Perempuan UMKM yang ingin menjahit perubahan lewat tapis dan batik

id umkm,wastra,bank indonesia,umkm binaan

Perempuan UMKM yang ingin menjahit perubahan lewat tapis dan batik

Linda Soedibyo, pemilik jenama UMKM "Jan Ayu", menunjukkan karya fesyen yang dipamerkan dalam acara Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2025 di Lampung City Mall, Bandarlampung, Selasa (24/6/2025). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Tapis diyakini sebagai cara bertutur perempuan untuk menceritakan nilai-nilai filosofis kehidupan, nilai-nilai kebaikan kepada anak keturunan

Jakarta (ANTARA) - “Sekarang saya slow living,” tutur Linda Soedibyo sambil tersenyum lebar.

Perempuan pensiunan berusia 50-an itu memutuskan kembali ke Lampung pada 2016 untuk merawat sang ibu yang sakit. Selepas sang ibu berpulang dan Linda pensiun dari pekerjaan formalnya pada 2018, alih-alih kembali ke Jakarta, ia memilih menetap di Kota Metro dan mulai merintis usaha fesyen berbasis wastra.

Linda memang gemar memadupadankan outfit dan menuangkan idenya melalui goresan desain, sangat kontras dengan pekerjaan formal yang selama ini digelutinya. Masa pensiun dan kesempatan untuk kembali ke kampung halaman membuka ruang refleksi lebih lebar bagi Linda. Dari sana, ia mulai menggali nilai dan sejarah wastra.

Ia pun jatuh cinta pada tapis, wastra Lampung yang biasanya hanya dikenakan saat pernikahan dan upacara adat. Ia kagum pada keragaman motif tapis yang menyimpan cerita dan filosofi hidup.

Dari kekaguman ini, Linda melihat celah, betapa jarangnya tapis dikenakan dalam keseharian. Satu keluarga biasanya cukup memiliki beberapa tapis saja yang bisa dipakai secara turun-temurun. Ini membuat Linda berpikir mengenai nasib perajin tapis yang tidak mendapat penghasilan yang cukup karena permintaan tidak bertambah.

Dari titik itu, inovasi dimulai. Linda membuat versi baru dari tapis: tetap bermotif khas, tetap penuh makna, tapi tanpa benang emas. Ia memakai benang biasa agar desain lebih fleksibel dan menjangkau berbagai kalangan. Hasilnya, tapis ready-to-wear berjenama Jan Ayu yang bisa dikenakan orang-orang sebagai outfit untuk pergi ke kantor, ke arisan, bahkan ke mal.

Bersama para mitra perajin dan penjahit yang ia libatkan dalam sistem kemitraan, Linda memproduksi sekitar 50 hingga 70 busana per bulan, yang bisa melonjak hingga ratusan potong ketika terdapat permintaan tertentu. Ia tak mempekerjakan karyawan tetap, hanya mitra. Tidak perlu membeli mesin jahit. Hanya berbekal ide, kain, dan relasi.

“Mimpimu belum besar kalau kamu bisa melaksanakannya sendiri. Sehingga saya berpikir, berarti kalau saya tidak bisa sendirian mengerjakannya (membuat pakaian jadi berbahan tapis), berarti mimpi saya sudah besar. Itulah yang kemudian memunculkan ide kemitraan,” cerita Linda.

Jan Ayu bukan hanya soal fesyen. Di balik setiap koleksinya, Linda menanamkan nilai-nilai budaya dan filosofi lokal. Misalnya tapis motif Raja Medang, yang dulunya hanya dikenakan untuk acara adat seperti pengangkatan sultan. Menurutnya, motif ini bisa diterjemahkan ulang untuk masa kini, yakni sebagai simbol hijrah atau bergerak ke hal yang lebih baik.

Pada koleksi lain, Linda menyisipkan motif aksara Lampung yang sudah jarang dikenal generasi muda. Salah satu produknya bahkan menyematkan pesan-pesan anti-korupsi dengan aksara Lampung.

"Tapis diyakini sebagai cara bertutur perempuan untuk menceritakan nilai-nilai filosofis kehidupan, nilai-nilai kebaikan kepada anak keturunan," ujar Linda sambil menunjukkan karya fesyennya.

Linda Soedibyo, pemilik jenama UMKM "Jan Ayu", menunjukkan karya fesyen yang dipamerkan dalam acara Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2025 di Lampung City Mall, Bandarlampung, Selasa (24/6/2025). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Tak hanya soal warisan budaya, ia juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Kain-kain sisa produksi tak pernah dibuang, melainkan dijadikan busana baru. Semangat inilah yang ia sebut sebagai “merawat tradisi, menjaga bumi” yang menjadi tagline Jan Ayu sejak didirikan.

Perjalanan Jan Ayu tak selalu mulus. Linda sempat bolak-balik menjajaki berbagai perajin dan penjahit untuk menemukan yang bisa selaras dengan selera desain Jan Ayu.

Perjalanan jenama untuk bertumbuh ini tidak lepas dari dukungan Bank Indonesia (BI) yang mendampingi Jan Ayu. Linda mendapat banyak masukan tentang cara meningkatkan kualitas produk.

Ia mendapatkan akses pelatihan, kurasi produk, hingga keikutsertaan di pameran-pameran dalam dan luar negeri. Dari Kota Metro di Lampung ke Jakarta, Turki, sampai Osaka di Jepang, karya Linda menjangkau panggung internasional. Pelanggan pun datang dari Australia, Georgia, hingga Nikaragua.

“Saya kan dari kota kecil, di kabupaten, di Kota Metro. Pasar kita baru sekitar Kota Metro. Kemudian ada beberapa teman di Jakarta yang membeli, teman-teman yang kita kenal. Tapi setelah ada BI, pasarnya lebih meluas,” ucap Linda.

Harga setiap potong busana dipatok dengan kisaran mulai dari Rp500 ribu hingga Rp3,5 juta, tergantung jenis dan kerumitan tapis. Meski ekonomi sedang lesu dan pesanan dari instansi mulai menurun, Linda tetap optimistis. Ia menyasar pelanggan-pelanggan loyal dan fokus menjaga kualitas.

Yang jelas, Linda tak hanya sekadar menjual pakaian. Ia menenun ulang cara kita memandang kain tradisional: bukan sebagai benda yang hanya disimpan dan dikenakan di waktu-waktu tertentu, tapi sebagai bagian hidup yang bisa diceritakan dan dimaknai ulang.

“Tidak sekedar saya jualan baju. Saya ingin kembali melestarikan atau mengenalkan kepada anak-anak muda tentang cerita-cerita leluhur yang layak untuk selalu didengungkan,” tutur Linda.

Di seberang pulau dari timur laut dari Kota Metro, Diana, seorang perempuan ibu rumah tangga asal Belitung juga memulai langkah serupa, meski dimulai dari rumah dan modal Rp1 juta.

Diana, pendiri jenama Kelekak Batik, tak hanya membuat batik khas pesisir tapi juga menghadirkan ruang aman dan produktif bagi penyandang disabilitas.

Seperti Linda, Diana melihat kain bukan sekadar produk, tetapi sarana untuk menumbuhkan martabat, keterampilan, dan rasa percaya diri, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang yang kerap terpinggirkan.

Diana memulai usahanya pada 2019 dengan modal yang minim. Tak ada pegawai, tak ada mesin canggih, hanya berbekal kompor batik kaleng, selembar kain, dan kemauan untuk belajar.

Mulanya ia membatik sendiri. Seiring dengan produknya yang mulai laku terjual, ia pun mengajak tetangganya yang seorang tunarungu untuk membantu. Dari sana, karyawan bertambah menjadi empat orang, semuanya penyandang disabilitas.

Diana bukan sekadar membangun unit produksi, tapi ruang tumbuh yang ia sebut “Kelekak”. Nama ini kemudian dipilih untuk jenamanya. Dalam bahasa setempat, “kelekak” berarti tempat yang rindang, lambang kesuburan dan kehidupan. Filosofi itu Diana tanamkan dalam segala hal, mulai dari desain, proses kerja, sampai pola relasi dengan para pekerjanya.6

Batik Belitung memiliki ciri khas warna-warna pesisir yang mencolok dan motif flora serta fauna laut. Batik ini dibuat dengan teknik handmade (batik tulis) dan cap. Diana juga mengembangkan ecoprint, teknik cetak langsung dari daun. Ada pula kain batik dengan kombinasi sulam.

Semua teknik ia ajarkan sendiri kepada para karyawan disabilitasnya. Bagi Diana, memproduksi batik bukan hanya soal bisnis, tetapi juga tentang memberi ruang dan peluang bagi disabilitas.

“Mereka sebenarnya butuh ruang untuk berkreativitas. Kesempatan buat mereka selama ini kecil," tutur Diana.

Ia menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Semua bahan baku, mulai dari kain, lilin atau malam batik, pewarna, hingga canting, harus didatangkan dari Solo. Ongkos kirim terbilang mahal, sementara skala produksinya masih terbatas.

Namun Diana tak berhenti. Salah satu siasatnya, ia membuat alat cap batik sendiri dari kardus bekas. Daya tahannya memang tidak sekuat cap tembaga. Bagi Diana, itu lebih efisien dan cukup untuk menjaga produksi tetap berjalan. Dari keterbatasan ini, ia tak mencari alasan melainkan mencari jalan keluar.

Perlahan, jenama Kelekak Batik ini berkembang. Pendampingan dari Bank Indonesia sejak 2021 membawa jenama ini ke pameran-pameran nasional dan membuatnya dikenal lebih luas. Pendapatan Kelekak Batik yang dulunya hanya sekitar Rp7 juta per bulan, melonjak hingga rata-rata Rp35 juta per bulan pada tahun lalu.

Di tengah tantangan ekonomi saat ini, sama seperti yang dialami jenama Jan Ayu, permintaan Kelekak Batik dari konsumen segmen instansi mulai menurun. Meski begitu, Diana fokus kepada strategi penjualan daring. Harapannya, pasar terbuka semakin lebar.

Bagi Linda maupun Diana, kehadiran Bank Indonesia bukan sekadar dukungan institusional tetapi pertemuan penting yang membuka jalan perubahan. Kurasi rutin, fasilitasi pameran, hingga pelatihan pemasaran, semua langkah ini memperkuat bukan hanya bisnis mereka melainkan juga misi sosial dan kultural yang mereka bawa.

Keduanya tidak sekadar mengkreasikan wastra. Di tangan Linda, tapis bukan lagi benda sakral yang tersimpan di lemari, tapi menjadi pakaian sehari-hari yang memuat cerita dan nilai. Sedangkan di tangan Diana, batik bukan hanya produk seni, tapi juga ruang hidup bagi penyandang disabilitas untuk berkarya dengan percaya diri.

Bisnis yang dimulai dari rumah dengan kesederhanaan, kini telah berkembang setahap demi setahap. Namun lebih dari itu, Linda dan Diana juga menunjukkan bahwa ketika warisan budaya digerakkan oleh hati dan dikuatkan oleh strategi, hasilnya tak hanya menggerakkan ekonomi dan menciptakan perubahan, tapi juga menyalakan kembali ingatan akan identitas.


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perempuan UMKM Sumatra menjahit perubahan lewat tapis dan batik

Pewarta :
Editor : Satyagraha
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.