Normal baru, solusi paling rasional dalam menghadapi pandemi COVID-19 saat ini

id Presiden jokowi, normal baru

Normal baru, solusi paling rasional dalam menghadapi pandemi COVID-19 saat ini

Siswa membuat pelindung wajah dengan dibantu guru di halaman SMP Negeri 13 Solo, Jawa Tengah, Jumat (12/6/2020). Menjaga kebersihan tubuh dan mengantisipasi kemungkinan penularan menjadi bagian dari pola hidup normal baru di tengah pandemi virus Corona. ANTARA FOTO/Maulana Surya

Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo telah memutuskan sebuah solusi dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan menerapkan suatu tatanan kehidupan normal baru.

Tatanan kehidupan dalam sebuah fase normal baru artinya kehidupan masyarakat dapat berjalan sebagaimana biasanya namun dengan mematuhi dan menjalankan standar protokol kesehatan agar tetap terhindar dari Covid-19.

Protokol kesehatan yang dimaksud secara garis besar mencakup empat hal yaitu, mengenakan masker setiap saat khususnya di ruang-ruang publik, senantiasa mencuci tangan memakai sabun di air mengalir atau menjaga kebersihan tubuh, menjaga jarak fisik antar manusia, dan tidak bersalaman serta menghindari kerumunan yang terlampau padat.

Melalui solusi ini, pemerintah berharap masyarakat dapat kembali beraktivitas namun tetap aman dari Covid-19.

Pemerintah pun telah menetapkan empat provinsi dan 25 kabupaten/kota serta sejumlah sektor ekonomi yang relatif aman dari Covid-19 untuk memulai fase normal baru, namun hingga kini belum jelas betul kapan normal baru itu akan benar-benar diberlakukan.

Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, pada pekan ini sempat menyatakan bahwa normal baru belum diterapkan. Yang terjadi saat ini, menurut dia, sebuah persiapan menuju fase tersebut.

Ia menyampaikan pemberlakuan normal baru tinggal menunggu arahan dari presiden.

Meskipun demikian, sejumlah aktivitas perkantoran di Jakarta sudah mulai hidup kembali dengan menerapkan standar protokol kesehatan yang ketat sesuai dengan prasyarat normal baru itu.

Jokowi juga sudah mulai kembali menggelar rapat terbatas secara tatap muka di Istana Presiden, baik di Jakarta maupun Bogor, Jawa Barat.

Dalam arahannya ketika meninjau Kantor Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 di Jakarta, beberapa waktu lalu, dia juga meminta kepada setiap daerah yang ingin menerapkan normal baru agar berkonsultasi dan berkoordinasi dengan gugus tugas itu.

Lantas siapa sebetulnya yang akan menekan "tombol" pemberlakuan normal baru tersebut? Dan kapan fase itu secara resmi diberlakukan? Atau akan kah pemberlakuannya dibiarkan mengalir sedemikian rupa? Hal-hal semacam ini penting untuk dikomunikasikan pemerintah kepada publik dengan satu suara yang sama.

Adapun dalam menyongsong fase normal baru, ada sejumlah hal yang harus disiapkan pemerintah, guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya skenario terburuk seperti bertambahnya jumlah pasien positif Covid-19.

Persiapan yang dilakukan pemerintah, layaknya pernah disampaikan sang juru bicara presiden, misalnya kuantitas tenaga medis yang memadai, jumlah rumah sakit yang cukup, ketersediaan alat kesehatan memadai hingga memastikan kesadaran publik dalam mematuhi protokol kesehatan.

Suka atau tidak, normal baru agaknya merupakan jalan tengah terbaik yang dapat ditempuh saat ini, selama vaksin Covid-19 belum berhasil ditemukan. Dengan demikian aktivitas publik tetap berjalan, dengan potensi penyebaran virus yang diminimalkan.

Secara rasional, pemerintah tidak mungkin membuka begitu saja aktivitas publik tanpa memberlakukan protokol kesehatan yang ketat, karena hal itu dapat membahayakan keselamatan publik.

Di sisi lain, pemerintah tidak mungkin selamanya mengimbau publik beraktivitas dari rumah tanpa memberikan jaminan keberlangsungan hidup rakyat dan memastikan tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

Di atas kertas, secara teori, persyaratan, tata cara pemberlakuan normal baru sudah sedemikian jelas disampaikan. Tetapi pemerintah tentu perlu memandang aspek pemberlakuannya di lapangan.

Tidak dapat dipungkiri masih ada segelintir masyarakat yang belum memahami pentingnya protokol kesehatan itu.

Pada bagian lain, pemberlakuannya di sektor tertentu juga masih menimbulkan kegamangan. Dalam sektor pendidikan misalnya, publik mungkin masih mengkhawatirkan anak-anaknya kembali bersekolah seperti biasa sekalipun dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, terutama bagi mereka yang anaknya masih berada pada pendidikan anak usia dini (PAUD), dan taman kanak-kanak.

Gotong-royong
Diperlukan suatu kegotong-royongan dari seluruh elemen di Tanah Air agar fase normal baru bisa diterapkan.

Baik pemerintah, masyarakat, kalangan swasta, tokoh agama, tokoh politik, akademisi, TNI/Polri harus bersatu padu, secara konsisten menerapkan dan menegakkan protokol kesehatan yang menjadi prasyarat normal baru ini.

Fase baru ini sejatinya hanya menyoal kebiasaan manusia dalam beraktivitas sehari-hari saja.

Buktinya normal baru sudah pernah kita jalani jauh pada tahun-tahun sebelumnya, tepatnya 2001 silam. Kala itu kita dihadapkan pada suatu kebiasaan baru atas kewajiban melepaskan segala sesuatu berbahan metal kala memasuki ruang tunggu bandara, kemudian pemakai jasa penerbangan dilarang membawa substansi cairan ke dalam kabin pesawat terbang. 

Muncul pula berbagai penolakan kala itu, namun atas konsistensi dan ketegasan petugas, semua hal itu menjadi suatu standar keamanan yang dapat dipahami, dan kini justru berbalik menjadi sesuatu yang tidak normal apabila tidak dilakoni.

Pada bagian lain, sambil menerapkan normal baru sebagai suatu jalan tengah paling rasional saat ini, negara juga harus memastikan rakyat terlindungi dari kemungkinan munculnya oknum-oknum "penunggang" pandemi.

"Penunggang" pandemi maksudnya, mereka-mereka yang mungkin berupaya mengambil keuntungan demi kepentingan pribadi/kelompoknya dengan mengorbankan rakyat.

Sebab, terlepas dari kesepakatan kita dan dunia bahwa pandemi Covid-19 ini berbahaya, tetap tidak menutup kemungkinan ada gerakan-gerakan tertentu, baik dari dalam dan luar negeri, yang mungkin tengah berupaya mengambil keuntungan dari pandemi ini, apapun bentuknya.

Dari kaca mata politik Tanah Air, hal ini sangat beralasan, sebab Pemilu di Indonesia akan berlangsung empat tahun lagi. Masa empat tahun bukan lah waktu yang panjang untuk menabung citra politik dan memupuk persepsi publik.

Di level global, patut juga dicemati Pemilu Amerika Serikat yang dijadwalkan akan digelar November tahun ini. 

Dengan berbagai kejadian unjuk rasa menentang rasisme belakangan ini, yang kerap menjadi isu paling diminati warga barat, agaknya kewaspadaan kita atas kemungkinan adanya pihak asing "penunggang" pandemi, wajar adanya.

Pada akhirnya, sebagaimana yang selama ini diutarakan pemerintah, yang dapat dilakukan saat ini adalah menerapkan normal baru agar masyarakat tetap produktif dan aman dari Covid-19, membantu sektor-sektor yang terimbas atas penerapan normal baru, dan melindungi rakyat atas kemungkinan adanya "penunggang" pandemi.