IDA sebut 2.500 bayi yang lahir di Indonesia berpotensi terkena kelainan darah merah

id thalasemia,idai,hari thalasemia sedunia 2023,bpjs kesehatan,skrining thalasemia

IDA sebut 2.500 bayi yang lahir di Indonesia berpotensi terkena kelainan darah merah

Tangkapan layar Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI Teni Tjitra Sari dalam Konferensi Pers Hari Thalasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (5/5/2023). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Thalasemia ini merupakan penyakit turunan dari kedua orang tuanya. Kalau kedua orang tua merupakan pembawa sifat, kemungkinan anak menderita thalasemia itu 25 persen, katanya

Jakarta (ANTARA) - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan sebanyak 2.500 bayi yang baru lahir di Indonesia berpotensi terkena penyakit thalasemia atau kelainan darah merah bawaan akibat berkurangnya rantai protein (goblin) pembentuk hemoglobin utama setiap tahunnya.

“Kalau kita hitung dengan Indonesia yang memiliki 200 juta penduduk dengan rerata kelahiran 20 per mil, kita anggap frekuensi pembawa sifat thalasemia ada sekitar lima persen. Jadi, kira-kira bayi yang lahir dengan thalasemia mayor ada 2.500 jiwa per tahun,” kata Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI Teni Tjitra Sari dalam Konferensi Pers Hari Thalasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Teni menuturkan berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Kesehatan pada tahun 2020, jumlah pasien thalasemia yang berhasil ditemukan hampir 11 ribu jiwa. Namun, dari potensi lahirnya bayi thalasemia mayor yang begitu besar, kemungkinan ada banyak anak yang belum terdeteksi.

Kemungkinan lain dari tidak ditemukannya anak dengan thalasemia bisa juga disebabkan tidak terdeteksi, karena mendapatkan tatalaksana sebagai penyakit lain atau anak sudah dinyatakan meninggal dunia akibat tidak segera ditangani.

“Thalasemia ini merupakan penyakit turunan dari kedua orang tuanya. Kalau kedua orang tua merupakan pembawa sifat, kemungkinan anak menderita thalasemia itu 25 persen. Tapi, kalau pembawa sifat menikah dengan orang yang genetiknya normal, tentu semua anaknya adalah pembawa sifat. Ini harus dipahami, karena Thalasemia itu diturunkan mengikuti Hukum Mendel,” ujarnya.

Teni menekankan bila anak terlahir dengan thalasemia, tumbuh kembangnya bisa amat terganggu karena akan mengalami anemia kronis, terkena infeksi dan kelebihan besi yang berbahaya bagi jantung.

Terjadinya anemia pada anak disebabkan karena darah merah tidak dapat terbentuk secara normal, mudah hancur. Akibatnya, kadar hemoglobin anak menjadi rendah, sehingga membutuhkan transfusi darah rutin untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi dalam tubuh.

Tumbuh kembang yang terganggu itu pula yang menyebabkan terjadinya perubahan bentuk pada beberapa bagian tubuh anak, baik di wajah ataupun kepala. Dampak lain yang disebabkan oleh thalasemia adalah terganggunya psikososial anak dan finansial keluarga, karena besarnya biaya yang dikeluarkan untuk berobat.
 

Guna mencegah lahirnya bayi thalasemia mayor baru, ia meminta agar setiap pasangan yang ingin menikah melakukan skrining untuk memastikan orang yang akan dinikahi adalah pembawa sifat atau golongan berisiko tinggi thalasemia. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga sedang menggencarkan skrining retrospektif yang dilakukan kepada keluarga besar pasien thalasemia.

Teni mengatakan selain menjaga kualitas bayi yang dilahirkan, skrining juga membantu mengurangi beban keluarga untuk mengeluarkan biaya pengobatan dan pengeluaran negara melalui BPJS Kesehatan.

“Jadi, skrining dini itu penting sebagai pencegahan, pastikan bila ingin menikah kita mencari pasangan yang bukan pembawa sifat. Kalau misalnya sudah menikah dan keduanya adalah pembawa sifat, saya sarankan jangan punya anak dulu. Kenali dulu penurunannya bagaimana,” katanya.