Togog "Mbarang" Sulap Untuk Kawin Lagi

id Togog Mbarang Sulap Untuk Kawin Lagi , Sulap, Kawin, Raja, Wanita, Tahta, Kuasa, Artikel. Wayang

Saya mendukung penuh terselenggaranya acara ini, yang tujuannya untuk melestarikan dan mencintai wayang sebagai warisan budaya yang sudah berabad-abad hidup di Indonesia."
"Jas bukak iket blangkon, sama juga sami mawon. Mendat mendut mental mentul, numpak jaran mlayu ngidul," begitulah penggalan mantra sakti yang keluar dari mulut Togog dan Bilung, sepasang saudara trah Punakawan yang sedang dirundung masalah domestik rumah tangga.

Sesaat setelah mantra itu diucapkan, gemparlah Kerajaan Ima Imantaka karena seluruh prajurit pria berubah perilaku menjadi lemah gemulai dan tak lagi garang.  Tak terkecuali Sang Raja, Bumiloka, yang sedang berambisi membalaskan dendam kematian ayahnya, Prabu Newatakaca, oleh Arjuna.

Togog dan Bilung pun terkekeh-kekeh melihat tingkah laku "kemayu" Raja dan prajuritnya.

Penyulapan para pejantan Kerajaan Imantaka menjadi gemulai itu bukannya tanpa alasan.  Togog, yang memiliki tujuh istri, dan Bilung, yang beristri empat, harus mendapatkan pekerjaan demi memenuhi tuntutan istri-istri mereka.

Maka dengan kesaktian yang diberikan oleh Betara Narada, Togog dan Bilung pun memamerkan kesaktian itu ke Raja Bumiloka, dengan harapan jasa mereka dimanfaatkan untuk membantu mencuri Pusaka Jamus Kalimasada milik Pandawa di Kerajaan Amarta.

Tentunya, bantuan yang ditawarkan Togog dan Bilung kepada Bumiloka itu berujung pamrih.

Bumiloka pun terjerat demonstrasi sulap mereka dan meminta agar Mustakaweni, adik perempuannya, disulap menjadi Gatutkaca agar dapat menyusup ke Amarta untuk mencuri Kalimasada.  Dan dengan tiga kali hentakan kaki layaknya, berubahlah Mustakaweni menjadi Gatutkaca.

Penyamaran itu berhasil membuat Ratu Drupadi dan adiknya, Srikandi, menyerahkan pusaka itu kepada Gatutkaca palsu.

Sesempurna apa pun penyamaran Mustakaweni menjadi Gatutkaca, tetap saja ada hal tak biasa yang dirasakan Srikandi terhadap perilaku Gatutkaca.

   
                 Terbongkar penyamaran
Dan terbongkarlah penyamaran itu ketika Srikandi membusurkan anak panahnya ke Gatutkaca palsu yang seketika itu juga berubah wujud menjadi aslinya, Mustakaweni.

Namun Mustakaweni berhasil kabur dan kembali ke Imantaka untuk menyerahkan Jamus Kalimasada kepada kakaknya.

Togog, yang mengetahui bahwa Mustakaweni berhasil mencuri pusaka Kalimasada dari Amarta, menuntut imbalan atas jerih payahnya menyulap Mustakaweni.

Togog rupanya lupa akan niatnya 'ngamen' sulap demi menghidupi ketujuh istrinya.  Tak tanggung-tanggung, upah yang dia minta adalah kawin lagi.

    
                 Togog "Mbarang" Sulap
Pentas wayang orang dengan lakon "Togog Mbarang (ngamen, red.) Sulap" dipentaskan oleh sejumlah pastor dan anggota organisasi kemasyarakatan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), dengan dibantu aktor dari Paguyuban Wayang Orang Bharata.

Pagelaran tersebut digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Selasa (28/5) malam.

Yang menarik dari pertunjukan wayang orang itu adalah keikutsertaan para pastor sebagai aktor teater, termasuk sebagai Togog dan Bilung yang memiliki banyak istri.

Para romo yang sehari-hari menghabiskan waktu dengan melayani umat gereja itu tampil dengan luwes di atas panggung Graha Bhakti Budaya, gedung teater berkapasitas 800 kursi penonton.

Para pemeran lakon itu adalah Yustinus Sulistiadi, Pr., Murdjanto Rochadi Widagdo, Pr., Andreas Suhana Nitiprawira, CSsR., Adi Nugroho, MSF., dan Antonius Antara, Pr.

Selain itu juga ada pengusaha Wulan Tilaar dan penulis novel Maria Sardjono yang turut berperan dalam pementasan.

Pelindung Panitia, Lis Purnomo Yusgiantoro mengatakan pagelaran wayang orang tersebut merupakan wujud pelestarian terhadap budaya Indonesia, khususnya Jawa.

"Saya mendukung penuh terselenggaranya acara ini, yang tujuannya untuk melestarikan dan mencintai wayang sebagai warisan budaya yang sudah berabad-abad hidup di Indonesia," kata istri Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro itu.

Sementara itu, Koordinator Presidium Dewan Pengurus Pusat (DPP) WKRI, Ignatia Endang Siregar, mengatakan dalam sambutannya bahwa pertunjukan itu mengajak seluruh masyarakat, khususnya generasi muda, untuk peduli terhadap budaya Tanah Air.

"Tokoh Srikandi dalam lakon pewayangan itu dapat diidentikkan dengan para perempuan Katolik yang berjuang dengan prinsip solidaritas dalam menjadikan organisasi itu sebagai kekuatan moral dan sosial demi kesejahteraan bersama," katanya.

WKRI didirikan pada 26 Juni 1924 dengan nama Poesara Wanita Katolieke (PWK).  Organisasi itu berawal ketika seorang perempuan Katolik di Yogyakarta bernama RA Soejadi Sisrodiningrat Darmo Sapoetro membentuk sebuah wadah bagi para perempuan di Yogyakarta untuk dapat membaca, menulis dan memiliki ketrampilan.

PWK mulai masuk ke gereja pada 1985 dan beranggotakan perempuan Katolik yang sudah berkeluarga atau minimal berusia 18 tahun.

Kemudian pada 1991, atas saran Romo Yosef Bagnara, para perempuan yang tergabung di PWK melebur menjadi WKRI dan diadakan pemilihan pemimpin.

Hingga kini, WKRI menjangkau pelayanan kemasyarakatan di 32 dewan pengurus daerah (DPD), 628 dewan pengurus cabang (DPC) dan 15.000 dewam pengurus ranting di tingkat unit basis.

Dalam perjalanannya, organisasi tersebut mengutamakan kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial kemasyarakatan.