Pers di Lampung tolak revisi UU Penyiaran

id Lampung,Bandarlampung,Pers Lampung,Tolak Revisi UU Pers

Pers di Lampung tolak revisi UU Penyiaran

Koalisi Kebebasan Pers Lampung menggelar aksi menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Tugu Adipura, karena mengancam kemerdekaan pers, di Tugu Adipura, Bandarlampung, Minggu (19/5/2024). ANTARA/Dian Hadiyatna

Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.
Bandarlampung (ANTARA) - Koalisi Kebebasan Pers Lampung menggelar aksi menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di Tugu Adipura, Bandarlampung, karena menilainya mengancam kemerdekaan pers.

Koordinator Aksi Tolak revisi UU Penyiaran di Lampung, Andry Kurniawan, di Bandarlampung, Minggu, menyebutkan, terdapat sejumlah pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, ekspresi, dan kreativitas di ruang digital pada revisi UU tentang Penyiaran itu.

"Sebab, beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran dengan secara spesifik melarang beberapa jenis konten dan produk jurnalistik serta bertentangan dengan UU Pers 40/1999,” kata Andry.

Aksi di Tugu Adipura tersebut diikuti Koalisi Kebebasan Pers Lampung yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengurus Daerah Lampung, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Lampung, dan LBH Pers Lampung.

Dia pun menyebutkan sejumlah pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran, pertama  Pasal 8A huruf (q) disebutkan di dalamnya bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.

"Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers," kata dia lagi.

Kemudian, Pasal 42 ayat 2 serupa Pasal 8A huruf q, Pasal 42 ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Sedangkan berdasarkan UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers.

Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi. Padahal, UU Pers No. 40 Tahun 1999 menyatakan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.

Pasal 50B ayat 2 huruf (k) juga dinilai pasal “karet”, sebab terdapat larangan membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik.

"Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran," kata dia lagi. Yaitu Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No. 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 21 Maret 2024. 

"Selanjutnya Pasal 51 huruf E, selain Pasal 8A huruf (q) dan Pasal 42 ayat 2, Pasal 51 huruf E juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan," kata dia.

Penghapusan Pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran No. 32/2002, pasal tersebut dapat melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. 

"Di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan radio pada konglomerasi tertentu saja," kata dia pula.

Oleh karena itu, kata dia lagi, berdasarkan persoalan tersebut, Koalisi Kebebasan Pers Lampung menyatakan sikap menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang mengancam dan bertentangan dengan kemerdekaan pers itu dihapus.

"Mendesak Presiden dan DPR meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak seperti Dewan Pers, organisasi jurnalis, dan kelompok masyarakat sipil dengan prinsip partisipasi bermakna. Kemudian, mengajak semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform," kata dia lagi.