Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Pertambangan Kabinet Reformasi Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto mengatakan pemerintah perlu mencermati dampak ekonomi ke depan dari kebijakan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
"Kita memutuskan bahwa PLTU dipensiunkan secara dini atau dipensiunkan secara normal, efek sampingnya adalah kemiskinan," ujarnya dalam seminar transisi energi dan sumber daya mineral yang dipantau di Jakarta, Senin.Kuntoro menjelaskan jutaan orang yang terlibat dalam industri pertambangan batu bara, termasuk vendor, pemasok, hingga pendukung industri itu, akan terdampak secara langsung dari kebijakan pensiun dini PLTU.
Apabila jutaan orang itu dilepas ke pasar dengan keahlian yang tidak sesuai dengan permintaan pasar, maka hal itu dapat menyebabkan kemiskinan.
"Ini juga perlu kita hindari dan cermati," kata Kuntoro.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa belum seluruh rakyat yang menikmati aliran listrik, kemudian sumber listriknya menghilang karena pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan PLTU tidak berjalan, sedangkan dari sisi kesiapan energi baru terbarukan belum maksimal untuk memasok listrik.
"Ini kita sebut just process dalam pengenalan energi baru terbarukan. Jadi, kita perlu melihat ini secara komprehensif," ucap Kuntoro.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, total kapasitas pembangkit listrik di Indonesia saat ini mencapai 73,7 gigawatt atau hampir separuh di antaranya masih didominasi pembangkit berbahan bakar batu bara dengan porsi sebesar 50 persen atau sekitar 36,9 gigawatt.
Dalam upaya mencapai target penurunan emisi karbon, Indonesia berkomitmen akan menghentikan PLTU secara bertahap.
Mulai tahun 2026 hingga 2030, Indonesia menyatakan secara tegas tidak ada tambahan proyek baru PLTU karena kapasitas hanya berasal dari proyek yang sedang dibangun dan proyek yang sudah menandatangani kontrak sebelumnya.
Selanjutnya pada 2036 sampai 2040 akan menjadi tahap kedua penghentian PLTU termasuk subcritical, critical, dan sebagian supercritical.
Adapun selama 2051 hingga 2060 akan menjadi periode terakhir untuk penghentian PLTU dan mengembangkan hidrogen untuk listrik secara besar-besaran.
Dalam percepatan penambahan pembangkit sebesar 40,6 gigawatt selama satu dekade ke depan, pemerintah akan membuka peran perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk pengembangan pembangkit berbasis energi baru terbarukan.