Menelisik fenomena "remaja jompo" masyarakat kosmopolitan

id gaya hidup,anak muda,minuman berpemanis,kesehatan,pola konsumsi Oleh Ema Faiza

Menelisik fenomena "remaja jompo" masyarakat kosmopolitan

Sejumlah peserta jalan sehat ASEAN Car Fre Day membawa papan pesan di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (14/9/2025). Acara yang diselenggarakan oleh Kemenkes dan Sekretariat ASEAN tersebut bertujuan mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya gaya hidup aktif guna mencegah penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung, kanker, stroke, dan ginjal. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

Mari membangun kesadaran bersama bahwa fenomena “remaja jompo” adalah panggilan untuk memecahkan normalisasi risiko yang ada dalam masyarakat kita.

Bandarlampung (ANTARA) - Disadari atau tidak, kita sedang disodori paradoks yang tampak sepele pada permukaan, seperti kebahagiaan instan dari secangkir kopi susu berpemanis dan sepotong roti gulung yang bisa kita nikmati di kafe dengan ambiance yang menenangkan, atau layanan yang mengirimkan burger hangat dalam beberapa menit ke depan pintu rumah kita.

Namun, di balik rasa manis dan nikmat itu, ada kisah tubuh yang secara bertahap menyebabkan luka: gula darah meningkat, tekanan darah yang tidak lagi sehat, dan penurunan stamina yang cepat.

"Kaum muda yang "terasa tua sebelum waktunya" adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan remaja jompo. Kesadaran menggugah kita bahwa ini bukan sekadar gosip di media sosial; ini adalah indikasi ancaman sosial yang harus diperhatikan dengan hati-hati.

Dalam pandangan fenomenologi, tubuh adalah sumber pengalaman, bukan objek pasif yang hanya dapat diukur dengan angka laboratorium. Ketika kaum muda mengeluh tentang kelelahan, sakit, atau "tidak seenergik dulu", mereka berbicara tentang pengalaman hidup tentang bagaimana gaya hidup modern mengubah hubungan dengan tubuh.

Fenomenologi tidak hanya membaca statistik, tetapi mendengarkan apa yang dirasakan orang, bagaimana rasa itu memengaruhi kehidupan sehari-hari, dan bagaimana pengalaman tersebut dibagi ke masyarakat umum dan menjadi narasi kolektif dan kesadaran generasi.

Tidak muncul secara kebetulan, pengalaman tumbuh dalam lingkungan yang kosmopolitan, termasuk kota-kota besar, arus barang dan gaya hidup yang tersebar di seluruh dunia, pemasaran industri pangan yang agresif, dan normalisasi makanan instan.

Selain membuka diri terhadap berbagai budaya, kosmopolitanisme modern juga memaksa kita untuk mengikuti standar konsumsi yang sama: makanan cepat saji dan minuman manis yang sama dijual di New York, Bangkok, atau Jakarta (bahkan beberapa jenama makanan dan minuman cepat saji juga telah tersebar secara global dan menjadi bagian dari gaya hidup).

Makanan cepat, mudah, dan enak telah menjadi simbol modernitas. Masalah mulai muncul karena simbol ini datang bersama dengan risiko kesehatan yang tersebar secara sistemik daripada pilihan pribadi.

Kekhawatiran ini diperkuat oleh data termutakhir dari berbagai sumber. Sebuah survei kesehatan nasional menunjukkan bahwa hipertensi sekarang tidak lagi hanya masalah orang tua. Orang-orang berusia 18 hingga 24 tahun juga mengalaminya.

Perubahan dalam pola konsumsi makanan dan gaya hidup yang tidak aktif juga tampaknya terkait dengan peningkatan kasus diabetes dan obesitas pada usia produktif. Angka statistik ini juga menggambarkan keluhan subjektif yang menjadi masalah publik. Ini bukan hanya masalah kesehatan pribadi, tetapi juga beban kesehatan yang meningkat di masyarakat.

Gambaran situasi ini berubah tragis karena keterlambatan gejala. Meskipun rasa manis di lidah memberi kepuasan instan, kerusakan metabolik sering kali memerlukan bertahun-tahun untuk "bersuara".

Banyak intervensi skala besar dan kompleks diperlukan ketika tubuh memberi tahu kita bahwa ada masalah, seperti tinggi gula darah, tekanan darah tinggi, atau kolesterol tinggi. Generasi muda, di sisi lain, kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih produktif, masa depan kesehatan yang lebih baik, dan kualitas hidup.


Solusi

Jangan khawatir tanpa alasan karena jalan keluar selalu tersedia. Solusi yang efektif dapat ditempuh melalui dua tingkat analisis. Pertama, perhatikan pengalaman subjektif. Program kesehatan publik harus mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan kaum muda, seperti alasan mengapa mereka memilih makanan tertentu, bagaimana tekanan waktu dan ekonomi memengaruhi pilihan mereka, dan bagaimana kenangan dan rasa terkait makanan membentuk kebiasaan.

Pendidikan kesehatan yang hanya menunjukkan jumlah kalori tanpa mengaitkannya dengan kehidupan nyata seseorang cenderung tidak berhasil. Dengan kata lain, faktor pemicu permasalahan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari faktor sosial yang melatari sebab mengapa kaum muda memilih (atau terpaksa?) berperilaku tidak sehat.

Sedangkan pada lapis kedua, perlu adanya perubahan struktural. Bagi mengubah lingkungan makanan, perlu dilakukan perubahan kecil. Ini dapat mencakup peraturan iklan yang ditujukan kepada generasi muda, pelabelan nutrisi yang mudah dipahami, kebijakan fiskal yang mengatur minuman berpemanis, dan insentif yang mendorong orang lebih mudah mendapatkan makanan segar.

Urbanisme juga berperan: ruang publik yang mendorong aktivitas fisik, ketersediaan fasilitas olahraga, dan kemampuan untuk mengakses pasar tradisional dapat menghentikan rantai kenyamanan instan yang selama ini merugikan kesehatan.

Tidak kalah penting dari aspek yang telah disebutkan sebelumnya, budaya juga memiliki aspek penting lain. Rekonstruksi budaya makan, yaitu mengembalikan makan sebagai ritual, momen bersama, dan praktik yang menghargai kualitas dan keseimbangan, dapat menjadi tameng terhadap prinsip konsumsi global.

Faktor-faktor yang dapat membantu mengubah kecenderungan makan orang, termasuk instruksi makanan sederhana di institusi pendidikan dan kampus, kampanye media yang mengintegrasikan cerita tentang gaya hidup sehat ke dalam gaya hidup kontemporer, dan promosi makanan lokal yang sehat.

Selain itu, kita harus menyadari bahwa individu tidak dapat dikatakan harus bertanggung jawab sepenuhnya. Banyak kaum muda yang bekerja keras, menghadapi tekanan waktu, dan tinggal di tempat di mana segalanya mudah dilakukan. Menyalahkan tanpa memperbaiki struktur yang memaksa mereka untuk membuat keputusan itu adalah naif.

Oleh karena itu, memberikan pilihan yang sehat, mudah, dan menarik adalah hasil dari intervensi kebijakan dan desain lingkungan. Dengan demikian, permasalahan menjadi tanggung jawab bersama alih-alih menimpakan kesalahan dan tanggung jawab hanya pada pelaku yang dalam hal ini kaum muda.

Mari membangun kesadaran bersama bahwa fenomena “remaja jompo” adalah panggilan untuk memecahkan normalisasi risiko yang ada dalam masyarakat kita. Tidak peduli seberapa manis rasanya di lidah, jika menyebabkan gula darah tinggi, kita tidak dapat berdiam diri apalagi menormalisasi hal ini.

Pendekatan holistik dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan ini dengan memperhatikan pengalaman tubuh kita. Penyusunan undang-undang perlindungan konsumen yang secara bijak mengatur keseimbangan antara kepentingan bisnis dan aspek kesehatan yang perlu diperhatikan.

Selain itu kampanye menciptakan kebiasaan makan yang mengutamakan kesehatan juga dapat ditempuh sebagai upaya menyelamatkan generasi penerus dari terjebak pada pola diet tidak sehat. Jika tidak, generasi yang seharusnya penuh dengan potensi akan membayar mahal untuk kesenangan sementara yang tampak aman.

Penulis adalah Mahasiswa S3 Ilmu Sosial FISIP UNAIR dan Dosen Bahasa dan Sastra Inggris FIB UNAIR


COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.