Detak Jantung Tak Teratur Picu Stroke

id stroke

Detak Jantung Tak Teratur Picu Stroke

Merokok adalah faktor risiko penyebab stroke (Ilustrasi )

Setiap orang harus waspada jika denyut jantung sering tidak teratur atau bahkan ada denyut yang hilang, karena ternyata bisa saja hal itu merupakan gangguan irama jantung yang berpotensi untuk memicu serangan stroke.

Dalam sebuah paparan tentang bahaya gangguan irama jantung yang dapat diderita oleh siapapun itu , Kepala Divisi Aritmia di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dr. Yoga Yuniardi, SpJP(K) mengatakan kejadian stroke yang sering tidak diketahui penyebabnya bisa disebabkan oleh fibrilasi atrium (salah satu jenis gangguan irama jantung) yang tidak terdeteksi sebelumnya.

"Secara teknis stroke disebabkan oleh kurangnya aliran darah ke otak, sehingga fungsi otak bisa hilang sebagian atau seluruhnya secara cepat," kata Yoga dalam sebuah seminar di Jakarta.

Hal itu dimungkinkan karena pada jenis stroke iskemik (non-hemoragik), bekuan darah yang terbentuk pada pembuluh darah (trombosis) atau pada tempat lain dan mengikuti aliran darah (emboli) yang juga menyuplai darah ke jaringan otak.

"Berbeda dengan penderita stroke hemoragik, yang disebabkan oleh robeknya dinding pembuluh darah = perdarahan di otak atau pada permukaan otak, kasus ini hanya diderita oleh sekitar 15 - 20 persen penderita," kata Yoga.

Saat ini ada sekitar 10-15 juta penderita gangguan irama jantung (fibrilasi atrium) yang seluruhnya berpotensi terkena stroke dengan resiko yang terus meningkat seiring bertambahnya usia, katanya.

Menurut Riset Kesehatan Dasar Kemenkes 2007, stroke sendiri merupakan penyebab kematian terbesar penduduk Indonesia berusia lebih dari 5 tahun, yaitu 15,4 persen dari jumlah kematian penduduk Indonesia dengan rata-rata kejadian stroke di 33 propinsi di Indonesia sebesar 0,8 persen dengan kisaran 1,66 persen di Aceh dan 0,38 persen di Papua.

"Pembekuan dan penggumpalan darah (tromboemboli) adalah persoalan paling besar bagi pasien dengan fibrilasi atrium (FA) karena mereka berpotensi lima kali lebih besar terkena stroke, belum termasuk berbagai pemicu stroke lain seperti diabetes atau hipertensi," kata Yoga.

Selain itu, ia juga memaparkan bahwa penderita stroke dengan FA berpotensi mengalami dampak yang lebih parah dengan rekurensi dan resiko kematian yang juga lebih tinggi.

"Pengulangan serangan (rekurensi) pada penderita FA adalah 6,9 persen sementara pasien tanpa FA hanya 4,7 persen, memang dari angka tidak terlalu signifikan tetapi serangan stroke juga dipicu oleh berbagai faktor lain, bukan hanya FA saja," katanya.

Beberapa faktor resiko pada penderita FA di antaranya adalah pasien lebih tua dari 60 tahun, penderita diabetes, memiliki tekanan darah yang tinggi, mempunyai penyakit jantung koroner atau pernah mengalami serangan jantung.

Sementara penderita gagal jantung, kelainan jantung bawaan, dan penyakit jantung struktural yang pernah mengalami operasi jantung terbuka juga memiliki resiko yang lebih tinggi terkena FA.

"Hal itu juga berlaku pada penderita tiroid, penyakit paru menahun, kelainan tidur yang menyebabkan lupa bernafas (sleep apnea), serta orang yang mengkonsumsi alkohol atau kopi secara berlebihan," katanya.

Menurut Yoga, FA sebenarnya tidak secara langsung berhubungan dengan gaya hidup penderita, tetapi beberapa faktor resiko lain seperti hipertensi dan diabetes tentunya dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola makan si penderita.

Penelitian juga menunjukkan bahwa penderita FA lebih banyak daripada penderita gagal jantung atau kanker payudara.

"Penderita fibrilasi atrium memiliki tingkat perbandingan satu banding empat pada pria dan wanita serta gagal jantung satu banding lima. Sementara itu kanker payudara sendiri memiliki rasio satu banding delapan pada wanita," katanya.


Deteksi Gejala

Yoga mengatakan, untuk mengurangi angka kematian akibat serangan stroke yang disebabkan Fibrilasi Atrium itu, ada baiknya kita melakukan deteksi dini dan meningkatkan kesadaran terhadap gejala FA yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat awam.

Gejala yang muncul pada penderita fibrilasi atrium itu, kata Yoga, di antaranya adalah sering kelelahan atau tidak ada energi ketika melakukan aktifitas ringan, denyut lebih cepat dari biasanya atau sering berubah antara cepat dan pelan, sesak nafas atau nafas yang pendek, dan jantung berdebar.

"Orang yang menderita FA juga akan lebih sulit beraktifitas atau berolahraga karena sering merasa pusing atau melayang, di samping adanya peningkatan aktifitas buang air kecil," kata Yoga.

Menurut dia cara yang paling mudah untuk mendeteksi gejala tersebut adalah dengan raba denyut nadi baik secara manual maupun dengan tensimeter.

"Hal yang paling sering ditemui dari penderita FA adalah hilangnya denyut jantung selama beberapa saat atau bisa juga detak jantung yang cepat berubah dari pelan atau cepat," kata Yoga.

"Ada juga kasus pasien yang detak jantungnya tidak terdeteksi oleh tensimeter digital karena ada denyut yang hilang itu," katanya.

Jika penderita kemudian mencurigai bahwa dirinya menderita FA, maka disarankan untuk segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit atau dokter spesialis dengan rujukan hasil EKG yang sudah dilakukan.

"Lebih awal pasien diketahui mengidap FA, maka lebih cepat langkah preventif yang dapat dilakukan untuk mengobatinya," katanya.


Proses pencegahan tersebut, kata Yoga, bisa dilakukan dengan terapi antikoagulan (pengencer darah) dan kontrol laju jantung, sementara menghilangkan gejala dapat diupayakan melalui kontrol irama jantung yang akan mengonversi laju jantung ke irama sinus.


"Pemberian obat antikoagulan seperti warfarin saja dapat mengurangi resiko serangan stroke hingga 50 persen, karenanya diperlukan langkah yang cepat dan tepat untuk mengurangi angka kematian akibat stroke ini," tegasnya.