Jakarta (ANTARA) - Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rina Triasih, mengatakan penyebaran penyakit menular Tuberculosis (TBC) perlu dilacak (tracing), sama halnya dengan COVID-19.
Hal ini menurutnya, TBC lebih mengkhawatirkan, mengingat gejala orang yang terjangkit tidak akan muncul dalam waktu singkat seperti COVID-19 yang dapat dideteksi hanya dalam hitungan hari, dan paling lama dua minggu.
“Kontak tracing khusus TBC itu sudah ada sejak 2006 tapi masih tidak dilakukan dengan baik,” ujar Rina pada konferensi pers yang disiarkan secara daring, Senin (20/3).
Rina menjelaskan, gejala TBC bagi seseorang yang terjangkit baru akan muncul hingga dua tahun setelahnya. Sedangkan pada sebagian besar kasus, gejala akan muncul dalam periode satu tahun.
“Sehingga kalau kita kontak dengan pasien TBC tidak akan ada gejala dalam waktu dekat, akan terlihat sehat, sehingga ini perlu kita waspadai,” tambahnya.
Kasus TBC pada anak di tahun lalu melonjak hingga mencapai 88.000 kasus.
“Apakah pelonjakan ini akibat pandemi mereka banyak di rumah jadi tidak berobat, bisa jadi daya tahan anak-anak yang semakin rendah, atau memang tracing-nya yang semakin gencar? Ini masih harus dievaluasi,” imbuhnya.
Untuk itu, Rina tak henti mengingatkan masyarakat untuk tidak menyepelekan TBC, selain berusaha melakukan pelacakan lebih masif bagi pemerintah dan berbagai fasilitas kesehatan.
Ketua UKK Respirologi IDAI itu juga mengimbau masyarakat untuk segera melakukan vaksin khusus TBC untuk menekan angka kasus kejadian.