Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Nasib petani di Indonesia masih saja terpinggirkan, termasuk petani di Provinsi Lampung.
Harga singkong (ubi kayu) di Provinsi Lampung kian terpuruk dan terus anjlok. Padahal Lampung merupakan penghasil singkong utama di Indonesia.
Para petani singkong di Provinsi Lampung pun mengeluhkan kondisi harga singkong yang makin terpuruk dan terus anjlok itu, sehingga berakibat hasil panen yang diperoleh tak lagi mampu menutupi semua biaya produksi yang telah dikeluarkan.
Petani singkong di Lampung berkeluh-kesah, bila harga singkong terus saja terpuruk dan makin anjlok pada akhirnya tak hanya membuat mereka merugi tapi terancam bangkrut. "Mau bagaimana lagi kami ini, kalau harga singkong makin anjlok seperti sekarang ini," ujar Jumli Usman, petani singkong di Kabupaten Tulangbawang, Lampung.
Padahal belum lama petani singkong di daerah ini sempat menikmati harga di atas Rp1.000 per kilogram. Kini harga singkong hanya berkisar Rp500 per kg, sehingga pendapatan bersih diterima petani singkong akan lebih rendah lagi.
Harga ubi kayu itu di Lampung saat ini mencapai harga terendah Rp500/kg, sedangkan harga selayaknya diterima petani setidaknya minimal Rp800/kg agar petani tidak merugi akibat modal budi daya dan biaya lain-lain telah dikeluarkan lebih besar dari hasil panen diperoleh.
Karena itu, petani singkong di Lampung mendesak pemerintah segera turun tangan membantu mengatasi anjlok harga cenderung terus berlanjut sehingga merugikan petani singkong di daerah ini. "Kalau sudah begini, sebaiknya pemerintah segera turun tangan, jangan diam saja melihat nasib petani singkong seperti kami ini yang kian terpuruk," kata Jumli pula.
Pengembangan Bioetanol
Menurut Niti Soedigdo, petani singkong di Kabupaten Lampung Timur, yang juga Ketua Umum Gabungan Koperasi Pertanian Provinsi Lampung Sumberjaya menawarkan solusi pengembangan industri bioetanol berbahan baku singkong skala rumah tangga yang dinilai cocok dikembangkan petani singkong di Lampung.
"Ini salah satu antisipasi dan solusi mengatasi harga singkong tidak terus terpuruk semakin rendah," ujar Niti Soedigdo.
Menurutnya, perusahaan menengah dan besar pengolah singkong saat ini tetap dengan industri pengolahan tepung tapioka, sedangkan petani singkong dapat mengembangkan industri bioetanol sekaligus terobosan dalam pengembangan energi baru dan terbarukan di Lampung dan Indonesia yang dicanangkan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).
Artinya pengembangan usaha bioetanol skala rumahan itu tidak akan bersaing secara tidak sehat dengan para pengusaha pengolahan singkong menjadi tepung tapioka, seperti pernah terjadi saat Pemerintah Provinsi Lampung mengembangkan Industru Tepung Tapioka Rakyat (Ittera) yang pernah dikembangkan pada masa Gubernur Lampung H Oemarsono sebelumnya (periode jabatan 1998-2003).
Dia menyatakan, produsen skala rumahan dapat mengembangkan kilang-kilang hijau dengan mengolah singkong di halaman rumah--termasuk di perkotaan--menjadi energi ramah lingkungan, bioetanol, mengingat teknologinya relatif praktis dan ekonomis.
Pengembangan bioetanol berbahan baku singkong itu akan menjamin penyerapan hasil panen singkong petani dengan harga bersaing yang dipastikan akan menguntungkan bagi petani.
Namun untuk itu perlu dukungan pembiayaan dan permodalan dari perbankan maupun petani singkong yang kembali menggalang koperasi pertanian.
"Tapi, selanjutnya prosedur pemberian kredit untuk pengembangan bioetanol ini tak lagi berbelit-belit seperti sering dikeluhkan para petani sebelumnya saat mengajukan kredit usaha tani yang diperlukan," katanya pula.
Permodalan itu dapat didukung kalangan perbankan dengan fasilitasi pemerintah daerah, baik diberikan kepada petani maupun melalui kelompok tani atau koperasi pertanian dan perkebunan yang harus dihidupkan lagi.
"Bentuk lagi dan hidupkan koperasi pertanian, kehutanan, dan kelautan di setiap desa yang potensial mengembangkan komoditas singkong dan produk pertanian, kehutanan, dan kelautan lainnya di seluruh Lampung," katanya lagi.
Niti Soedigdo menegaskan, program pembangunan yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi dengan membangun dari kawasan pinggiran di perdesaan seharusnya bertumpu pada perbaikan kondisi dan fasilitasi diberikan langsung menyasar kepada para petani, pekebun, nelayan maupun petambak, tak hanya bertumpu pada pengelolaan dana desa yang dikelola aparatur desa bersama jajaran dan masyarakat sekitar yang berpotensi terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
"Petani, petambak, dan nelayan adalah ujung tombak pengembangan sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan di Indonesia. Bagi mereka seharusnya dukungan fasilitas dan permodalan untuk mengembangkan usaha produktif skala rumahan," katanya pula.
Alternatif solusi mengantisipasi harga singkong anjlok itu, sejalan dengan pernyataan Sahrudin Aden, Ketua Gabungan Petani Singkong Indonesia (Gapesi) Provinsi Lampung sekaligus petani singkong di Kabupaten Lampung Tengah bahwa untuk mengatasi harga singkong tidak terus menurun dan cenderung makin anjlok, pemerintah diminta segera turun tangan membantu petani singkong agar harganya tidak terus anjlok.
Dia menegaskan pula, untuk mengantisipasi harga tidak selalu anjlok saat panen raya, para petani singkong di Lampung telah diingatkan agar tidak lagi hanya menjual singkong mentah, tapi dapat mengolahnya lagi sebagai tepung atau bahan penganan dari singkong yang bisa langsung dikonsumsi.
Anggota Gapesi Lampung dari 15 kabupaten dan kota di daerah ini telah bersepakat bersama-sama menghadapi keterpurukan harga singkong itu, termasuk tidak lagi membiarkan petani singkong diombang-ambingkan karena harga singkong cenderung "diatur" pihak tertentu yang merugikan para petani singkong.
Selama ini petani singkong dengan dalih mekanisme pasar bergantung hukum penawaran dan permintaan (supply and demand) barang, saat panen pasokan singkong melimpah dipastikan harga akan cenderung turun, dan sebaliknya harga akan naik saat permintaan pasar tinggi namun persediaan singkong terbatas.
"Kami bersepakat sekarang ini saatnya petani menjadi pelopor, bukan hanya menjadi pengekor," ujarnya pula.
Gapesi diharapkan bisa mengatasinya, antara lain dengan strategi jangka pendek dan jangka panjang. Para petani singkong diharapkan dapat melakukan revolusi perilaku, tidak hanya bisa menjual singkong mentah yang harganya selalu fluktuatif, tetapi mampu mengubah singkong menjadi bahan olahan yang bernilai ekonomis lebih tinggi, seperti cassava chip, modification cassava flour (mocaf), keripik, chip gaplek, tiwul, opak, dan produk olahan serta siap pakai (konsumsi) lainnya.
"Dengan begitu, para petani singkong tidak hanya menggantungkan penjualan singkong mentah kepada pengusaha pabrik pengolah singkong saja, itu salah satu kuncinya supaya harga singkong naik," katanya lagi.
Dalam jangka panjang, menurut Sahrudin, petani singkong perlu mendapatkan pelatihan tentang cara budi daya singkong dengan produktivitas tinggi namun biaya bisa efisien.
Pihaknya juga mengingatkan peran pemerintah untuk membantu petani singkong, mengingat selama ini cenderung "dianaktirikan" dibandingkan petani komoditas pangan lainnya, seperti padi, jagung, dan kedelai.
"Petani singkong belum pernah menerima subsidi pupuk yang diperlukan untuk budi daya, seperti dinikmati petani padi, jagung, dan kedelai," ujarnya lagi.
Namun Gapesi tetap akan mendorong kemandirian petani singkong di Lampung ini, agar tak lagi banyak bergantung pada pemerintah.
Dukungan Kebijakan
Pemerintah Provinsi Lampung juga sedang menyusun skenario kebijakan termasuk penetapan harga dasar, agar harga singkong relatif stabil pada kisaran minimal Rp1.000 per kg.
"Lampung adalah provinsi nomor satu penghasil singkong di Indonesia. Tapi saat ini harga singkong anjlok, sehingga perlu skenario untuk menstabilkan harga singkong agar petani tidak merugi," kata Pejabat Sekda Provinsi Lampung Sutono, saat menghadiri panen perdana jagung PT Inhutani V di Kabupaten Waykanan, beberapa waktu lalu.
Saat ini, lanjutnya, harga singkong di tingkat petani bertahan rendah kisaran Rp500/kg, antara lain akibat impor tapioka dari Vietnam. Pemprov Lampung telah meminta pemerintah pusat untuk menghentikan impor dari Vietnam, agar petani tidak merugi.
Sebelumnya Gubernur Lampung M Ridho Ficardo telah menyurati Presiden Joko Widodo terkait harga singkong di tingkat petani yang saat ini hanya Rp500 per kg itu.
Gubernur Lampung menyikapinya dengan menyurati Presiden Jokowi berisikan usulan untuk pembatasan atau pengurangan impor tapioka.
Produksi singkong Lampung berdasarkan angka ramalan I tahun 2016 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) diperkirakan sebesar 7,82 juta ton.
Produksi tersebut, lanjutnya, menempati peringkat pertama nasional dengan luas panen 298.299 hektare dan melibatkan 497.165 petani.
Pemasaran dan pengolahan ubi kayu di Lampung terus berkembang, dengan banyak industri besar masuk, khususnya industri pengolahan singkong menjadi tapioka. Selain industri besar, industri rumah tangga untuk mengolah bahan baku singkong menjadi makanan, seperti keripik singkong, getuk, combro, dan masih banyak lainnya juga berkembang di Lampung.
Provinsi Lampung kontribusinya tinggi dalam memenuhi kebutuhan produksi singkong nasional.
Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat secara nasional Indonesia masih mengimpor ubi kayu atau singkong. Impor singkong pada Maret 2016 mencapai 987,5 ton atau senilai 191.093 dolar AS. Impor singkong mayoritas didatangkan dari Vietnam.
Kementerian Pertanian melakukan upaya peningkatan produksi dengan jalan membantu pemberian sarana produksi (saprodi) kepada para petani singkong.
Upaya meningkatkan produksi singkong pada 2016 dilakukan melalui program peningkatan produksi ubi kayu seluas 25.000 ha, antara lain di Provinsi Aceh, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Yogya, Kaltim, dan Kalimantan Utara. Pemerintah membantu saprodi untuk petani singkong setempat. Kementan menyebutkan produksi ubi kayu pada 2015 sebanyak 21,7 juta ton, sedangkan pada 2016 ditargetkan 27 juta ton.
Produksi singkong nasional adalah terbesar nomor tiga di dunia setelah Nigeria dan Thailand, dengan total produksi singkong Indonesia mencapai 21,7 juta ton, sebesar 0,8 juta ton untuk dikonsumsi langsung, 10 juta ton untuk industri pangan pakan, sisanya 10 juta ton untuk kebutuhan ekspor dan industri lainnya.
Produsen terbesar singkong adalah Provinsi Lampung tercatat 279.000 ton atau setara 13,2 persen dari produksi nasional.
Kendati singkong menjadi komoditas penting bagi Lampung dan terus dibudidayakan para petani di daerah ini, selama petani singkong masih mengandalkan hasil dengan menjual singkong mentah, hampir dipastikan akan terus merasakan fluktuasi harga selalu tidak menentu sepanjang tahun, dengan kecenderungan menurun ketika pasokan singkong melimpah.
Karena itu, solusi paling jitu untuk mengantisipasi harga singkong tidak terus anjlok agar menjamin petani singkong tidak merugi lagi, adalah selanjutnya petani jangan lagi menjual singkong mentah. Tapi, mengolahnya lagi menjadi bahan setengah jadi maupun bahan jadi siap konsumsi.
Pada sisi lain, Pemprov Lampung dan jajaran pemerintahan melalui kementerian maupun dinas teknis terkait di pusat dan daerah, perlu mendorong memfasilitasi sarana dan prasarana pendukung yang diperlukan para petani singkong, termasuk memberi akses sarana produksi dan permodalan secara mudah dan murah untuk menopang kemandirian kesejahteraan para petani singkong di Lampung.