Bandarlampung (ANTARA) - Eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar mengatakan pemberian restorative justice kepada pelaku pelanggaran hukum harus dilaksanakan sesuai dengan asas ketentuan hukum berlaku.
Oleh karena itu, ia pun mempertanyakan mekanisme restorative justice yang digunakan penegak hukum untuk membebaskan para tersangka penggelapan dana perusahaan besar asal Arab Saudi karena kebijakan itu berpotensi mengganggu iklim berusaha di Indonesia
"Yang paling mudah, harus ada kepastian hukum. Karena yang paling jadi perhatian para investor itu, apakah di tempat yang mau dia investasi ada kepastian hukum atau tidak," kata Haryono dalam pernyataan di Bandarlampung, Kamis.
Haryono pun menekankan aparat penegak hukum termasuk Polda Metro Jaya dapat menerapkan kepastian hukum yang mengacu dan mengikuti ketentuan hukum pidana serta perdata.
"Di kita itu, tinggal dijalankan, diikuti, dipatuhi, kalau dia tidak mematuhi, artinya dia melanggar. Kalau melanggar KUHAP artinya apa yang dilakukan tidak sah," katanya.
Terkait kasus penggelapan dana perusahaan asing yang melibatkan dua WNA India tersebut, ia menilai pembebasan dua tersangka itu tidak sesuai dengan semangat Asta Cita yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto.
Sebelumnya, dua tersangka WNA asal India yakni Abdul Samad dan Samsu Hussain, yang terlibat dalam kasus penggelapan dana perusahaan besar asal Arab Saudi, dibebaskan oleh penegak hukum melalui mekanisme restorative justice.
Keduanya dilaporkan pada 2022 lalu lantaran membuat dan menggunakan surat palsu dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sehingga perusahaan harus membayar tagihan sebesar Rp17 miliar.
Ulah keduanya menyebabkan perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia sejak 2012 itu harus mengalami kerugian hingga mencapai sekitar 62 juta dolar AS.
Namun, dua tersangka WNA asal India tersebut dibebaskan melalui mekanisme perdamaian restorative justice di tahun 2023, tanpa sepengetahuan dan keterlibatan pemilik perusahaan.
Pemilik perusahaan menduga penghentian perkara tersebut karena adanya permainan oknum penegak hukum dengan pihak tertentu.