Resensi Buku: Panduan Praktis Menjadi Penulis

id resensi

Resensi Buku: Panduan Praktis Menjadi Penulis

Buku "Menulis dengan Telinga" karya Adian Saputra.(FOTO: ANTARA/Budisantoso Budiman)

(Judul Buku: Menulis dengan Telinga; Penulis: Adian Saputra; Penerbit: Indepth Publishing; Editor: Ridwan Hardiansyah; Desain Sampul, Ilustrasi, Tata letak: Tri Purna Jaya; Cetakan Pertama Juni 2012, 13,5 x 20,5 cm, 138 hlm+ xvi/ilustrasi/gambar).

Buku adalah gudang ilmu pengetahuan, dan tempat belajar, serta berbagi pengalaman dalam segala hal, untuk dapat diketahui, disebarluaskan dan dicerap banyak orang yang membacanya.

Pembaca dan penikmat buku dapat menyelami isi buku yang dengan baik disajikan penulisnya, seolah menghadapi dunia nyata, atau membawa pembaca menjeburkan diri dalam alam fiksi maupun kenyataan yang didedahkan penulis di dalamnya. Itulah kekuatan sebuah buku.

Pembaca tinggal memilih sesuai selera, hobi, dan kepentingannya, untuk mengkonsumsi atau menikmati buku, berupa buku ajar akademik (sekolah/kampus), perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kisah nyata, hobi, pengalaman hidup, biografi/autobiografi, kisah fiksi (novel, kumpulan puisi, cerita pendek) atau yang lainnya.

Seperti halnya dunia keartisan dan selebritas, terkadang (baca: bahkan seringkali) muncul artis dan selebritis "dadakan" yang tiba-tiba mencuat popularitasnya dengan ditopang kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ("information and communication technology"/ICT), seperti halnya kemunculan polisi (Briptu Norman Kamaru—akhirnya mundur sebagai anggota polisi untuk menjadi selebriti) dan para polisi ganteng serta polwan cantik, maupun fenomena penampilan "lypsinc" (lipsing) lagu "Keong Racun" dalam video diunggah di YouTube oleh Sinta dan Jojo (di Indonesia), serupa dengan popularitas artis kondang dunia (penyanyi Justin Bieber, penyanyi pop dan R&B muda asal Kanada yang menjadi sensasi di Amerika Serikat tahun 2009, setelah dipublikasikan di YouTube pula).

Namun tetap saja, fakta juga membuktikan bahwa mereka yang telah bersusah payah merintis karir keartisan dan berjuang "hidup mati" sejak awal, justru akan dapat lebih berpeluang untuk melanggengkan karir keartisan tersebut secara permanen dan utuh.

Contohnya, Ayu Ting Ting (Ayu Rosmalina) yang ngetop dengan lagu dangdut "Geol Ajep Ajep" dan "Alamat Palsu", setelah sejak lama merintis karir sebagai penyangi dangdut, presenter sekaligus model.

Ayu mengaku, telah malang melintang tampil dari satu panggung dan pementasan ke panggung dan pementasan lainnya, termasuk mengikuti berbagai lomba dan festival, hingga akhirnya namanya "ngetop" saat ini, serupa pula dengan perjalanan hidup "Ratu Ngebor" Inul Daratista, atau artis "muka ndeso rezeki kota", Tukul Arwana, maupun perjuangan panjang "Raja Dangdut" H Rhoma Irama yang seperti tak surut ditelan zaman, menjadikan popularitas mereka tetap mengemuka dan penggemarnya tak pernah surut.

Begitupula halnya dalam dunia kepenulisan dan jurnalisme umumnya, kerapkali muncul penulis "dadakan" yang jejak karyanya tidak begitu jelas dalam dunia tulis menulis, tiba-tiba muncul buku karyanya yang kemudian ternyata malah bisa menjadi "best seller", laris manis terjual di pasaran dan diburu untuk dibaca habis oleh para pembacanya.

Tapi, banyak pula di antara para penulis itu ternyata memiliki rekam jejak yang sangat jelas dan terukur dalam aktivitas kepenulisan, sehingga layak mendapatkan predikat sebagai penulis yang sesungguhnya.

Adian Saputra adalah salah satu penulis asal Lampung yang berupaya menapaki jejak karir kepenulisannya ke tingkat lebih tinggi, secara bersungguh-sungguh telah memperjuangkannya.

Rekam jejaknya yang mulai aktif menulis sejak masih sekolah di SMA Negeri 2 Tanjungkarang, salah satu sekolah favorit dan kalangan elit di Bandarlampung maupun Provinsi Lampung, dengan aktivitas menulis di majalah sekolahnya, Derap Pelajar.

Dia kemudian aktif pula dalam kegiatan berorganisasi baik semasa sekolah maupun kuliah, antara lain di Rohani Islam dan OSIS.

Semasa kuliah, penulis ini menggeluti pula pers mahasiswa di fakultasnya (Pilar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, jabatan terakhir sebagai Redaktur Pelaksana), bahkan sempat menjadi Pemimpin Redaksi Buletin Median Post, Isyhad, dam Cakrawala, serta aktif menulis di Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Teknokra Unila, salah satu pers mahasiswa yang masih eksis berbasis di kampus di Indonesia hingga saat ini.

Belakangan, Adian pun aktif bergabung dan menjadi pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, setelah bekerja di Harian Umum Lampung Post—hingga sekarang.

Rekam jejak kepenulisan itulah, ditambah berbagai pengalaman dan prestasi di bidang jurnalistik dan lomba kepenulisan, menjadikannya seorang penulis yang sebenar-benarnya.

Pengalaman praktis faktual dan empirik ("empirical experience") yang benar-benar dijalani dan dialami penulis buku "Menulis dengan Telinga" inilah yang lebih banyak dipaparkan secara apik, runtut dan dialogis oleh Adian Saputra.

Jam terbang yang bersangkutan sebagai jurnalis asal Lampung yang intens menghasilkan karya tulisan (artikel) di sejumlah media massa, serta menghasilkan karya tulis (cerita anak) menjadi jaminannya, sehingga membuat buku ini lebih bernas, berbobot, tapi "tidak berat" dicerna pembacanya.

Penulis buku ini, telah merintis jejak dunia kepenulisan dari nol hingga tumbuh menjadi seperti sekarang ini.

Dunia olah kata dan utak atik nalar dalam tulisan yang kemudian membawanya menghasilkan karya buku "Menulis dengan Telinga", sebagai sebuah karya buku individual, pengalaman nyata ("empirical experience-book story") benar-benar dijalani dirinya.     

Pengalaman suka dan duka, jerih payah, pahit getir, "trial and error", mencoba-salah-dikembalikan, tapi terus mencoba lagi sampai berhasil, secara gamblang (dengan penuturan dalam bahasa gaul yang bernas dan mengalir lancar) disampaikan kepada para pembacanya.

Tanpa bermaksud menjadi "guru" atau mencoba "menggurui", tulisan dalam buku ini malah akan mampu menjadi pemandu dan pedoman serta guru yang sebenarnya terutama bagi peminat dunia tulis menulis, baik pemula maupun penulis dengan jam terbang yang lebih tinggi lainnya, agar terus konsisten berkarya dan tetap menghasilkan karya tulis berkualitas yang berguna untuk banyak orang.

Adian sebagai penulis pun membuka semuanya secara "transparan" dan "telanjang" tanpa "tedeng aling-aling", sehingga akan sangat berfaedah dalam berbagi ilmu dan pengalaman bagi para pembacanya.

                             Tidak Berat
Penulis membeberkan pula alasan memilih judul yang lebih memikat "Menulis dengan Telinga", dibandingkan judul-judul lain yang boleh jadi lebih serius, tapi malah bisa terjebak menjadi judul yang berat, membikin pusing, dan kurang memikat bagi pembacanya.

Alih-alih tidak sampai terjebak menjadi buku tentang dunia tulis menulis yang serius tapi membosankan, penting namun pembaca enggan membacanya hingga ludes habis, sehingga strategi penulis buku ini pun layak diacungi jempol dan pantas ditiru penulis lainnya.

"Buat saya yang auditori, indera pendengaran adalah perangkat utama dalam kehidupan. Termasuk dalam menghasilkan tulisan. Dengan memaksimalkan fungsi telinga dan meluaskan hati, segenap informasi menjadi berharga. Untuk kemudian direproduksi dalam bentuk artikel yang ditatahkan." (hlm viii).

Dalam buku yang ringan bobotnya (baca: beratnya) dan sederhana penampilannya, tapi memiliki bobot pengalaman tersendiri sejalan dengan panjang jam terbang penulisnya, sebanyak 134 halaman dipaparkan secara bertutur berupa urut-urutan pengalaman empirik kepenulisan tersebut.

Antara lain dituliskan soal bakat, "mood", "daily activity", berpikir kritis, tulisan opini, pasarkan tulisan, kiat "merayu" redaktur agar tulisan dimuat, teknik "blitzkrieg" opini, tulisan spesialis kontra generalis, cerita anak, dan resensi buku secara gamblang.

Penulis juga membagi resep jitu menampung ide-ide segar yang seakan tiada kering, pedoman menggunakan bahasa jurnalistik yang resik dan asyik, serta sejumlah kiat atas dasar pengalaman praktis-empiris penulisnya sendiri.

Buku ini justru memiliki bobot tersendiri, karena lebih banyak mendedahkan fakta empiris dialami penulisnya dalam mengarungi jam terbang jejak kepenulisannya.

Secara khusus Adian juga membeberkan kiat "Menulis dengan Telinga" dalam satu bab di buku ini (hlm 23).

"Saya memiliki kecenderungan mudah memaknai sesuatu dengan mendengar. Auditori kata orang. Menghafal lebih mudah dengan mendengar. Menyerap informasi juga lebih mudah dengan mendengar ketimbang melihat dan membaca. Bukannya tidak bisa dengan membaca dan melihat, tapi mendengar lebih mudah saja dilakukan. Kalau dari fisiologi, kita bisa mengambil ibrah dengan pancaindera," kata penulisnya tentang "Menulis dengan Telinga" itu. Alasan yang mengandung makna mendalam, namun dengan penuturan penulisnya menjadi seperti hal yang "enteng dan biasa-biasa saja".

Gaya bertutur (naratif-deskriptif) dengan pilihan kata dan kalimat yang sesuai dengan cara bertutur bahasa lisan umumnya—tapi mampu ditranskripsikan dalam bentuk bahasa tulis oleh penulisnya—menjadi keunggulan tersendiri secara "rasa dan selera bahasa" dalam keseluruhan isi buku ini, dari awal hingga akhirnya.

Penulis pada bagian akhir bukunya, juga menambahkan bahan bacaan menarik dan aktual sebagai referensi penting bagi pembaca, yaitu artikel: "Belajar dari Kematian News of The World" (hlm119-122), dan "Bisakah Bank Syariah Serupa Bank Gramen" (hlm 123-127), beserta bahan referensi dan data lainnya, termasuk alamat email media massa dan contoh besaran honor menulis di media massa tersebut.

Buku ini bila dibaca secara tuntas hingga halaman terakhir, akan dapat menggiring pembaca khususnya yang meminati tulis menulis, menjadi semakin termotivasi menghasilkan karya terbaik yang layak untuk dipublikasikan.

Menarik pula dalam setiap pergantian bab pokok bahasan (20 bab) buku ini, juga ditampilkan ilustrasi gambar karikaturis, dengan bahasa pergaulan sehari-hari anak muda yang sejalan dengan topik telah dibahas penulisnya. Pembaca pun bisa dibuat tersenyum, membaca sembari melihat gambar-gambar ilustrasi kartun tersebut.

Nyaris tiada cacat dan cela terdapat dalam buku ini, dan menurut penulis maupun penerbitnya, sedang disiapkan pula edisi cetakan berikutnya, termasuk edisi bagian berikutnya ("Menulis dengan Telinga" Edisi II), untuk menyusul diluncurkan selanjutnya.

Buku ini pun teliti, cermat, dan kuat dalam editing, sehingga hampir tak ditemukan kesalahan penulisan maupun pengetikan dan penggunaan kata maupun kalimat (termasuk gambar dan ilustrasi) secara berarti yang mengganggu keasyikan kita membacanya hingga tuntas, kecuali kesalahan yang relatif kecil dan tidak sampai mengganggu substansi isi buku ini.

Namun pada setiap awal topik (bab), masih terdapat jeda halaman kosong yang lumayan longgar, dan boleh jadi sebenarnya terlalu lebar, tanpa apa-apa.

Padahal di bagian bawah setiap halamannya, nampak menjadi terasa menyempit dalam beberapa halaman di dalamnya yang terasakan menjadi gangguan keindahan tata letak dan ilustrasi yang sudah lumayan apik dalam buku ini.

Boleh jadi pula, mengingat merupakan buku perdana yang dibuat penulisnya secara sendirian, pastilah menjadi karya fenomenal dan "masterpiece" penulis yang bersangkutan.

Mengingat sebagian besar materi dalam buku ini merupakan pengalaman empiris penulisnya, akhirnya tidak bisa tidak, buku ini pun menjadi karya tulis yang sangat "individualis" dari sudut pandang penulis bersangkutan, kendati dalam setiap topik bahasan selalu disisipkan panduan teoritikal, berbagai referensi, dan pedoman kiat serta panduan menulis dari berbagai sumber di dalamnya.

Semua itu, lagi-lagi, bukan menunjukkan kekurangan buku ini, tapi sekaligus membuktikan kekuatannya.

Namun, betapa pun juga, karya tulis berupa buku yang dinilai sebaik apa pun—oleh pembaca dan para kritikus—tetaplah belum sempurna dan selalu memiliki catatan kekurangan tersendiri untuk bahan mengevaluasi diri bagi karya pembuatan dan penerbitan buku selanjutnya.

Buku "Menulis dengan Telinga" ini, menjadi sangat penting untuk dibaca, khususnya untuk para peminat dunia tulis menulis, terutama bagi pemula.

Tapi buku ini, juga akan sangat berguna bagi penulis umumnya, termasuk para wartawan (jurnalis) dan kolumnis serta akademisi, peneliti, guru dan pendidik maupun dosen ilmu komunikasi dan jurnalistik.

Sekali lagi, buku ini tergolong menarik dari sisi judul yang dipilih dengan kemampuan memikat atas pilihan katanya, dan ternyata mampu pula menggiring pembaca dari setiap topik bahasannya yang mencoba mendekati fenomena nyata pengalaman penulis bersangkutan.

Buku ini, merupakan pengalaman faktual hidup dan kehidupan penulisnya yang dibagi kepada para pembaca, sehingga layak untuk dibaca, perlu dan berguna dalam aktivitas tulis menulis di media massa dan kepenulisan umumnya.

Kendati diterbitkan dan ditulis dari Lampung, buku ini tak kalah bergengsi dan berbobot, dibandingkan buku tentang kepenulisan yang pernah diterbitkan di negeri ini, seperti halnya karya Arswendo Atmowiloto maupun Seno Gumira Ajidarma dan beberapa penulis (buku) terkenal lainnya, seperti Andrea Hirata (dengan Novel "Laskar Pelangi" dan "Sang Pemimpi") atau Habiburrahman El Shirazy (Novel "Ayat Ayat Cinta" dan "Ketika Cinta Bertasbih") maupun para penulis kondang di Indonesia lainnya.

Marilah kita semua para penulis (dan juga para jurnalis) menggunakan pancaindera, khususnya telinga, dalam membuat tulisan, seperti "diajarkan" dalam buku bersampul warna putih bergambar sebuah pena bergaris hitam dan biru abu-abu ini.

Boleh jadi, buku ini akan juga menjadi buku yang termasuk laris di pasaran dan banyak dibaca orang atau buku yang "bestseller".***