berbahan dasar beras ketan putih, pisang kepok, dan santan kelapa.

Cara membuatnya, beras ketan putih terlebih dahulu digongseng hingga berbentuk kuning kecoklatan. Lalu pisang kepok ditambah taburan gula secukupnya, dihaluskan dalam wadah. Kemudian, kelapa yang telah diperas jadi santan, diguyur ke adonan pisang tersebut.

Bahan-bahan ini lalu dicampur dan ditumbuk menggunakan batang pisang atau benda keras lainnya sampai benar-benar halus.

Bendahara Dekranasda Simeulue, Agnes, mengatakan sajian memek bertekstur kasar dan lembut. Manis dan gurih jadi rasa paling dominan dalam kuliner khas daerah kepulauan di Aceh itu.

Menurutnya, selain daya pikat wisata bahari, wisatawan yang berkunjung ke Simeulue kini mulai tertarik dengan kuliner di sana. Salah satunya memek.

“Kuliner ini jadi incaran wisatawan. Mungkin karena namanya unik, jadi mereka penasaran,” demikian Agnes menjelaskan.