"Sambi" Lumbung Pangan Tradisional Yang Nyaris Punah

id sambi atau lumbung pangan tradisional, sa Tenggara Barat

Mataram (ANTARA LAMPUNG) - Kearifan lokal khususnya dalam wujud  lumbung keluarga kini  nyaris punah dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Sekitar 40 tahun silam hampir setiap keluarga di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat memiliki lumbung yang dinamakan "sambi".

Kini bangunan untuk menyimpan cadangan pangan itu hanya bisa ditemukan di beberapa desa di Lombok, padahal lumbung keluarga adalah kearifan lokal sebagai langkah antisipasi mengatasi rawan pangan. Saat ini  keberadaan "sambi" nyaris hanya tinggal nama.

Arsitektur lumbung tradisional Lombok itu hanya bisa disaksikan pada bagian depan bangunan kantor pemerintah atau penghias pintu gerbang.  Punahnya kearifan lokal itu tidak  terlepas dari hilangnya tradisi masyarakat desa menyimpan sebagian hasil panen padi  mereka untuk cadangan pangan ketika musim rawan pangan.

Hasil panen padi petani saat ini terkadang tak sempat "mampir" ke rumah. SeteLah dipanen langsung dimasukkan ke dalam karung kemudian dijual ke saudagar gabah. Bahkan  tak jarang petani menjual padi sebelum dipanen di sawah.

"Masyarakat kini telah jauh meninggalkan pengetahuan dan kearifan budaya lokal, yang pada masa lampau mampu mengatasi kesulitan pangan penduduk pada musim kemarau, kata  Rianom, salah seorang tokoh adat di Bayang, Lombok Utara.

Saat ini sambi hanya bisa ditemukan  Dusun Semundak, Desa Sengkol, Lombok Tengah, dan Dusun Denggen, Desa Denggen, Lombok Timur serta di Desa Karang Bajo, Kecamatan  Bayan, Kabupaten Lombk Utara. Lomung pangan tradisional itu juga bisa ditemukan di Kabuaten Bima yang disebut Lengge.

"Dengan adanya lumbung, masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pangan tanpa terpengaruh fluktuasi harga pasar. Namun, fungsi lumbung kian menghilang. Hal ini disebabkan ada perubahan sosial, seperti teknologi produksi, pengolahan hasil, dan distribusi hasil pertanian," katanya.

Karena memiliki peran nyata menanggulangi rawan pangan, di tengah longgarnya ikatan sosial saat ini, lumbung perlu direvitalisasi. Lumbung lalu dijadikan instrumen pemberdayaan kehidupan sosial masyarakat.

Menurut Rianom, kearifan lokal yang terkait dengan ketahanan pangan masih terpelihara dengan baik di kalangan masyarakat adat Bayan. Bahkan berbagai ritual mulai menanam padi, memanen hingga pascapanen atau menyimpan sebagian padi hasil panen di "sambi".

Kearifan lokal itu terkait dengan lumbung pangan tradisional itu nampaknya dipadang penting oleh pemerintah tak ketinggalan di Provinsi NTB dengan melihat pengalaman selama ini pada musim kemarai kerap terjadi rawan pangan yang kemudian memunculkan gejolak haga beras.

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi NTB Husnanidiaty Nurdin mengakui lumbung pan gan tradisional yang merupakan kearifan lokal warisan nenek moyang itu kini nyarus punah. Karena itu pihaknya akan merevitalisasi lumbung tradisional.

"Kita  akan memperbaiki 160 unit lumbung pangan tradisional yang tersebar di 10 kabupaten/kota sebagai upaya melestarikan kearifan lokal terkait dengan ketahanan pangan. Kita sudah menyiapkan dana sebesar Rp500 juta untuk progam perbaikan lumbung pangan tradisional tersebut," ujarnya.

Ia mengatakan, lumbung pangan tradisional yang akan menjadi sasaran perbaikan adalah yang dimanfaatkan secara berkelompok oleh masyarakat kurang mampu untuk menyimpan cadangan pangan berupa gabah.

"Pemerintah sangat berkepentingan terhadap upaya perbaikan lumbung pangan tradisional yang masih dimanfaatkan oleh masyarakat perdesaan.Upaya memperbaiki lumbung pangan tradisional tersebut  juga untuk menghidupkan kembali kearifan lokal dalam hal ketahanan pangan, di samping sebagai objek wisata tradisional," ujarnya.

Selain memperbaiki lumbung pangan tradisional BKP NTB akan membangun 100 lumbung pangan modern pada 2013 di beberapa kabupaten untuk mengurangi tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan.

Anggaran yang sudah disiapkan untuk program tersebut sebesar Rp500 juta. Masing-masing lumbung pangan dialokasikan sebesar Rp50 juta, yang terdiri atas biaya pembangunan fisik gedung sebesar Rp30 juta dan untuk membeli gabah atau beras yang akan dijadikan cadangan pangan sebesar Rp20 juta.

Lumbung pangan modern tersebut dikelola oleh gabungan kelompok tani (Gapoktan), bahkan kelompok wanita tani. Proses seleksi Gapoktan pengelola lumbung pangan yang berkinerja baik dilakukan oleh masing-masing kabupaten/kota.

"Setiap tahun kami selalu menganggarkan dana untuk pembangunan lumbung pangan modern. Kalau untuk perbaikan lumbung pangan tradisional baru tahun ini," ujarnya.

          
2.914 Lumbung Tradisonal 
Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukn BKP NTB jumlah  lumbung pangan tradisional yang dimanfaatkan masyarakat untuk menyimpan gabah sebanyak 2.941 unit.

"Itu hasil pendataan kami bersama dengan BPK  di sepuluh kabupaten/kota di NTB  sejak Januari-Mei 2011. Kabupaten yang memiliki lumbung pangan tradisional paling banyak adalah Kabupaten Bima sebanyak 864 unit dengan jumlah cadangan gabah kering giling (GKG) yang disimpan sebanyak 62,49 ton, Kabupaten Lombok Timur 548 unit dengan jumlah gabah yang disimpan 750 ton dan Kabupaten Lombok Tengah 530 unit menyimpang 34.750 ton.

Untuk Kabupaten Dompu jumlah lumbung pangan tradisional sebanyak 479 unit dengan jumlah cadangan gabah yang disimpan 202,40 ton dan beras 65 ton.

Sementara Kabupaten Sumbawa 203 unit dengan jumlah gabah 197 ton dan beras 124,20 ton, Kabupaten Lombok Utara 187 lumbung dengan jumlah cadangan GKG 62,75 ton, Kabupaten Sumbawa Barat memiliki 56 lumbung pangan tradisional, namun cadangan gabah no.

Kabupaten Lombok Barat 52 lumbung dengan jumlah cadangan gabah 99,50 ton dan beras 1,50 ton, Kota Mataram 22 lumbung dengan cadangan beras 2.212 ton, sedangkan Kota Bima tidak terdapat lumbung pangan tradisional.

"Dari hasil identifikasi lumbung pangan tradisional tersebut, jumlah cadangan pangan secara keseluruhan di NTB berupa GKG sebanyak 36.124 ton dan beras 192,91 ton," ujarnya.

Menurut dia,  tujuan dilakukannya identifikasi jumlah lumbung pangan tradisional untuk mengetahui berapa besar cadangan pangan yang ada di masyarakat.

Proses pendataan dilakukan dengan melibatkan para penyuluh pertanian yang ada di setiap desa/kelurahan. Data lumbung pangan tradisional tersebut direkapitulasi oleh BKP di masing-masing kabupaten.

Husnanidiaty mengatakan, selain bertujuan mengetahui kondisi cadangan pangan masyarakat pihaknya mengidentifikasi lumbung pangan tradisional tersebut untuk menghidupkan kembali kearifan lokal dalam hal ketahanan pangan.

"Lumbung pangan tradisional yang ada sejak jaman nenek moyang kita sekarang terancam punah, sehingga perlu dihidupkan kembali. Lumbung pangan tradisional itu punya nilai estetika dan budaya, sehingga bisa menjadi aset pariwisata yang bisa dipromosikan kepada wisatawan," ujarnya.

Selain melakukan pendataan terhadap lumbung pangan tradisional BKP NTB   juga mendata tempat penyimpanan cadangan pangan lainnya seperti gudang dan di bawah rumah panggung serta di lumbung modern yang dibangung dari dana APBN dan APBD NTB.

Dia mengatakan, jumlah tempat penyimpanan cadangan pangan seperti gudang dan di bawah rumah panggung sebanyak 105.445 unit dengan jumlah GKG yang tersimpan sebanyak 19.298 ton dan beras 12.518 ton.

Untuk jumlah lumbung pangan modern yang dibangun dengan dana dari pemerintah, sebanyak 132 unit dengan jumlah GKG yang tersimpan sebanyak 397.800 ton dan beras 42.750 ton.

"Kami akan terus memperbanyak lumbung pangan modern sebagai salah satu upaya memperkuat ketahanan pangan di wilayah pedesaan. Lumbung pangan tersebut dikelola oleh gabungan kelompok tani," ujarnya.

Kearifan lokal dalam wujud "sambi" atau  lumbung pangan tradisional memberikan jaminan keamanan pangan bagi masyarakat terutama pada saat  musim kemarau. Dengan menghidupkan kembali kearifan lokal itu masyarakat tak akan resah ketika terjadi gejolak harga bahan pangan khusunya beras.