Bandarlampung (ANTARA) - Hari-hari ini, nyaris di semua level organisasi, pembicaraan terkait VUCA sudah tidak asing lagi. Istilah yang berasal dari bahasa Inggris ini merupakan singkatan dari Volatility, Uncertanty, Complexity, and Ambiguity. Dapat dimaknai bahwa VUCA merupakan kondisi yang merupakan gabungan dari terjadinya volatility (volatilitas), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas), dan ambiguity (ambiguitas) pada saat yang bersamaan.
Secara konsep, sesungguhnya istilah VUCA telah diperkenalkan sejak tahun 1987 saat Warren Bennis dan Burt Nanus menguraikan teori kepemimpinan pada Lembaga Pendidikan bagi tentara Amerika Serikat, dengan merujuk pada kondisi setelah era perang dingin. Konsep VUCA kemudian berkembang menyentuh bidang-bidang lain, ekonomi, bisnis, hingga sektor pelayanan publik.
Sektor publik menjadi salah satu sektor yang harus menyiapkan diri dengan perubahan yang sangat cepat terutama pada masa pandemi Covid-19 yang merubah berbagai macam kebiasaan termasuk pelayanan pada sektor publik, dimana masyarakat mengharapkan pelayanan yang tetap seperti masa normal namun pertemuan fisik sangat dibatasi, sehingga memerlukan solusi pelayanan yang menjembatani hal tersebut dengan banyak pemanfaatan teknologi. Sebelum membahas lebih lanjut terkait pelayanan publik, perlu dipahami terlebih dahulu definisi dari pelayanan publik itu sendiri dari ahli dan peraturan perundangan.
Menurut AG. Subarsono (Agus Dwiyanto,2005: 141) pelayanan publik didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Sedangkan menurut Joko Widodo (2001:131), pelayanan publik dapat dimaknai sebagai pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pelayanan publik pada era VUCA ini haruslah diarahkan dan dikondisikan dapat menjawab tuntutan dari seluruh pemangku kepentingan.
Secara ringkas, VUCA dijelaskan sebagai berikut : (1) Volatilitas (volatility) dapat digambarkan bahwa saat ini kita hidup di dunia yang cepat sekali berubah, baik perubahan besar maupun kecil dan keadaan menjadi lebih tidak stabil setiap hari sehingga menjadi sangat tidak mudah untuk menentukan sebab akibat dari perubahan-perubahan tersebut; (2) Ketidakpastian (uncertainty) mengandung makna bahwa saat ini menjadi lebih sulit bagi kita untuk mengantisipasi peristiwa atau memprediksi bagaimana peristiwa itu akan terungkap, prakiraan sejarah dan pengalaman masa lalu kehilangan relevansinya dan jarang berlaku sebagai dasar untuk memprediksi apa yang terjadi pada masa datang; (3) Kompleksitas (complexity) adalah dunia dimana masalah dan dampak menjadi lebih berlapis-lapis, lebih sulit dipahami. Lapisan yang berbeda berbaur, sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan gambaran umum tentang bagaimana hal-hal tersebut saling terkait. Keputusan direduksi menjadi jaring reaksi dan reaksi balik yang kusut dan kemudian, memilih satu jalur yang benar hampir tidak mungkin.
Terakhir, (4) Ambiguitas (Ambiguity) merujuk pada kondisi di mana "Satu ukuran cocok untuk semua" dan "praktik terbaik" yang telah diturunkan pada waktu sebelumnya – saat ini jarang sekali ada hal-hal yang benar-benar jelas atau dapat ditentukan dengan tepat. Tidak semuanya hitam dan putih, abu-abu, atau biru, coklat dan “warna” lain juga merupakan pilihan.
Sebagai sebuah keniscayaan, organisasi sektor publik juga dihadapkan pada era VUCA, dengan pilihannya adalah terus maju merujuk pada konsep SWOT Analisys menjadikannya sebagai tantangan dan peluang agar terus lebih baik. Organisasi sektor publik dituntut untuk semakin lincah, tidak hanya dalam merespon kondisi, tetapi juga melakukan antisipasi kondisi yang sangat dinamis tersebut. Salah satu faktor penting bagi kesiapan dan kesigapan organisasi sektor publik dalam situasi tersebut adalah kepemimpinan.
Kepemimpinan pada organisasi sektor publik menciptakan koalisi antara faktor eksternal dan internal agar mendapatkan dukungan atas tindakan organisasi. Tindakan kepemimpinan organisasi harus mendukung kepentingan publik. Dengan kepemilikan sumber daya yang terbatas dan keharusan mengikuti proses dan prosedur organisasi serta ketentuan regulasi dalam mengembangkan strategi maka tantangan kepemimpinan organisasi publik benar-benar tidak ringan. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sosok pemimpin seperti apa yang akan mampu membawa gerbong pelayanan sektor publik di era VUCA ini.
Kepemimpinan sangat menarik untuk dibincangkan sebagai bagian dari faktor penentu keberhasilan kinerja organisasi. Pada sebuah penelitian menjelaskan kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai, yang dibuktikan dengan hasil penelitian menunjukkan persentase sebesar 66,7 persen dan sisanya sebesar 33,3 persen dipengaruhi oleh faktor lain di luar variabel yang diteliti, misalnya disiplin kerja, penghargaan, motivasi, kompensasi dan lain-lain. Pemimpin memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan sistem kerja yang bersifat membangun dalam arti mampu memberikan contoh berperilaku dalam organisasi.
Tidak bisa dihindari, dalam situasi dan lingkungan yang penuh persaingan yang semakin hari semakin ketat ada satu resep yang dapat menjadi acuan untuk memenangkan kompetisi, yaitu "perubahan" atau kemampuan untuk "berubah". Yang dibutuhkan seorang pemimpin untuk membuat sebuah perubahan, bahkan perubahan yang menyeluruh adalah memiliki visi sekaligus aksi untuk mewujudkan visi itu. Harkat seorang pemimpin terletak pada satunya kata dengan perbuatan.
Kepemimpinan transformasional sektor publik sangat dibutuhkan di Indonesia pada saat ini. Keteladanan dan keberhasilan beberapa pemimpin transformasional yang telah ada menjadi panutan bagi pemimpin dan masyarakat. Keberanian dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan masyarakat banyak dan kemampuan merubah mind set masyarakat yang dipimpinnya sehingga mendukung kebijakannya mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Kemampuannya pemimpin transformasional dalam mentransformasikan ide dan gagasan untuk kemajuan dan pelayanan masyarakat yang dipimpin menunjukkan keberhasilan yang signifikan.
Kepemimpinan transformasional adalah bentuk kepemimpinan yang dimana leader mengubah suatu tim, organisasi, dengan menciptakan, mengkomunikasikan, dan memodelkan visinya demi mencapai goals dan menginspirasi anggota maupun pegawai untuk meraih goals tersebut. Kepemimpinan transformasional yang dianggap sebagai kepemimpinan modern, karena memainkan peran penting untuk peningkatan organisasi.
Kepemimpinan transformasional merupakan proses di mana orang terlibat dengan orang lain, dan menciptakan hubungan yang menciptakan motivasi dan moralitas dalam diri pemimpin dan pengikut. Kepemimpinan transformasional prinsipnya berusaha memotivasi untuk berbuat lebih baik dari apa yang biasa dilakukan, dengan kata lain meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Bass dan Avolio menyebutkan empat dimensi kepemimpinan transformasional yaitu pengaruh ideal (idealized influence) dimana seorang pemimpin harus menjadi suri tauladan bagi para pengikutnya, motivasi inspirasional (inspirational motivation) di mana pemimpin harus mampu bertindak sebagai pencipta semangat kelompok atau tim dalam organisasi, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) dimana seorang pemimpin harus mampu berperan sebagai penumbuhkembang ide-ide yang kreatif sehingga dapat melahirkan inovasi, maupun sebagai pemecah masalah (problem solver) yang kreatif sehingga dapat melahirkan solusi terhadap berbagai permasalahan yang muncul dalam organisasi, dan konsiderasi individu (individualized consideration) Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan berhubungan dengan bawahan (human skill), mau mendengarkan, memperhatikan aspirasi dari bawah terutama kaitannya dengan pengembangan karier bawahan.
Dari gaya kepemimpinan transformasional di atas sangat diharapkan membawa organisasi bergerak bersama dengan visi dan semangat yang saling peduli untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang merupakan tuntutan dan harapan dari masyarakat berupa pelayanan publik yang efektif, efisien dan mempunyai kepastian yang akan mempermudah seluruh permasalahan di lapangan. Permasalahan akan selalu ada dan berubah-ubah secara cepat di era VUCA ini sehinga kekompakan tim yang dibawa oleh seorang pemimpin dengan gaya yang tepat akan mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan memenuhi harapan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik.
Dengan perubahan yang sangat cepat pada era VUCA ini dimana tuntutan pelayanan publik tetap tinggi dengan harapan yang selalu meningkat dan berubah-ubah menyesuaikan dengan keadaan maka dibutuhkan tim yang siap melayani perubahan tersebut dengan cepat dan tepat.
Perubahan yang dilakukan ini tentunya dimotori oleh seorang pemimpin yang mampu memberi visi yang sama, semangat yang sama dan memberi kesempatan kepada anggota tim untuk menyumbang kemampuan dan merasa dianggap ada dan dihargai sehingga bersemangat untuk bersama-sama menjadi solusi atas segala peramasalahan dan tuntutan organisasi.
Pemimpin yang mampu bertransformasi dengan baik akan menjadi penentu keberhasilan sebuah perubahan yang pasti terjadi. Kepemimpinan transformasional menjadi gaya kepemimpinan yang mampu untuk menjawab tuntutan pelayanan publik yang semakin cepat berubah dan tidak pasti di era VUCA ini.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam gaya kepemimpinan transformasional ini merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai kepemimpinan Pancasila terutama nilai-nilai humanis dimana semua anggota dianggap sama dan ada serta dihargai sebagai bagian penentu keberhasilan organisasi sehingga semua mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan ini merupakan kebutuhan tertinggi dalam Piramida Maslow.
Dari uraian di atas juga dapat kita tarik kesimpulan bahwa pada kondisi era VUCA dan masih terkena dampak pandemi Covid-19 sebagaimana kita alami saat ini, maka organisasi sektor publik harus mampu secara dinamis mengikuti dan melayani perubahan. Implementasi kepemimpinan transformasional merupakan salah satu ‘obat mujarab’ pada situasi ini.
Tidak boleh dilupakan bahwa implementasi kepemimpinan, apa pun bentuknya, tidaklah dapat dilepaskan dari aspek ruang dan waktu. Untuk negeri kita tercinta Indonesia, maka kepemimpinan transformasional dalam praktik sudah selayaknya mendasarkan dan ditujukan serta sejalan dengan dasar dan falsafah bangsa dan negara, yakni Pancasila. Dengan demikian kondisi VUCA, atau kondisi apa pun jika nanti terjadi pasca era VUCA, dapat senantiasa kita hadapi, sebagaimana para leluhur jika menegakkan Nusantara tercinta yang kita warisi hingga saat ini. Salam Indonesia Jaya!*
(Ditulis oleh Kelompok 1 Diklat PKA Angkatan III Tahun 2022 Lembaga Administrasi Negara RI)