Ratu Atut didakwa rugikan negara Rp79,79 miliar

id Banten, Ratu Atut, Korupsi Alkes

Ratu Atut didakwa rugikan negara Rp79,79 miliar

File/Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menggunakan baju tahanan ketika meninggalkan Gedung KPK, Jakarta, Jumat (20/12). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ss/mes/13)

Jakarta (Antara Lampung) - Mantan gubernur Banten Ratut Atut Chosiyah didakwa melakukan perbuatan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Rujukan Pemerintah Provinsi Banten yang masuk dalam APBD dan APBD Perubahan 2012.
       
"Ratu Atut Chosiyah bersama-sama dengan Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan melakukan pengaturan dalam proses pengusulan anggaran Dinas Kesehatan provinsi Banten pada APBD 2012 dan APBD Perubahan 2012 dan pengaturan pelaksanaan anggaran pada pelelangan pengadaan alat kesehatan (alkes) RS Rujukan pemprov Banten TA 2012 sehingga memenangkan pihak-pihak tertentu," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Afni Carolina saat pembacaan surat dakwaan di pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu.
       
Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp79,79 miliar sesuai laporan hasil pemeriksaan invstigatif BPK pada 31 Desember 2014.
       
"Yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu menguntungkan terdakwa Ratu Atut Chosiyah sebesar Rp3,859 miliar, menguntungkan orang lain yaitu Tubagus Chaeri Wardana Chasan sebesar Rp50,083 miliar, Yuni Astuti Rp23,396 miliar, Djadja Buddy Suhardjo Rp590 juta, Ajat Ahmad Putra Rp345 juta, Rano Karno sebesar Rp300 juta, Jana Sunawati Rp134 juta. Kemudian, Yogi Adi Prabowo sebesar Rp76,5 juta, Tatan Supardi sebesar Rp63 juta, Abdul Rohman sebesar Rp60 juta, Ferga Andriyana sebesar Rp50 juta, Eki Jaki Nuriman sebesar Rp20 juta, Suherma sebesar Rp15,5 juta, Aris Budiman sebesar Rp1,5 juta dan Sobran Rp 1 juta," tambah jaksa Afni.
       
Kerugian negara juga bertambah karena ada pemberian fasilitas berlibur ke Beijing berikut uang saku senilai total Rp1,659 miliar untuk pejabat Dinkes Banten, tim survei, panitia pengadaan dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan.
       
Atut selaku pelaksana tugas (Plt) Gubernur Banten pada 2005 dan menjabat sebagai gubernur definitif untuk periode 2007-2012 dan 2012-2017 selalu meminta komitmen kepada para pejabat untuk loyal kepadanya.
       
"Sejak diangkat baik sebagai plt maupun gubernur definif, terdakwa memilih beberapa pejabat di lingkungan pemprov Banten dengan selalu meminta komitmen kepada pejabat tersebut untuk senantiasa loyal atau patuh sesuai arahan terdakwa maupun Wawan sebagai adik kandung terdakwa yang merupakan pemilik atau komisaris utama PT Bali Pacific Pragama (PT BPP)," ungkap jaksa Afni.

    
    "Fee" kepala dinkes

  
Saat Djaja Buddy Suhardja akan dipromosikan sebagai kepala Dinas Kesehatan Banten, Atut meminta komitmen loyalitas Djaja. Djaja kemudian menandatangani surat pernyataan loyalitas pada 14 Februari 2006 di hotel Kartika Chandra Jakarta dan selanjutnya Atut mengangkat Djaja sebagai Kadis Kesehatan Banten pada 17 Februari 2006.
       
Pada pertengahan 2006 di rumah Atut, Atut mengarahkan Djaja agar setiap proses pengusulan anggaran maupun pelaksanaan proyek-proyek pekerjaan yang ada pada Dinas Kesehatan provinsi Banten dikoordinasikan dengan Wawan.
       
"Koordinasi dilakukan untuk mengatur proses pengusulan anggaran sampai menentukan perusahaan yang akan menjadi pemenang dalam pengadaan tersebut," kata Jaksa Afni.
       
Pertama adalah proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran untuk pengadan alkes RS Rujukan Pemprov Banten pada Dinas Kesehatan provinsi Banten pada APBD 2012.
       
Djaja sebagai Kadis Kesehatan Banten bertemu dengan Ajat Drajat selaku Sekretaris Dinkes Banten; Kasubag Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan Dinkes Banten Suherman dan Wawan beberapa kali yang juga dihadiri oleh staf PT BPP Dadan Prijatna dan pemilik PT Java Medica selaku orang kepercayaan Wawan, Yuni Astuti.
       
"Dalam salah satu pertemuan, Wawan meminta agar Dinkes Banten menyusun anggaran dengan komposisi 90 persen dalam bentuk pekerjan kontraktual (pengadaan) dan 10 persen dalam bentuk pekerjaan nonkontraktual.
        
Wawan juga meminta agar anggaran tidak dibuat rinci agar pemaketan dan pengerjaan pekerjaan bisa 'lebih fleksibel'. Atas permintaan itu Djaja setuju dan melaporkan ke terdakwa," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Budi Nugraha.
       
Dinas kesehatan Banten pada APBD 2012 mendapatkan anggaran sebesar Rp208 miliar dan untuk pengadaan alkes RS Rujukan Banten sebesar Rp100,7 miliar. Kemudian Djaja selaku Pengguna Anggaran selanjutnya menunjuk Jana Sunawati sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dan menetapkan panitia pengadaan sarana dan parsarana, panitia pengadaan barang  atau jasa pekerjaan konstruksi serta tim survei pengadaan.
       
Djaja pun membuat 10 paket pengadaan alkes yang telah disusun Jana berdasarkan spesifikasi teknis dan harga dari Yuni Astuti. Sedangkan dalam tahapan pengaturan lelang sampai pelaksanaan, Wawan menunjuk Dadang Prijatna untuk berkoordinasi dengan Yuni dan panitia pengadan dari Dinkes Banten.
       
Calon pelaksana pekerjaan untuk sembilan paket pekerjaan pun sudah ditentukan Yuni yang sudah mempersiapkan daftar harga yang digelembungkan dengan memperhitungkan keuntungan Wawan sebesar 43,5 persen dari nilai kontrak dan keuntungan Yuni sebesar 56,5 persen untuk paket alkes RS Rujukan.

    
   Alkes laboratorium
  
Sedangkan untuk pengadaan alkes laboratorium dan instalasi kamar jenazah RS Rujukan disusun oleh Baharudin dengan memperhitungkan keuntungan Wawan sebesar 45 persen dari nilai kontrak dan keuntungan Baharuddin sebesar 55 persen dari nilai kontrak.
       
Setelah alat-alat kesehatan yang disediakan Yuni dan Baharudin dikirim ke Dinkes Banten, panitia penerima memeriksa dan hasilnya ternyata belum 100 persen lengkap tapi karena sejak awal Djaja diminta Atut untuk berkoordinasi dengan Wawan maka yang muncul adalah berita acara penerima hasil pekerjaan seolah-olah pekerjaan sudah 100 persen.
       
Kedua, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran Alkes RS Rujukan Banten dalam APBD Perubahan TA 2012. Dinkes Banten mendapatkan anggaran sebesar Rp252,35 miliar dengan Rp127,82 miliar dialokasikan untuk pengadaan alkes RS Rujukan Banten.
       
Dalam anggaran ini dibuat 4 paket pengadan dengan Yuni mempersiapkan daftar harga yang sudah digelembungkan dengan memperhitungkan keuntungan Wawan sebesar 56,5 persen dari nilai kontrak.
       
Setelah alat-alat kesehatan dikirim ke Dines Banten, panitia penerima juga menemukan bahwa barang itu belum 100 persen lengkap tapi tetap dipersiapkan berita acara serah terima hasil pekerjaan yang seolah-olah serah terima sudah lengkap 100 persen.
       
"Sehingga seluruh pembayaran atas pelaksanaan pengadaan dari APBD dan APBD P TA 2012 pada Dinkes Banten sebesar Rp112,78 miliar dengan keuntungan untuk Tubagus CHaeri Wardana Chasan alias Wawan sebesar Rp50,08 miliar dan keuntungan Yuni Astuti sebesar Rp30,57 miliar," ungkap jaksa.
       
Sedangkan Ratu Atut mendapatkan Rp3,859 miliar yang diberikan secara bertahap antara Oktober-Desember 2012.
       
Atas perbuatan itu, Ratu Atut didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
        
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.    
  
Selain melakukan korupsi, Ratu Atut juga didakwa meminta uang secara paksa kepada Kadis Kesehatan Banten Djadja Buddy Suhardja, Kadis Perindustrian dan Perdagangan Banten dan juga Kadis Pendidikan Banten Hudaya Latuconsina, Kadis Sumber Daya Air dan Pemukiman (SDAP) Banten Iing Suwargi dan Kadis BIna Marga dan Tata Ruang Banten Sutadi senilai total Rp500 juta untuk kegiatan Istighosah.

ANTARA