Mesuji, Lampung (ANTARA LAMPUNG) - Persatuan Petani Moromoro Way
Serdang (PPMWS) bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Ranting
Moromoro melaksanakan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10
Desember 2017 untuk menyuarakan dan memperjuangkan perbaikan nasib
rakyat dan bangsa Indonesia.
Dalam aksi di Tugu Tani, Simpang Asahan, Mesuji, Lampung, Minggu (10/12),
mereka menyuarakan perbaikan nasib terutama bagi kaum buruh dan kaum
tani di perdesaan yang masih hidup dalam kemiskinan, dibatasi hak-hak
politiknya, dan hidup dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang
buruk.
Aksi dimulai pukul 09.00 WIB di Tugu Tani, Simpang Asahan dengan
bentuk pawai simpatik, orasi ilmiah, dan mimbar bebas di sepanjang Jalan
Lintas Timur Sumatera menuju ke titik akhir di Simpang D.
Aksi itu diikuti oleh ribuan anggota PPMWS dan petani dari Register
45 dengan mendapat pengawalan dari pihak Kepolisian Resor Mesuji.
Dalam orasi politik, Koordinator Aksi Kadek Tike menyampaikan bahwa
kaum buruh dan kaum tani serta mayoritas rakyat menolak Reforma Agraria
(RA) dicanangkan pemerintah namun secara nyata tidak memberikan akses
tanah bagi rakyat, tetapi mempertahankan konsesi tanah yang luas bagi
perkebunan dan pertambangan besar.
Menurutnya, Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang
Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan Hutan serta Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan
Sosial merupakan skema baru bagi perampasan tanah petani dan suku bangsa
minoritas secara terselubung.
"Rakyat semakin kehilangan harapan memperbaiki keadaan hidupnya di
tengah kebijakan pemerintah yang tidak mampu mengendalikan kenaikan
harga kebutuhan pokok, kenaikan harga elpiji serta kenaikan tarif dasar
listrik," katanya lagi.
Dia menilai, penyelesaian konflik agraria lewat skema kemitraan
perhutanan sosial yang terus diusung oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Dinas Kehutanan
Kabupaten Mesuji tidak menyelesaikan konflik agraria secara nyata.
Kenyataannya seluruh kaum tani yang ada di Register 45 baik yang berasal
dari luar Mesuji maupun warga Mesuji sejatinya benar-benar membutuhkan
tanah untuk berproduksi dan hidup secara layak.
Negara semestinya berpihak kepada rakyat mayoritas yang membutuhkan
tanah sebagai akses hak untuk tinggal dan hidup sebagai manusia. Namun
menurutnya, yang terjadi justru sebaliknya pemerintah mendukung upaya
perusahaan yang dibantu oleh pihak kepolisian untuk merampas kembali
tanah yang sudah diduduki oleh masyarakat tersebut.
Sedangkan orasi politik anggota Dewan Pimpinan Pusat AGRA Sahrul
Sidin menyampaikan bahwa masyarakat secara umum menolak skema Kemitraan
Perhutanan Sosial sebagai bagian dari Implementasi Reforma Agraria yang
dicanangkan pemerintah.
"Menolak karena tidak ada posisi yang adil dari segi proses kerja
sama maupun pelaksanaan serta hasil produksi kemitraan," ujarnya pula.
Secara nyata, dia menyebutkan pendapatan petani kemitraan dari
sistem bagi hasil sangat tidak mencukupi dimana hasil singkong pada
tahun 2017 rata-rata petani hanya mendapatkan bagian Rp30.000 per ton,
sehingga per musim panen (9-11 bulan) petani hanya mendapatkan
penghasilan Rp150.000-Rp750.000 setelah dipotong modal.
Pendapatan tersebut, katanya lagi, sangat timpang dibanding
pendapatan petani singkong nonkemitraan yang mendapatkan penghasilan
Rp9.000.000-Rp12.000.000/ha selama 1 musim panen. Apalagi seluruh biaya
penanaman kemitraan yang dibiayai kemitraan ternyata dihitung sebagai
utang petani yang harus mereka bayar/cicil sebesar Rp7.742.500 per musim
tanam ditambah biaya provisi sumber daya hutan (PSDB) dan Pajak Bumi
Bangunan (PBB).
Dia menegaskan bahwa praktik di atas jelas menjelaskan bahwa
kemitraan tidak memberikan harapan hidup bagi petani yang menduduki
lahan, sehingga kaum tani akhirnya akan terjerat utang dan akan
menyerahkan atau meninggalkan tanah tersebut. "Inilah yang kami sebut
sebagai perampasan tanah secara terselubung oleh Reforma Agraria bagi
perkebunan besar khususnya PT Silva Inhutani di Mesuji," ujar dia lagi.
Karena itu, dalam momentum Hari HAM Sedunia ini, masyarakat
Moromoro dan masyarakat di Register 45 menuntut diberikan hak sebagai
warga negara Indonesia yaitu hak mendapatkan identitas kependudukan
berupa kartu tanda penduduk (KTP) oleh Pemkab Mesuji, hak kesehatan dan
hak pendidikan bagi seluruh warga tanpa terkecuali.
"Kami juga menuntut kepada pihak kepolisian khususnya Kepolisian
Daerah Lampung dan Kepolisian Resor Mesuji untuk tidak ikut terlibat
dalam penyelesaian konflik agraria, karena pada kenyataannya
keterlibatan aparat kepolisian dalam Tim Terpadu Kemitraan Perhutanan
Sosial justru mengintimidasi kaum tani dan berpotensi melakukan
kriminalisasi atas kaum tani yang tidak mau ikut dalam skema kemitraan,"
kata Sahrul pula.
Kami akan terus melakukan aksi setiap bulannya jika aparat
kepolisian masih terlibat dan mengintimidasi kaum tani di Register 45,
kata Sahrul Sidin.
Berita Terkait
Warga Moromoro Lampung berjuang mendapatkan hak politik
Jumat, 12 April 2019 13:08 Wib
Ribuan warga Moromoro terancam kehilangan hak pilih
Rabu, 10 April 2019 7:39 Wib
Petani Moromoro Lampung peringati hari buruh
Selasa, 1 Mei 2018 17:23 Wib
Warga Moromoro Mesuji Tuntut Lagi Hak Pilih
Jumat, 6 Januari 2017 6:51 Wib
Petani Moromoro Mesuji Lampung Demo Hari Buruh
Minggu, 1 Mei 2016 19:52 Wib
Bupati Mesuji: Disiapkan Sekolah bagi Pelajar Moromoro
Selasa, 9 Februari 2016 23:21 Wib
Akhirnya Rumah Belajar Moromoro Mesuji Lampung Diresmikan
Senin, 18 Januari 2016 6:49 Wib
Warga Moromoro Memperingati Hari HAM.
Jumat, 11 Desember 2015 6:06 Wib