Jakarta (ANTARA) - Ketika turun dari mobil, dengan tanpa pendamping, pria berbatik lengan panjang itu langsung melangkah masuk gedung, pada Sabtu (25/9) malam.
Dengan penampilan seperti hendak mendatangi acara resmi, untuk sementara tidak ada kabar, tapi kemudian tersiar kabar ternyata itu adalah langkah baru dari kehidupan seorang elite politik yakni berurusan dengan kasus hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka.Melalui pemberitaan awak media yang memantau dan mengabadikan kedatangannya, publik bisa menyaksikan dengan jelas melalui media audio-visual. Malam itu, "tamu" berbatik lengan panjang di gedung KPK tersebut, kemudian dipertunjukkan di hadapan publik dengan baju oranye bertuliskan "Tahanan KPK" dan diborgol pula.
Itu adalah rangkaian faka dari peristiwa penjemputan paksa terhadap Wakil Ketua DPR RI DPR, Azis Syamsuddin, oleh penyidik KPK. Namanya mencuat ketika KPK mengusut kasus yang melibatkan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
KPK memang sedang mengusut kasus dugaan suap terkait lelang atau mutasi jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, tahun 2019.
Pada 20 April 2021, tim KPK menggeledah rumah pribadi M Syahrial di Jalan Sriwijaya, Kelurahan Pahang, Kecamatan Datuk Bandar, Kota Tanjungbalai. Selanjutnya, bergerak menuju Balai Kota di Kilometer 6 Jalan Sudirman untuk menggeledah ruang kerja Wali Kota Tanjungbalai.
Pada 21 April, Dewan Pengawas KPK mengumumkan telah menerima informasi secara lisan mengenai oknum penyidik KPK diduga meminta uang sekitar Rp1,5 miliar kepada Wali Kota Tanjungbalai Syahrial.
Oknum penyidik tersebut diduga mengiming-imingi dapat menghentikan kasus hukum yang menyeret Syahrial.
Seret penyidik
Saat itu juga KPK mengecek kebenaran kabar adanya oknum penyidik KPK yang diduga meminta uang sekitar Rp1,5 miliar kepada Syahrial. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan terhadap penyidik itu pada 22 April 2021.
Penyidik KPK berinisial SRP itu, belakangan terungkap namanya Stepanus Robin Pattuju, yang ikut terseret saat pengusutan kasus Syahrial.
Pada 22 April, KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan suap oleh penyelenggara negara terkait penanganan perkara Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, tahun 2020-2021.
Tiga tersangka tersebut, yaitu M Syahrial, (MS), Stepanus (SRP), dan Maskur Husain (MH), selaku pengacara. KPK langsung menahan mereka.
Pada titik inilah, nama Azis Syamsuddin mulai terseret dalam pusaran kasus di Tanjungbalai dan mencuat ke publik.
"Pada Oktober 2020, SRP melakukan pertemuan dengan MS di rumah dinas AZ (Azis Syamsuddin) Wakil Ketua DPR RI di Jakarta Selatan," ujar Ketua KPK Firli Bahuri, saat jumpa pers, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/4) malam.
Dalam pertemuan tersebut, politisi Partai Golkar itu memperkenalkan Stepanus dengan Syahrial yang saat itu sedang memiliki kasus hukum dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai yang sedang dalam penyelidikan KPK.
"Pertemuan itu agar tpenyelidikan idak naik ke tahap penyidikan. Meminta SRP agar dapat membantu menghentikan penyelidikan itu tidak ditindaklanjuti KPK," kata Firli.
Menindaklanjuti pertemuan di rumah Azis Sysmsudin tersebut, Stepanus kemudian mengenalkan Maskur kepada Syahrial untuk bisa membantu permasalahannya.
Selanjutnya, Stepanus bersama Maskur sepakat membuat komitmen dengan Syahrial terkait penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai untuk tidak ditindaklanjuti oleh KPK. Kesepakatannya disiapkan uang sebesar Rp1,5 miliar.
Syahrial menyetujui permintaan SRP dan MH tersebut dengan mentransfer uang secara bertahap sebanyak 59 kali melalui rekening bank milik RA (Riefka Amalia/swasta). RA adalah teman SRP.
MS juga memberikan uang secara tunai kepada SRP hingga total uang yang telah diterima SRP sebesar Rp1,3 miliar.
Dewas KPK memberhentikan dengan tidak hormat atau memecat Stepanus pada 31 Mei. Dia terbukti melanggar kode etik.
Cekal
Di tengah santernya kasus hukum yang menyeret nama elite politik ini, pada 30 April 2021, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI mengumumkan pencekalan terhadap Azis Syamsuddin ke luar negeri.
Pencekalan diajukan KPK kepada Imigrasi. Azis Syamsudin diperiksa KPK sekitar 9 jam oleh penyidik KPK pada Rabu (9/6) terkait kasus tersebut.
Azis juga menjadi saksi kasus suap Syahrial kepada Stepanus Robin Pattuju yang digelar secara virtual dari PN Tipikor Medan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (26/7). Dalam sidang tersebut jaksa penuntut umum KPK menghadirkan dua saksi, yaitu Azis Syamsuddin dan AKP Stepanus Robin Pattuju.
Dalam persidangan pada 12 Juli, Syahrial didakwa menyuap Stepanus sebesar Rp1,695 miliar agar tidak menaikkan kasus dugaan korupsi ke tingkat penyidikan.
Syahrial divonis dua tahun penjara pada 20 September. Sedangkan perkara Stepanus mulai disidangkan pada 13 September dan saat ini masih berlangsung.
Sidang pada 20 September, nama Azis kembali mencuat. Kali ini terkait dengan kasus mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari.
Saksi Agus Susanto mengungkapkan Azis Syamsuddin membantu mantan Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari untuk mencarikan sertifikat sebagai jaminan pengurusan kasus. Rita yang pernah disidik KPK lalu telah divonis oleh Pengadilan Tipikor dan mendekam di Lapas Wanita Tangerang, Banten.
Kasus Lampung
KPK pada 23 September mengumumkan sedang menyidik kasus dugaan suap terkait dengan penanganan perkara korupsi yang ditangani KPK di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung.
"KPK sedang melakukan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK di Kabupaten Lampung Tengah," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis lalu.
KPK lantas mengumumkan pemanggilan terhadap Azis Syamsudin, pada Kamis (23/9). Namun, Azis meminta penjadwalan ulang pemeriksaannya dengan alasan sedang menjalani isolasi mandiri (isoman). Azis menyampaikan permohonan penundaan pemeriksaan dari Jumat (24/9) menjadi Senin (4/10).
KPK menjawab itu dengan meminta Azis Syamsuddin kooperatif memenuhi panggilan untuk diperiksa terkait penanganan perkara dugaan korupsi di Kabupaten Lampung Tengah.
KPK tampaknya tak percaya dengan alasan Azis sebagai cara mengulur waktu (buying time). Tim KPK pun menjemput paksa Azis Syamsuddin.
Azis tiba di Gedung KPK, Jakarta, Jumat pukul 20.00 WIB dengan mengenakan batik lengan panjang berwarna coklat.
Esoknya, pada Sabtu (25/9), Azis menyatakan mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR RI periode 2019-2024. Jabatannya itu baru diembannya kurang dari dua tahun sejak dilantik pada 1 Oktober 2019.
Komisi hukum
Sebelum menjadi Wakil Ketua DPRI RI, politisi kelahiran 31 Juli 1970 ini sudah tiga periode menjadi anggota DPR/MPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Lampung II yakni periode 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019. Kini, pada periode keempat, 2019-2024, dia dipercaya menjadi Wakil Ketua DPR RI.
Politisi yang ahli hukum bergelar doktor ini juga pengacara dan menulis beberapa buku terkait ilmu hukum. Pada periode 2004-2009, dia menjadi anggota lalu Wakil Ketua Komisi III DPR RI yang membidangi hukum.
Pada periode 2009-2014 menjadi Wakil Ketua Komisi III dan menjabat Ketua Komisi III DPR pada 2014-19. Selain menjadi Wakil Ketua DPR RI, dia tercatat pula sebagai Anggota Komisi III.
Setelah ditetapkan menjadi tersangka dan menjalani hidup di ruang tahanan dengan kesibukan menjalani pemeriksaan dan persidangan atas kasus yang dituduhkan kepadanya, tampaknya hari-harinya ke depan akan menjadi sangat berbeda dengan sebelumnya.
Publik akan melihat apa dan bagaimana alibi dan penjelasan terhadap tuduhan kepadanya. Meski KPK telah menyampaikan konstruksi hukum, tetapi ada kesempatan baginya untuk menangkis.
Pada akhirnya, majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan memutuskan. Harapannya, kasus seperti ini tak terulang lagi.
Semua pihak tentu prihatin dan menyayangkan ada lagi pejabat yang tersangkut kasus korupsi. Apalagi sudah lama sekali gedung KPK diwarnai wajah pejabat negara.
Sebagai penyelenggara negara dan wakil rakyat seharusnya menjadi contoh agar tidak melakukan korupsi. Sebagai penyelenggara negara dan wakil rakyat yang telah menerima kepercayaan dari rakyat tidak semestinya melakukan perbuatan tercela.