Jakarta (ANTARA Lampung) - Konstelasi politik di Tanah Air mengalami pergeseran setelah sejumlah partai politik yang sebelumnya beroposisi memilih merapat untuk mendukung eksekutif.
Pergeseran konstelasi politik itu tidak pelak lagi diikuti wacana perombakan kabinet karena ada indikasi bahwa dukungan parpol yang semula beroposisi itu besar kemungkinan diikuti pamrih kekuasaan.
Amien Rais, sosok perpengaruh di Partai Amanat Nasional, bahkan secara terus terang mengatakan bahwa dukungan partai yang didirikannya itu bukannya dukungan tanpa implikasi.
Dengan kata lain, PAN perlu ambil bagian dalam mengelola pemerintahan. Artinya, salah satu anggota PAN atau siapa pun yang direkomendasikan PAN perlu ikut menjalankan kebijakan dalam salah satu kementerian di bawah Kabinet Kerja.
Merapatnya Partai Keadilah Sejahtera (PKS) ke pemerintah tentu juga diharapkan dapat memberi peluang bagi politikus di sana atau siapa pun yang didukungnya untuk mendapat jatah menteri.
Belakangan Aburizal Bakrie pun memperlihatkan kecenderungan untuk merapat ke pemerintah. Namun, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla memberi sinyal bahwa Golkar bisa saja merapat dan tidak perlu berharap mendapat jatah duduk di kementerian.
Wacana perombakan kabinet jilid kedua saat ini tentu berbeda dengan situasi pada wacana perombakan kabinet jilid pertana, yang ternyata juga terealisasi dengan penggantian dan pertukaran menteri di Kabinet Kerja. Posisi politik Jokowi saat ini lebih kuat setidaknya kadar kegaduhan politik saat ini berada pada titik rendah. Jokowi kini punya kepercayaan tinggi dan kuasa yang lebih besar untuk menentukan formulasi perombakan kabinet yang hendak dilakukan.
Publik pun kini bisa menduga-duga bahwa posisi kementerian yang rentan untuk dirombak, antara lain kementerian yang dijabat figur bukan dari kalangan partai politik, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipegang Anies Baswedan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin Susi Pudjiastuti.
Namun, mengganti kedua menteri itu dengan menteri dari parpol bisa menimbulkan tanda tanya bagi publik bahwa Presiden Jokowi lebih mementingkan dukungan politik ketimbang kinerja sebab Susi termasuk menteri yang memperlihatkan kinerja memuaskan baik di mata publik maupun bagi Jokowi sendiri.
Dalam berbagai kesempatan, Susi sendiri mengatakan sudah waktunya untuk diganti karena dia sudah meletakkan fondasi di kementeriannya dan menyelesaikan persoalan mendasar di sana.
Dalam pemerintahan sebelumnya, kementerian yang mengurusi perikanan cenderung diberikan kepada figur yang disodorkan oleh PKS. Pertanyaannya, jika Susi memilih dengan keinginannya sendiri untuk tak melanjutkan jadi menteri, apakah Jokowi akan memberikan posisi itu untuk PKS? Publik tentu lebih puas jika Jokowi membujuk Susi untuk menyelesaikan tugasnya sampai akhir masa Kabinet Kerja sebab hasil kinerja dan keteladanan Susi tetap dibutuhkan.
Lalu bagaimana Jokowi memberi imbalan kuasa kepada PAN yang telah memberikan dukungan kepadanya setelah tidak lagi gigih memilih sebagai oposisi dalam bingkai Koalisi Merah Putih? Apakah Jokowi akan mengorbankan Anies Baswedan untuk memberikan jatah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada PAN. Di bawah pemerintahan SBY, orang yang menjabat kementerian itu adalah sosok yang didukung oleh PAN.
Meskipun bukan dari elemen partai politik, posisi politik Anies sesungguhnya kuat dalam pemerintahan Jokowi. Pasalnya, dia merupakan representasi dari warga RI beretnis Arab. Tradisi politik Indonesia selalu merangkul semua golongan etnis dalam mengelola pemerintahan.
Mengganti Anies juga tak memberi alasan yang kuat bagi Presiden karena meskipun tidak memperlihatkan gebrakan fenomenal di bidang pendidikan sebagaimana gebrakan Susi di bidang kelautan dan perikanan, kinerja Anies tidak di bawah standar dan tak melakukan skandal yang merisaukan publik.
Bagi PAN sendiri, agaknya lebih elegan jika dukungan kepada pemerintah tidak harus diikuti mengharapkan memperoleh posisi menteri, apalagi mengharapkan kementerian pendidikan dan kebudayaan.
PAN malah justru perlu mendukung keberadaan Anies di kementerian yang dipimpinnya itu sebab Anies juga bisa dipandang sebagai sosok yang dekat dengan nilai-nilai religius yang sevisi dengan PAN.
Dalam merespons wacana perombakan kabinet, Jokowi sendiri tak memberikan sinyal pasti bahwa perombakan itu akan dia lakukan. Dia hanya berujar bahwa para menteri tidak perlu terpengaruh oleh wacana itu. Dia meminta para menteri untuk tetap bekerja sebagaimana mestinya.
Yang dibutuhkan publik saat ini adalah ketegaran Jokowi untuk tidak terbawa arus tekanan berbagai kepentingan politis yang memaksanya untuk melakukan perombakan kabinet. Apalagi, saat ini kegaduhan politik yang merugikan citra politiknya nyaris tak bermakna setelah perhatian publik mengarah pada skandal yang melengserkan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Saat ini adalah momentum bagi Jokowi untuk berkonsentrasi dalam melakukan kerja riil yang berdampak bagi kesejahteraan rakyat. Biarlah sejumlah politikus dan pengamat politik berwacana tentang perombakan kabinet. Itu memang bagian dari kerja dan strategi mereka untuk sintas dalam menjalankan karier mereka.
Selagi konstelasi politik memberikan posisi tawar yang tinggi bagi Jokowi dan guncangan terhadap posisinya nyaris di titik nadir, Presiden selayaknya memanfaatkan momentum itu untuk berkonsentrasi melaksanakan janji-janji politiknya, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.
Momentum semacam ini sangat berharga untuk dijadikan peluang merealisasikan berbagai program kerja pemerintah. Ketika kegaduhan politik menerpa, konsentrasi Presiden tentu mengalami distraksi untuk menjalankan program pembangunan riil yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Bukan kesejahteraan sekelompok elite politik!