Ikan Depik primadona di Dataran Tinggi Aceh

id Ikan Depik Jadi Primadona di Takengon,Pemkab Aceh Tengah,Kebupaten Aceh Tengah,Pemerintah Aceh,Provinsi Aceh

Ikan Depik  primadona di Dataran Tinggi Aceh

Ikan depik atau nama latin rasbora tawarensis yang hidup dan berkembang biak di Danau Laut Tawar, Aceh Tengah.

Takengon, Aceh (ANTARA) - Dinas Perikanan Kabupaten Aceh Tengah menyebut, ikan depik atau nama latinnya dikenal dengan sebutan rasbora tawarensis hingga kini masih menjadi primadona pada sejumlah pasar tradisional di daerah dataran tinggi wilayah tengah di Aceh.

"Ikan depik harganya cukup tinggi, kalau yang masih basah usai ditangkap nelayan di pasar tradisional dijual pedagang seharga Rp120 ribu per bambu," terang Sekretaris Dinas Perikanan Aceh Tengah, Zulkifli di Takengon, Sabtu.

Bila dijumpai pada pasar tradisional di luar wilayah Aceh Tengah, lanjutnya, maka harga ikan endemik akibat cuma berkembang di Danau Laut Tawar bisa selangit atau terlalu tinggi akibat biaya transportasi.

Apalagi jika kondisi ikan mungil mirip seperti ikan teri dengan ciri tubuh kecil dan lonjong, dibagian punggung berwarna hitam dengan perutnya berwarna putih lembut yang telah diolah menjadi depik kering.

Data pihaknya tahun 2017 menyebut, produksi ikan depik mengalami penurunan yang drastis menjadi 15,4 ton. Padahal tahun 1988 tercatat produksi ikan yang sering ditangkap nelayan tersebut mencapai 455 ton.

"Kalau sudah diolah menjadi ikan depik kering, maka harganya bisa Rp200 ribu per bambu di Kota Takengon saja," ungkap dia.

Mustafa (49), pedagang ikan di pasar tradisional setempat mengaku, harga ikan depik selalu berfluktuasi yang tergantung hasil tangkapan nelayan di Danau Laut Tawar.

"Kalau hari ini kita jual Rp140 ribu per bambu. Lebih mahal dari sebelumnya yang mencapai Rp120 ribu per bambu akibat sedikitnya tangkapan nelayan, sementara banyak warga yang mencarinya," sebutnya.

Siti Aminah (45), pedagang ikan lainnya di pasar tradisional mengatakan, terdapat waktu-waktu di mana ikan depik muncul ke permukaan danau dalam jumlah banyak, sehingga nelayan di danau lebih mudah dalam menangkapnya.

"Kita sebagai masyarakat Gayo menyebutnya musim depik. Basanya mucul di awal musim hujan, dan awal musim kemarau. Pada waktu-waktu tersebut ikan depik migrasi dengan tujuan menyesuaikan suhu air," ucap dia.

"Hari ini, tidak ada kami jual ikan depik karena poskan dari nelayan minim sekali. Bila kemarin cuma sedikit, dan cepat habisnya diserbu pembeli," tuturnya.