Bandarlampung (ANTARA) - Gegap gempita kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui alat peraga dan media secara resmi meski tak sesemarak pemilihan presiden, berakhir pada tanggal 23 November ketika memasuki masa tenang 24 November 2024.
Warga pun sebagian besar tak lagi "terkotak-kotak" secara nyata akibat beda dukungannya. Bahkan mereka kerap berbaur mengenakan atribut masing-masing calon kepala daerah. Sebab, tak semua atribut yang mereka kenakan seperti baju/kaos dan topi menandakan nanti itu yang bakal dipilih.
Masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah yang menjadi "target lumbung suara" dengan cara diberi atribut tersebut, mengaku menerima dan mengenakan sebagai bentuk apresiasi dan menyemarakkan pilkada.
Sementara ajakan untuk mengikuti Pilkada aman, lancar, tanpa politik uang pun massif dilakukan oleh pihak penyelenggara serta pengawas melalui banner yang dipasang di sejumlah titik strategis.
Bahkan ada petugas keliling menaiki sepeda motor masuk ke permukiman warga dan menggunakan pengeras suara untuk mengingatkan jangan terjebak dengan politik uang dan sejenisnya.
Di sisi lain, propaganda untuk mendukung dan postingan "kebaikan" pasangan calon pun terus berseliweran di media sosial termasuk grup WhatsApp dari tim sukses atau pendukung pasangan calon kepala daerah, namun sebaliknya, ada pula yang memposting "keburukan" lawannya.
Di sini pemikiran jernih harus tetap dikedepankan oleh warga atau calon pemilih jangan sampai "termakan" dengan ajakan atau hasutan yang justeru kontra produktif.
Sebab, masing-masing warga dijamin kebebasannya untuk menentukan pilihan sesuai hati nurani, terlepas dengan rekam jejak sosok yang akan dipillihnya nanti. Dan yang terpenting adalah mengikuti pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan menentukan pilihan sesuai hati nurani secara gembira.
Lalu, bagaimana menciptakan pilkada gembira? Prof. Arizka Warganegara, SIP, M.A, Ph.D Guru Besar FISIP Universitas Lampung menyebutkan, kita harus memahami bahwa demokrasi adalah cara bukan tujuan.
Walaupun cara dan tujuan harus selaras dengan etika (fatsoen) politik, oleh sebab itu demokrasi sebagai cara, maka seharusnya pemilih lebih bisa memaknai ajang pilkada secara riang gembira, memaknai perbedaan pilihan politik adalah sesuatu yang biasa dalam demokrasi.
Terkait bagaimana menghindari politik uang dan sejenisnya, Arizka yang merupakan profesor dalam bidang geografi politik itu mengemukakan mesti ada kesadaran internal (self conscious) baik peserta, penyelenggara bahkan pemilih bahwa menerima politik uang adalah pelanggaran prinsip dasar demokrasi.
Kedua, sistem preventif politik uang yang sudah dibuat dalam mekanisme regulasi pilkada harus dijalankan secara konsisten, dan tidak tebang pilih. Walaupun ke depan ada PR besar buat bangsa ini baik memperbaiki mekanisme keuangan kampanye dan politik. Di masa depan, negara bisa membiayai setiap caleg yang maju dalam kontestasi sehingga dana-dana yang diperoleh caleg dapat dikontrol termasuk peruntukannya.
Pada Pilkada serentak ini juga akan melibatkan pemilih pemula sehingga edukasi tentang Pemilu kepada mereka harus benar-benar diberikan secara benar dan terbuka.
Pemilih pemula adalah key player dalam Pilkada dan ada beberapa saran bagi mereka. Pertama, pilihlah calon berdasarkan kapasitas dan rekam jejaknya. Kedua, pemilih pemula mesti punya kesadaran literasi politik, caranya dengan banyak membaca dan mengikuti debat-debat kandidat, mencari tahu informasi, termasuk dengan detail mempelajari tawaran visi-misi kandidat.
Ketiga, pemilih pemula juga mesti didorong jadi agen antipolitik uang karena jumlahnya cukup signifikan dan ini bisa jadi langkah konkret pemilih pemula bagi menjaga dan memperbaiki demokrasi kita.
Sedangkan terkait netralitas ASN, menurutnya sejauh ini regulasi sudah berjalan, bahkan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya baik regulasi maupun implementasi soal netralitas ASN jauh lebih ketat, mekanisme punishment soal netralitas ini pun sudah ada. Penyelenggara tinggal "follow the rules" saja.