Tenun Ulos Mendekati Kepunahan

id ulos

Tenun Ulos Mendekati Kepunahan

Ulos Batak (istimewa)

Siapa tak kenal Ulos ? Salah satu kain khas Indonesia yang dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera Utara yang dibuat dengan menggunakan alat tenun bukan mesin.
         
Ulos begitu memikat, dengan berbagai warna alam yang didominasi hitam, merah, biru atau putih serta dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak.
         
Bukan hanya digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, Ulos pada perkembangannya banyak dijumpai dalam berbagai produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, dasi, dompet hingga gorden.
         
Selama berabad-abad perempuan Batak menenun tekstil dengan alat tenun tradisional, dedikasi mereka telah menghasilkan perbendaharaan seni yang estetis dan secara teknis beragam.
         
Tekstil tersebut banyak mengungkap sejarah bangsa Sumatera Utara dimana hidup prakolonial Batak sarat dengan sihir dan kegaiban.
         
Salah satu legenda Batak, bercerita tentang penenun pertama bernama Si Boru Deak Parujar, yang dipercaya masyarakat sebagai dewi yang turun dari langit karena meloloskan diri dari pernikahan yang tidak diinginkan.
         
Dewi tersebut meluncur melalui benang yang baru dipintalnya ke lautan di bumi.
         
Penelitian beberapa pakar menunjukkan bahwa tradisi tekstil Batak berkembang dari pengetahuan tenun paling tua di kepulauan Indonesia.

    

Hampir punah
    
Meski demikian, seorang ahli antropologi dari Belanda yang sudah melakukan riset di Sumatera Utara selama 30 tahun,  Sandra Niessen mengatakan bahwa pada saat ini tradisi tenun Ulos Batak sudah hampir punah karena minimnya jumlah penenun.
         
Dia menjelaskan, jumlah penenun yang masih aktif jumlahnya sangat sedikit dan sebagian besar dari mereka adalah orang yang sudah lanjut usia.
         
"Kenyataannya mereka adalah yang terakhir, tak ada generasi muda yang menenun, jika pun ada jumlahnya sangat sedikit sekali," katanya.
         
Menurut Sandra, banyak penyebab jumlah penenun semakin merosot salah satunya adalah kesulitan ekonomi di kampung-kampung Batak telah membuat tradisi tenun semakin ditinggalkan.
         
"Apalagi anggapan yang sudah lama berkembang di daerah Batak bahwa menenun identik dengan kemiskinan, ini menyebabkan para ibu yang semula menenun akhirnya berhenti dan bahkan malu jika anaknya menjadi penenun seperti dirinya," katanya.
         
Mungkin anak-anaknya pun, tambah Sandra, sudah menganggap dunia tenun adalah sesuatu yang ketinggalan zaman. Meskipun kenyataannya bagi orang Batak, Ulos masih dibutuhkan dalam hidup mereka, ibarat marga yang masih tetap disandangnya sebagai tautan bahwa dirinya masih seorang Batak entah bagaimanapun agama dan kepercayaannya.
         
Memang masih ada beberapa penenun seperti hal nya di tengah Danau Toba di Pulau Samosir. Meskipun tiap harinya yang mereka tenun bukan lagi Ulos Batak Toba mereka sendiri tetapi menenun kain Karo pesanan dari orang-orang Batak Karo.
         
Selain itu, tenunan tradisional pada saat ini sudah mulai tergeser oleh keberadaan tenun mesin baik yang semi mesin maupun tenun seratus persen mesin.
         
Hasil tenun macam itulah yang pada akhirnya menguasai pasar Ulos dengan harga bisa relatif lebih rendah, karenanya jika pun masih ada penenun maka dirinya harus berusaha agar bisa terus bertahan hidup di tengah situasi seperti itu.

    
Tidak peduli lagi
    
Akibatnya, Ulos yang diciptakan secara manual dengan tangan para penenun, harus bisa bersaing dengan produk masal menggunakan tenun mesin yang ada di pasaran.
         
"Pada gilirannya mereka yang masih menenun tidak peduli lagi dengan kehalusan tenunan, dengan tujuan agar cepat jadi dan dipasarkan. Akibatnya corak-corak kain lama pun akhirnya semakin menghilang dari tanahnya sendiri," katanya.
         
Menurut Sandra,  berbagai permasalahan terkait Ulos yang terjadi pada saat ini adalah makin rendahnya kebanggaan kepada tekstil tradisional.
         
Selain itu, kekayaan motif, nilai-nilai dan kualitas teknik tenun di masa lalu yang sangat tinggi tidak tercermin dari tenunan di masa sekarang.
         
"Sangat rendahnya partisipasi generasi muda melestarikan tradisi tenun Ulos di tanah Batak juga menjadi permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya," katanya.
         
Pada saat ini, tambah Sandra,  pewarnaan benang bahan Ulos warna kimia sudah menggeser tradisi warna alam sehingga Ulos bisa menjadi barang kerajinan biasa, bukan sebagai hasil karya manusia yang mengandung makna dan filosofi tradisi.
         
"Selain itu hasil karya penenun yang tidak dihargai secara layak juga bisa menjadi permasalahan padahal penenun yang umumnya adalah perempuan tersebut sangat berjasa dalam melestaikan salah satu kekayaan warisan Nusantara," katanya.
         
Pada saat ini, Sandra bersama dengan tim nya yakni Restuala Pakpahan dan MJA Nashir tengah berupaya untuk melestarikan Ulos melalui program revitalisasi.
         
Untuk meloloskan niatnya dia dan timnya mendatangi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar sebagai wakil dari pemerintah.
          
"Saya rasa tepat bila saya menyampaikan presentasi mengenai revitalisasi tenun Ulos Batak kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar karena ini menyangkut juga pemberdayaan perempuan dimana para penenun hampir seluruhnya adalah wanita," katanya.
         
Dia menjelaskan, revitalisasi bisa dilakukan dengan cara menumbuhkan kebanggaan atas budaya dan ketrampilan Batak serta pengakuan atas ketrampilan dan kapasitas seni.
         
Selain itu, rasa hormat kepada para pengrajin dan kecukupan biaya hidup serta akses ke pengetahuan tentang tradisi tenun dan pasarnya.
         
Ditambah lagi edukasi tentang budaya agar pemuda bersemangat untuk meneruskannya dan adanya kegiatan terintegrasi untuk mendukung revitalisasi kain dari pemangku kepentingan lain.
    
    
Pemerintah Mendukung
   
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan kementeriannya akan ikut mendukung gerakan untuk merevitalisasi kain tenun Ulos.
         
"Kementerian kami mendukung peran perempuan dalam melestarikan kain Ulos dengan cara tradisional yang menggunakan pewarnaan alam," katanya.
         
Menurut Menteri, melestarikan Ulos sesuai dengan program pemerintah terkait pendidikan karakter bangsa.
         
"Saya pikir, melestarikan Ulos dengan cara menyosialisasikannya kepada para generasi muda sesuai dengan program pendidikan karakter bangsa," katanya.
         
Menteri juga menjelaskan, dukungan dari kementeriannya adalah dengan memfasilitasi pembahasan berbagai permasalahan terkait Ulos dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
         
"Saya akan mengajak para pakar di bidang tenun, dan lain sebagainya untuk membahas kira-kira langkah apa yang tepat yang bisa dilakukan," katanya.
         
Dia juga menambahkan, peran dunia swasta dan masyarakat Indonesia lainnya sangat dibutuhkan dalam melestarikan tradisi dan warisan nusantara karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri.
         
"Selain itu, pelestarian ini juga bisa didorong melalui forum-forum anak yang dibentuk di berbagai daerah di Indonesia, karena para generasi muda lah yang pada akhirnya bisa meneruskan warisan budaya bangsa," katanya